Lensa Organisasi

Memaknai Tujuh Pelajaran Ahmad Dahlan

Kiai Ahmad Dahlan

Oleh: Muh. Ikhwan Ahada*

Pelajaran Kiai Haji Ahmad Dahlan adalah hasil penalaran jernih Dahlan mulai dari konsep diri manusia yang melintas dilanjutkan dengan untaian proses dan hikmah kehidupan, hingga jawaban atas persoalan mendasar manusia dalam menjalani kehidupan di dunia ini. Terdapat tujuh (7) pelajaran dari Kiai Dahlan yang dapat kita maknai kembali sehingga dapat menjadi acuan dalam menjalan dakwah yang mencerahkan.

Pelajaran pertama: Kita manusia ini, hidup di dunia hanya sekali, untuk bertaruh: sesudah mati, akan mendapat kebahagiankah atau kesengsaraan? Perihal ini K.H. Raden Hadjid memberikan penjelasan tentang nasib manusia setelah kehidupannya di dunia ini. Kajian ini dalam dunia filsafat dikenal dengan eskatologi yang menjelaskan tentang peristiwa-peristiwa masa depan sejarah atau nasib akhir kehidupan manusia yang merujuk pada hari akhir.

Ketidakpastian nasib manusia terasa kuat diangkat dalam pelajaran pertama ini. Seakan Kiai Dahlan berpesan siapapun manusia hendaknya benar-benar memikirkan nasib dirinya setelah kematian itu datang menghampirinya. Hal ini diperkuat dengan penjelasan yang direkam oleh K.H. Raden Hadjid tentang persoalan besar yang menghadang manusia ketika berhadapan dengan pemeriksaan, peradilan, dan hisab Allah swt.

Pelajaran kedua: Kebanyakan di antara manusia berwatak angkuh dan takabur, mereka mengambil keputusan sendiri-sendiri. Sejarah kehidupan manusia membuktikan bahwa “kesombongan” merupakan sifat inheren dalam diri manusia. Kadar dan pengendalian masing-masing orang berbeda antara satu dengan yang lain.

Persoalan muncul ketika klaim kebenaran menjadi milik kelompok tertentu dengan tidak menerima “konsep kebenaran” pihak lain. Terlebih dibarengi dengan sikap tertutup dan tidak menerima “dialog” atau mempertemukan nalar sehat dan akal budi dari pihak lain, untuk mendapatkan kebenaran hakiki. Ujung dari sikap kesombongan adalah berselisih, bertengkar, dan berakhir pada permusuhan yang berkepanjangan.

Pelajaran ontologis Kiai Ahmad Dahlan tentang kenyataan manusia tergambar jelas dalam ajaran kedua ini. Adalah Thales salah satu tokoh yang mengemukakan bahwa ontologi dapat dirumuskan sebagai pengetahuan yang mempelajari realitas atau kenyataan konkret secara kritis.

Pelajaran ketiga: Manusia itu, kalau mengerjakan sesuatu apapun, sekali, dua kali, berulang kali, maka kemudian akan menjadi biasa. Kalau sudah menjadi kesenangan yang dicintai, maka kebiasaan yang dicintai itu sukar untuk diubah. Sudah menjadi tabiat, bahwa kebanyakan manusia membela adat kebiasaan yang telah diterima, baik itu dari sudut keyakinan atau itikad perasaan kehendak maupun amal perbuatan. Kalau ada yang akan merubah, mereka akan sanggup membela dengan mengorbankan jiwa raga. Demikian itu karena anggapannya bahwa apa yang dimiliki adalah benar.

Kebiasaan yang diungkapkan oleh Kiai Ahmad Dahlan dalam pelajaran ketiga ini, merupakan penguat kajian ontologis manusia, bahwa tabiat manusia yang terbangun secara turun menurun bisa jadi penyebab tertutupnya nalar sehat dan akal budi manusia itu sendiri. Anggapan bahwa bangunan kebenaran yang tergambar dalam sel otak dan relung hatinya seakan menjadi bongkahan karang pra sejarah tanpa ada kekuatan apapun yang mampu mengusiknya.

Catatan K.H. Hadjid terkait pelajaran ketiga ini adalah catatan terpanjang dari ketujuh pelajaran Kiai Dahlan. Kiai Dahlan ingin menekankan bahwa keterbukaan dan bersikap dewasa dalam beragama sekalipun, mutlak diperlukan agar terjadi aliran hidayah yang menyentuh hati manusia. Perilaku ilmiah ini menjadi pelajaran penting untuk menghadapi era disrupsi seperti sekarang ini. Keterbukaan adalah kebutuhan setiap manusia untuk menentukan sikap dan mengambil posisi tepat dalam setiap fenomena yang ada.

Pelajaran keempat: Manusia perlu digolongkan menjadi satu dalam kebenaran, harus bersama-sama menggunakan akal pikirannya untuk memikirkan, bagaimana sebenarnya hakikat dan tujuan manusia hidup di dunia harus mengerjakan apa? Dan mencari apa? Dan apa yang dituju? Manusia harus mempergunakan pikirannya untuk mengoreksi soal itikad dan kepercayaannya, tujuan hidup dan tingkah lakunya, mencari kebenaran sejati. Karena kalau hidup di dunia hanya sekali ini sampai sesat, akibatnya akan celaka dan sengsara selama-lamanya.

Pelajaran keempat ini menegaskan betapa pentingnya penggunaan nalar sehat dan akal budi untuk menemukan kebenaran, menjawab hakikat, menggapai makna dan tujuan hidup. Bahkan Kiai Dahlan menekankan bahwa nalar sehat dan akal budi juga digunakan untuk mengevaluasi persoalan keyakinan sekalipun, yang bisa jadi hanya berdasarkan adat kebiasaan, dan orientasi hidup yang belum tentu benar dan tepat (shalih). Secara filosofis, penggunaan nalar sehat dan akal budi ini masuk dalam kajian epistimologi. Filsuf James Frederick Ferrier, mengemukakan bahwa kajian epistimologi adalah kajian tentang hakikat dari pengetahuan, justifikasi, dan rasionalitas keyakinan.

Pentingnya memanfaatkan potensi akal pikiran agar manusia selalu kritis, hal ini sangat kontekstual dengan meningkatnya cara beragama yang tekstual rigid-konservatif, bahkan cendurung pada al-ghulluw. Optimalisasi nalar sehat dan akal budi sesungguhnya bentuk “kesejatian diri manusia” sebagai ciptaan Allah swt. sekaligus sangat relevan dengan perkembangan zaman. Penggunaan nalar sehat dan akal budi yang dimaksud adalah akal pikiran yang sejalan dengan semangat dan nilai-nilai agama.

Baca Juga: Epistemologi Penafsiran Kiai Ahmad Dahlan: Dari Spiritualisme Al-Ghazali hingga Reformisme Abduh

Pelajaran kelima: Setelah manusia mendengarkan pelajaran-pelajaran fatwa yang bermacam-macam, membaca beberapa tumpuk buku. Sekarang, kebiasaan manusia tidak berani memegang teguh pendirian dan perbuatan yang benar karena khawatir kalau menetapi kebenaran, akan terpisah dari apaapa yang sudah menjadi kesayangannya, khawatir akan terpisah dengan teman-temannya. Pendek kata, banyak kekhawatiran dan akhirnya tidak berani mengerjakan barang yang benar, kemudian hidupnya seperti makhluk yang tak berakal, hidup asal hidup, tidak menempati kebenaran.

Falsafah kelima ini adalah salah satu aspek aksiologi dari pelajaran Kiai Dahlan yang menegaskan pentingnya sikap istikamah dalam meyakini, mempertahankan, dan membela kebenaran dengan prinsip qulil-haqqa walau kaana murran (katakanlah kebenaran meskipun pahit akibatnya). Aksiologi adalah kajian tentang hakikat dan manfaat yang terdapat dalam suatu pengetahuan yang sudah dipahami. Perilaku berdasarkan pemahaman ilmu inilah yang tertuang dalam pelajaran Kiai Dahlan yang kelima.

Saat ini, terlebih di era disrupsi, mempertahankan kebenaran baik lisan, tulisan, maupun tindakan di tengah tsunami informasi dan kecakapan buatan manusia sangat tidak mudah dilakukan. Upaya tersebut memerlukan energi dan stamina yang kuat, sekaligus strategi yang handal. Salah satu upaya penting adalah doa yang terasa mulai memudar di bilik-bilik kelas Perguruan kita saat ini adalah:

اللهم أرنا الحق حقاً وارزقنا اتباعه، وأرنا الباطل باطلاً وارزقنا اجتنابه

Upaya ini merupakan ikhtiar spiritual untuk membentengi gerusan dan terpaan gelombang pasang terhadap iman seorang atau komunitas di setiap saat. Di samping upaya penguasaan teknologi yang beralih dari konsumsi ke komunitas pengendali.

Pelajaran keenam: Kebanyakan pemimpin-pemimpin rakyat, belum berani mengorbankan harta benda dan jiwanya untuk berusaha tergolongnya umat manusia dalam kebenaran. Malah pemimpin-pemimpin itu biasanya hanya mempermainkan, memperalat manusia yang bodoh-bodoh dan lemah.

Implementasi dan aksi lebih lanjut pelajaran Kiai Dahlan diungkapkan dalam pelajaran keenam dengan keberanian mengorbankan harta untuk tujuan yang lebih besar dan utama, yaitu keberpihakan manusia pada kebenaran. Realitas mengatakan, pelajaran keenam Kiai Dahlan di atas menjadi perilaku yang langka karena sulit ditemukan pada kepemimpinan saat ini. Aksiologi Kiai Dahlan telah melewati sekedar “paham teori” tetapi beliau membuktikan diri sebagai aktor dalam pelajaran ini. Catatan K.H. R. Hadjid, pada pelajaran keenam dan ketujuh tidak ditemukan tambahan keterangan dan penjelasannya.

Pelajaran ketujuh: Pelajaran terbagi atas dua bagian: belajar ilmu, pengetahuan atau teori dan belajar amal, mengerjakan atau mempraktikkan. Semua pelajaran harus dengan cara sedikit demi sedikit, setingkat demi setingkat. Demikian juga dalam belajar amal, harus bertingkat. Kalau setingkat saja belum dapat mengerjakan, tidak perlu ditambah.

Pelajaran terakhir ini seakan menjadi respons dari pertanyaan pada pelajaran pertama hingga keempat tentang ketidakjelasan nasib manusia, kerakter manusia yang angkuh dan sombong, dan ketidakberanian dalam berkorban. Jawaban dari semua itu adalah penguasaan terhadap ilmu pengetahuan dan beramal; sebagaimana janji pelajar di sebuah sekolah kader berilmu amaliyah dan beramal ilmiyah. Itulah Kiai Dahlan dikenal sebagai pribadi faith in action, dan bukan man of theory atau pribadi yang hanya bisa mambuat narasi.

*Ketua PWM Daerah Istimewa Yogyakarta

Related posts
Berita

Sarasehan Seabad Wafatnya Kiai Ahmad Dahlan: Menguak Laku Sederhana dan Terbuka

Yogyakarta, Suara ‘Aisyiyah – Perwakilan Takmir Masjid Gedhe Kauman Yogyakarta, Budi Setiawan mengatakan bahwa eksplorasi pemikiran dan jejak hidup Kiai Ahmad Dahlan…
Aksara

Kisah Pengorbanan Kiai Ahmad Dahlan dalam Membangun Muhammadiyah

Judul               : Islam Berkemajuan: Kisah Perjuangan K.H. Ahmad Dahlan dan Muhammadiyah Masa Awal Penulis             : Syuja’ Penerbit           : Al-Wasat Tahun              :…
Sosial Budaya

Epistemologi Penafsiran Kiai Ahmad Dahlan: Dari Spiritualisme Al-Ghazali hingga Reformisme Abduh

Ahmad Dahlan lahir pada 1 Agustus 1868 di Kauman, Yogyakarta. Muhammad Darwisy, nama kecil Ahmad Dahlan, lahir dari pasangan Abu Bakar bin…

1 Comment

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *