Oleh: Racha Julian C*
Belakangan, Yogyakarta yang katanya berhati nyaman kembali dihebohkan dengan berita klasik yang kemungkinan besar masyarakat sudah tidak heran mendengarnya. Ya, fenomena klithih. Pemberitaan di berbagai media kembali heboh dengan cerita sadis gerombolan remaja melancarkan aksi kriminal dengan mengintimidasi, melukai, sampai membunuh warga yang ditarget secara acak dan membabi buta. Terbaru, siswa SMA Muhammadiyah 2 Yogyakarta meninggal akibat klithih.
Fenomena ini bukan hal baru. Berdasarkan data dari Polda DIY yang dimuat dalam jurnal berjudul “Implementasi Pola Asuh Orang Tua pada Remaja Pelaku Klithih di D.I. Yogyakarta”, sedikitnya telah diamankan sebanyak 71 pelaku klithih yang berhasil ditangkap pada 2018 lalu dan keseluruhan adalah remaja usia sekolah.
Masalahnya, apa tindakan yang dilakukan kepada remaja itu setelah tertangkap? Biasanya, hukuman yang berlaku untuk pelaku klithih merujuk pada pasal 351 KUHP tentang penganiayaan. Sehingga pihak kepolisian hanya memberlakukan pembinaan sederhana yang “mungkin” tidak memberikan efek jera pada pelaku.
Apabila tindakan dilakukan oleh pelaku di bawah umur, maka tidak dapat diberlakukan ancaman lima tahun penjara. Biasanya pelaku klithih yang kebanyakan remaja di bawah umur hanya mengikuti proses pengadilan anak dan dikembalikan kepada orang tua. Bisa jadi, ini menjadi salah satu faktor yang membuat klithih tetap bertumbuh subur di kota pelajar ini.
Menyikapi hal tersebut, Bidang Advokasi Pimpinan Wilayah Ikatan Pelajar Muhammadiyah DIY melakukan penelitian di media sosial, khususnya Twitter, melalui tagar #SriSultanYogyaDaruratKlithih dengan melakukan pengolahan data kualitatif untuk menganalisis kebutuhan masyarakat. Penelitian dilakukan dengan mengekstraksi tweet bertagar #SriSultanYogyaDaruratKlithih dan mengolah data tersebut dengan aplikasi NVIVO untuk dapat dianalisis kata yang sering mucul dari tweet yang ada dan hasil bisa dibaca di tweet selanjutnya.
Baca Juga: Mewujudkan Masyarakat Peduli Bencana Moral
Dari hasil penelitian, tampak beberapa kata yang paling banyak disebut oleh netizen Twitter dengan mengangkat tagar #SriSultanYogyaDaruratKlithih. Kata “korban” menjadi kata yang paling banyak disebut. Tentu kata ini mewakili kecenderungan dari netizen untuk mengajak para pemangku kebijakan agar peduli dan memperhatikan banyaknya masyarakat yang sudah menjadi korban klithih.
Selanjutnya, kata kedua yang paling banyak muncul adalah “meresahkan”. Kata ini merepresentasikan keadaan di mana masyarakat merasa terancam atau tidak nyaman dengan adanya fenomena klithih. Kemudian, kata “tindakan”, “hukum”, “penegak”, “aparat”, “keraton”, “kepolisian”, “gubernur” merupakan kata yang merepresentasikan bahwa masyarakat menginginkan peran lebih dari pihak yang berwenang agar dapat memperhatikan fenomena yang telah menjadi “budaya” di Yogyakarta.
Dari hasil riset peta historis mengenai klithih dan gangster yang pernah penulis lakukan bersama tim Advokasi PW IPM DIY pada tahun 2019, ternyata aksi klithih remaja di Yogyakarta bukan merupakan kejahatan yang terorganisir secara profesional dan terencana. Hal ini dapat dilihat dari target korban yang dipilih secara acak dan membabi buta. Berbeda dengan aksi klithih 5-10 tahun yang lalu. Hasil riset dapat dilihat di Instagram @ipmdiy.
Aksi klithih juga tidak dilakukan oleh remaja dengan kebutuhan materi. Dibuktikan dengan kebanyakan kasus yang dijumpai merupakan kejahatan penganiayaan dan tidak disertai perampasan. Namun, tindakan kriminal pelaku klithih tidak dapat dianggap sebagai kejahatan biasa karena kejahatan dengan aksi dan metode yang sama telah terjadi berulang kali hingga memakan banyak korban.
Oleh karena itu, kita perlu mengecam perbuatan klithih yang mayoritas dilakukan oleh pelajar, dan meminta seluruh elemen mulai dari teman sebaya, keluarga, organisasi masyarakat, tenaga pendidik, dan pihak yang berwajib untuk secara kolektif menangani klithih secara serius.
*Ketua Umum PW IPM DIY