
dongeng (foto: pixabay)
Oleh: Acep Yonny*
Mendongeng bukanlah hal mudah, meski dapat dilakukan oleh siapa pun. Mendongeng bukan semata-mata menyampaikan cerita antahberantah, bukan sekadar bercerita dengan beragam teknik yang memukau, bukan pula hanya sebagai cara agar anak terhibur dan cepat pulas tertidur.
Mendongeng bukanlah tujuan, melainkan salah satu pendekatan yang menarik untuk anak. Perhatikanlah reaksi anak ketika mendengar guru atau orang tuanya mengatakan bahwa sebentar lagi adalah waktu mendongeng. Mata anak akan berbinar, senyumnya melebar.
Hanya dengan meniru suara tiupan angin, ayam berkokok, atau tepuk tangan bersama, maka anak akan menaruh perhatiannya kepada pendongeng. Saat pendongeng bertutur, anak mulai berfantasi. Anak akan membayangkan karakter tokoh, suasana latar cerita, dan mengikuti alur cerita dongeng.
Hal ini membuktikan bahwa dongeng dapat menciptakan hubungan yang hangat antara si pendongeng dengan audiens. Mendongeng bisa membangun ikatan emosional. Bila pendongeng tersebut adalah orang tua maka bisa dibayangkan betapa bahagia menjadi sosok yang dirindukan anak, dituruti nasihatnya, dan menjadi sosok yang diidolakan.
Rekaan, fantasi, atau imajinasi dalam dongeng tidak dimaksudkan untuk mengelabui pembaca atau pendengar. Imajinasi sangat diperlukan untuk menghidupkan cerita dan tentu berkaitan erat dengan dunia anak yang sangat imajinatif. Lewat dongeng, imajinasi anak akan terstimulasi dan berkembang. Proses ini mendorong keterlibatan emosi dan berperan aktif dalam merangsang pemikiran dan gagasan kreatifnya.
Melalui dongeng, anak akan membayangkan sesuatu sesuai dengan sudut pandang dirinya. Anak dapat membayangkan seekor kuda yang bertanduk emas, berwarna putih bersih, dapat terbang di angkasa atau sosok manusia yang hidungnya bertambah panjang jika berbohong. Bayangan sosok tokoh dalam cerita tentu sangat mungkin berbeda pada setiap anak. Kita tidak perlu membatasi atau menghalangi khayalan anak.
Pembatasan imajinasi anak justru akan menghambat kreativitasnya. Risiko yang lebih besar dari pembatasan itu, anak berpotensi tidak mampu membangun konsep diri secara baik. Oleh karena itu, saat mendongengi anak, sebaiknya tidak menggunakan boneka atau gambar. Imajinasi anak akan terbatas pada boneka atau gambar yang tersedia.
Baca Juga: Meningkatkan Kreatifitas dan Imajinasi Anak Melalui APE
Sebagaimana yang dikemukakan Picasso, pelukis terkenal dunia, bahwa ketika aktivitas membaca teks semata memperkenalkan obyek-obyek yang ada di buku, fokus anak cenderung hanya pada materi atau ornamen-ornamen yang terkait dengan teks (Primadesi, Majalah Mata Jendela, vol 1, 2020). Dengan demikian, peluang anak untuk lebih mengeksplorasi pengetahuan dan rasa ingin tahunya tidak maksimal.
Lalu bagaimana dongeng dapat membangun karakter anak? Tentu membangun suatu karakter membutuhkan proses panjang yang tidak bisa dilakukan secara instan. Dalam hal ini, terdapat beberapa langkah persiapan dan kegiatan yang perlu dilakukan orang tua agar cerita dongeng yang kita sampaikan dapat diserap oleh anak.
Menyediakan Waktu Khusus
Saat di rumah, kita perlu menyediakan waktu khusus mendongeng. Tidak harus ketika menjelang tidur. Bisa juga saat menyuapi anak atau saat bermain dengan anak. Hal yang penting saat mendongeng adalah hadirkan hati secara utuh. Tidak sambil menyetrika, chatting, memasak, dan kegiatan rumah lainnya.
Mendongeng tidaklah membutuhkan waktu yang lama. Untuk usia balita, hanya perlu tiga sampai lima menit. Meski durasi waktunya tidak lama, usahakanlah kita mendongeng dengan totalitas.
Awalilah dengan Niat
Awalilah dengan niat. Sebagaimana sabda Nabi Muhammad saw. Bahwa sesungguhnya amalan itu tergantung niatnya dan seseorang akan mendapatkan sesuai dengan niatnya (HR Bukhari dan Muslim).
Dalam hal ini berniatlah secara sungguh-sungguh dengan penuh kesadaran. Dongengilah buah hati kita bukan karena semata-mata tugas sebagai orang tua atau guru, melainkan kebutuhan agar dapat mencetak generasi unggul.
Role Model
Menjadi unggul tentu bukan sulapan. Tak cukup hanya didongengkan, anak membutuhkan role model. Mendongengkan cerita tentang kebersihan, tetapi kita sendiri tidak peduli dengan kebersihan lingkungan tentu kurang afdal.
Anak tentu akan menilai secara kritis jika apa yang kita dongengkan tidak sesuai dengan perilaku kita sehari-hari. Oleh karena itu, marilah kita memantaskan diri sebagai orang tua (guru) agar dapat menjadi teladan bagi anak.
Mengelola Emosi
Secara naluri, anak bisa merasakan apakah saat mendongeng kita bersungguh-sungguh atau terpaksa. Sulit dibayangkan bagaimana karakter dapat terbangun jika kita mendongeng dengan terpaksa, apalagi jika disertai omelan atau ungkapan bernada tinggi lainnya.
Mendongeng membutuhkan pengelolaan emosi. Jangan sampai persoalan yang ada di tempat kerja terbawa ke rumah. Alih-alih menyenangkan anak, anak malah menjadi korban omelan orang tuanya. Oleh karena itu, disarankan sebelum mendongeng agar berwudu dahulu. Hal ini untuk menetralkan emosi dan menata hati kita. Hati yang tulus akan mampu menembus ruang batin anak.
Selanjutnya kondisikan suasana hati kita. Bila perlu, tarik napas dalam-dalam melalui hidung, tahan sebentar di perut, lalu keluarkan napas perlahan dengan perasaan syukur. Apabila tubuh kita sudah benar-benar relaks, ajaklah anak untuk mendekat dan sampaikan bahwa kita akan mendongeng.
Memberikan Apresiasi
Kita suka menuntut agar orang lain mendengarkan apa yang kita sampaikan. Di kelas, guru sering menegur jika murid-murid tidak memerhatikan. Begitu pula di rumah, orang tua kerap merasa jengkel jika anak tidak mau menurutinya. Akan tetapi, di sisi yang lain saat kita berada pada posisi menjadi pendengar, ternyata kita pun tak jenak berlama-lama mendengarkan orang lain.
Oleh karena itu, kita perlu memberikan apresiasi kepada anak jika anak mampu menjadi pendengar dongeng kita. Tak harus berupa hadiah barang/uang. Cukup mengungkapkan terima kasih, tepuk tangan, memberikan tanda bintang, atau memujinya.
Bagi anak sendiri, berlatih menjadi pendengar yang baik meski sekitar lima menit saja sangat berarti. Kebiasaan ini akan menumbuhkan rasa simpati. Karakter ini perlu ditanamkan agar anak dapat belajar mengapresiasi orang. Selanjutnya, anak akan bisa lebih berempati pada orang lain. Anak yang mudah berempati akan mudah bergaul dengan sesamanya dan beradaptasi di lingkungan yang baru.
Meningkatkan Keterampilan Mendongeng
Mendongeng tidak hanya menuturkan cerita. Cerita itu perlu kita hidupkan sehingga imajinasi anak pun berkembang. Salah satu caranya adalah dengan membedakan suara tokoh, intonasi yang tidak monoton, ekspresi yang mendukung cerita, dan alur cerita yang membuat anak penasaran.
Keterampilan mendongeng perlu dilatih agar anak semakin tertarik dengan cerita kita. Cara mendongeng yang menarik tentu akan membuat anak jenak menyimak alur cerita. Anak dapat mengikuti secara kronologis kejadian demi kejadian cerita tersebut. Anak pun dapat membayangkan tokoh berjenis kelamin laki-laki atau perempuan, bagaimana keadaan fisik tokoh dan tingkah lakunya. Di samping itu, anak dapat membayangkan bagaimana latar cerita dongeng tersebut. Selanjutnya, yang terpenting bagaimana amanat dongeng tersebut dapat diserap dan dicerna.
Cara mendongeng yang menarik bukanlah dengan cara melucu atau berpenampilan seperti badut. Janganlah sampai tingkah lucu kita ini menghilangkan esensi ceritanya sehingga yang terkesan dalam memori anak adalah lucunya, bukan ceritanya. Alih-alih ingin menyampaikan pesan, malah hanya kesan lucunya yang diperoleh.
Tidak perlu diragukan lagi bahwa mendongengi anak sangatlah berarti. Anak dapat belajar menjadi pendengar yang baik, menambah pengetahuan, berpikir secara runtut, menumbuhkan potensi kreatif, lebih mudah bersosialisasi, dan menjadi lebih bijak. Bagi kita sendiri, setidaknya menjadi investasi jariyah saat berada di yaumul akhir.
*Pegiat literasi anak