Kebijakan Politik

Membaca Arah Angin Ekonomi

Oleh: Suko Wahyudi*

Hari-hari ini, arus berita yang mengalir di layar-layar gawai dan halaman-halaman surat kabar ibarat ombak besar yang datang bertubi-tubi, menghempas pantai kesadaran kita.

Gelombang pemutusan hubungan kerja menghantam tanpa pandang bulu, merobohkan tiang penopang keluarga; dari pabrik manufaktur yang telah lama beroperasi hingga perusahaan rintisan teknologi yang pernah dielu-elukan sebagai mercusuar masa depan, semua tak luput dari hantaman.

Pada waktu yang sama, pajak kian merambat laksana air yang meresap ke setiap celah tanah; bukan hanya menuntut dari korporasi raksasa, tetapi juga menggerayangi sendi-sendi ekonomi rakyat kecil, bahkan menembus ruang-ruang kehidupan rumah tangga sederhana yang setiap hari berjibaku demi sesuap nasi.

Di lorong-lorong bursa kerja, di bawah terik matahari dan desakan antrean, berdirilah para sarjana muda yang ijazahnya masih berbau tinta percetakan, memendam harapan yang terbungkus kegelisahan. Mereka datang dengan bekal ilmu dan mimpi, namun mendapati pintu-pintu lapangan kerja tertutup rapat atau hanya terbuka bagi segelintir orang yang beruntung.

Ironi Negeri

Betapa ironisnya, negeri ini kerap membanggakan istilah “bonus demografi” di panggung-panggung wacana kebijakan, seolah ia adalah karunia yang pasti membawa kemakmuran. Padahal, sebagaimana diingatkan dalam firman Allah, “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri” (QS. Ar-Ra’d: 11).

Baca Juga: Sedikit-Sedikit Dipajaki: Antara Kebutuhan Negara dan Keberatan Rakyat

Bonus itu hanyalah potensi, yang tanpa ikhtiar nyata dapat berbalik menjadi bencana demografi, yakni ledakan jumlah penduduk usia kerja yang tak terserap oleh pasar kerja.

Para pengampu kebijakan sering memamerkan angka-angka statistik sebagai bukti pertumbuhan ekonomi. Angka-angka itu tampak indah di atas layar presentasi: pertumbuhan stabil, inflasi terkendali, investasi mengalir. Namun, seperti fatamorgana di padang pasir, ia sering tak menggambarkan kesejukan yang dirasakan oleh rakyat kebanyakan.

Di warung kopi, di pasar tradisional, di ruang tamu rumah petak, kisah yang beredar adalah kisah perjuangan bertahan hidup, kisah utang yang kian menumpuk, kisah anak-anak yang menunggu kabar panggilan kerja yang tak kunjung tiba.

Beban Rakyat, Tantangan Negeri

Pajak, dalam hakikatnya, adalah instrumen gotong royong kebangsaan, bagian dari amanah konstitusi dan semangat kebersamaan. Namun ketika beban pajak terasa berat di pundak rakyat kecil sementara kebocoran dan penyalahgunaan dana publik masih menjadi berita, rasa keadilan itu pun terkikis. Seperti kata para hukama, “Keadilan adalah tiang negeri; apabila ia runtuh, runtuhlah seluruh bangunannya.”

Gelombang PHK kerap dibungkus istilah “efisiensi” atau “adaptasi terhadap disrupsi global”. Kata-kata yang mungkin terdengar masuk akal di meja rapat direksi, tetapi di dapur para pekerja berarti hilangnya penghasilan, keresahan akan biaya sekolah anak, dan tanda tanya besar tentang esok hari.

Situasi ini membentuk lingkaran yang sukar diputus. Lapangan kerja yang sempit membuat daya beli merosot; daya beli yang merosot melemahkan usaha kecil; usaha kecil yang melemah menggerus penerimaan pajak; dan ketika pajak menurun, negara menambah target pungutan, yang justru kian menekan pelaku usaha yang masih bertahan. Dalam pusaran seperti ini, generasi muda menjadi pihak yang paling rapuh.

Pentingnya Kebijakan yang Adil

Banyak dari mereka yang akhirnya menerima pekerjaan di bawah kualifikasi, atau bergaji jauh dari layak, sekadar agar roda kehidupan tetap berputar. Sebagian mencoba merintis usaha, namun tersandung regulasi yang berlapis dan biaya yang memberatkan. Kita terlalu sering menasihati mereka untuk bermental juara, pantang menyerah, tanpa membenahi lapangan permainan yang licin dan penuh rintangan.

Motivasi pribadi memang penting, tetapi tanpa kebijakan yang membuka peluang secara adil, nasihat itu ibarat memerintahkan seseorang berenang di lautan tanpa perahu.

Opini ini bukanlah ajakan untuk menebar keputusasaan, melainkan seruan untuk melihat kenyataan apa adanya. Beban pajak yang tak sepadan dengan rasa keadilan akan memupuk apatisme fiskal. Pertumbuhan ekonomi yang hanya tercatat di lembar laporan, tetapi tak terasa di meja makan rakyat, adalah pertumbuhan yang timpang.

Bonus demografi tak akan serta-merta menjadi berkah; ia menuntut kebijakan yang menyeluruh: penciptaan lapangan kerja yang inklusif, keberpihakan pada usaha rakyat, pendidikan yang selaras dengan kebutuhan riil, dan keberanian politik untuk memutus rantai kebijakan yang hanya menguntungkan segelintir pihak.

Keadilan untuk Semua Lapisan

Allah telah mengajarkan dalam Al-Qur’an bahwa “Kami jadikan kamu berpasang-pasangan dan Kami tetapkan rezeki bagi kehidupanmu” (QS.
Az-Zukhruf: 32), yang berarti rezeki itu harus diatur dengan keadilan dan keseimbangan, bukan hanya dinikmati segelintir kalangan.

Rakyat membutuhkan kebijakan yang membumi, yang terasa manfaatnya di sawah, di bengkel, di pasar, dan di meja makan. Kita dapat memulainya dengan mendengarkan suara pelaku UMKM, memberi insentif kepada wirausaha muda, menjaga kestabilan harga kebutuhan pokok, serta memastikan bahwa setiap rupiah pajak kembali dalam bentuk layanan publik yang nyata.

Seperti diingatkan oleh pepatah bijak, “Negara kuat karena rakyatnya sejahtera, dan rakyat sejahtera karena negara hadir.” Pembangunan sejati tidak diukur dari megahnya angka, tetapi dari dalamnya rasa keadilan yang dirasakan semua lapisan.

Jika arah angin ekonomi tetap seperti sekarang, kencang bagi segelintir dan kering bagi kebanyakan, maka kita sedang berjalan di tepian badai. Bukan badai dari luar, melainkan badai dari dalam rumah kita sendiri. Dan tatkala badai itu datang, angka-angka statistik tak lagi menjadi perisai; yang tersisa hanyalah pertanyaan, mengapa kita tak segera bertindak ketika tanda-tandanya telah begitu nyata di depan mata?

*Pegiat Literasi Tinggal di Yogyakarta

Related posts
Politik dan Hukum

Hukum Tata Negara dan Jebakan Opini Demokrasi

Oleh: Suko Wahyudi* Demokrasi sering dipuja sebagai puncak peradaban politik modern. Ia dianggap lambang kemajuan bangsa dan tanda kedewasaan rakyat. Dalam teori,…
Pendidikan

Sekolah untuk Apa dan bagi Siapa?

Oleh: Suko Wahyudi* Pendidikan di negeri ini tengah berdiri di persimpangan. Di satu sisi, ia digadang sebagai kunci kemajuan bangsa; di sisi…
Kebijakan Politik

Gaza: Genosida Paling Tampak Mata

Oleh: Suko Wahyudi* “We will not go down In the night, without a fight. You can burn up our mosques and our…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *