Oleh: Bahrus Surur-Iyunk
Lelaki itu begitu sempurna dalam pandangan banyak orang. Hampir semuanya ada padanya. Isterinya cantik, aktif, dan enerjik. Anak-anaknya terpelajar, sarjana. Lulusan luar negeri lagi. Rumahnya mewah besar lengkap dengan segala perabotan rumah tangganya. Ia memiliki simpanan finansial yang cukup, bahkan lebih.
Sebagai seorang pengusaha ia tentu dihargai oleh seluruh anak buahnya. Ia memiliki media komunikasi sendiri dengan seluruh awak medianya. Sebagai pejabat sebuah partai politik yang cukup besar, kata-katanya didengar. Bahkan, ia bisa memberikan pernghargaan “bergengsi” kepada siapapun yang dianggap berjasa untuk kelimuan dan kemanusiaan. Tuhan telah memberikan kesempurnaan dunia kepadanya.
Tetapi, semuanya tiba-tiba ambyar bagai tisu yang terkena guyuran air hujan. Hancur dan terseret berserakan. Semua itu berawal dari suatu malam, ketika pihak kepolisian menggerebek sekelompok pasangan muda di sebuah hotel. Mereka tertangkap sedang beramai-ramai mengkonsumsi barang haram narkoba. Rupanya di antara mereka ada dua anak dari lelaki terpandang itu.
Keesokan harinya, jagat media sosial, televisi, surat kabar online, ramai dan menjadi berita besar. Kejadian itu diperbincangkan selama berhari-hari. Banyak orang kaget dan bertanya-tanya, “Ada apa dengan mereka yang terlanjur dianggap sempurna? Kurang apa keluarga itu? Bukankah lelaki itu telah memberikan segalanya kepada keluarga?” Tampaknya, ia yakin betul bahwa ia telah memberikan kebahagiaan kepada mereka. Ia merasa telah menjadi suami, orang tua dan manusia yang berhasil. Tapi, tiba-tiba hancur berantakan.
Kecukupan duniawinya tidak bisa menolong kepedihan hatinya. Dia tidak bisa lagi mengangkat kepala dengan tegak. Dia tidak bisa lagi berbicara lantang di depan khalayak tentang pembangunan bangsa. Dia tidak lagi bisa memberi pengarahan tentang membangun generasi muda yang tangguh. Dia tidak lagi memberikan penghargaan kepada para agamawan dan budayawan. Dia hanya bisa bertanya kepada dirinya, “Apa yang salah dari diriku? Di mana langkah kekeliruan langkah hidupku?” Alangkah cepat semua berlalu dari genggamannya.
Selama berhari-hari ia merenung dan tidak jua menemukan jawabannya. Ia kesulitan menemukan orang untuk mencurahkan kegalauannya. Mungkin karena jabatan dan posisi pentingnya. Hingga suatu saat, ia ungkapkan kegelisahannya kepasa salah seorang temannya. Saat itu, temannya hanya bertanya pendek, “Apakah keluargamu taat menjalankan agama?” Pertanyaan pendek, sederhana, tapi menyayat hati. Perlu jawaban yang tidak sederhana dan kejujuran tingkat tinggi.
Ternyata benar. Tidak ada suasana beragama di rumahnya. Hidupnya dibimbing oleh kepentingan yang praktis pragmatis. Sesekali memang ikut kegiatan keagamaan hari besar dan Ramadhan sambil bagi-bagi sembako dan angpao kepada fakir miskin dan anak yatim. Tetapi, itu lebih merupakan acara formal-seremonial belaka. Dalam bahasa medsos disebut “narsis” dan “jaga imaje” saja.
Begitulah, manusia baru ingat kepada agama, kepada Allah, ketika berada di titik nadir. Ia baru mulai merenung dan memikirkan eksistensi dan posisi dirinya yang sebenarnya. Ia baru berpikir tentang dasar-dasar keluarga dengan keimanan. Ia baru merasa betapa dunia itu lebih dari sekedar persoalan jabatan dan kekayaan. Ia baru merasa betapa pentingnya menyelami kedalaman makna agama. Sama halnya, ketika manusia diuji dengan pandemi. Dia baru akan “kembali ke rumah”. Ia mulai menyadari betapa ada jalan lain yang lebih sejati untuk memenuhi kebutuhan dirinya.
Belum lagi kepada mereka yang terpapar covid-19. Mereka baru mulai memikirkan tentang sangkan paraning dumadi, saat dadanya sesak bernafas serasa nyawa sudah berada di ujung penghabisan. Yang awalnya sibuk dengan pekerjaannya, mulai berdzikir dengan khusyu’ saat dokter menyarankan isolasi mandiri di rumah sakit. Yang awalnya tidak ingat berbagi kepada tetangganya, ia mulai bertanya kepada anak-anaknya di rumah “Ada apa di lemari bajunya? Tolong bagikan baju-baju itu kepada si anu dan si anu?” Ia juga mulai sadar betapa uang dan kekayaan tidak mampu menyembuhkan sakitnya.
Corona menuai hikmah. Ada kaitan yang sangat erat antara corona, keluarga dan kedalaman makna agama. Corona mengingatkan banyak orang kembali ke rumah dan keluarga. Tapi, jangan berbicara rumah tangga dan keluarga sakinah, mawaddah wa rahmah jika tidak ada agama di dalamnya. Sebab, kedamaian sejati itu datangnya dari Ilahi Rabbi. Kasih sayang yang sesungguhnya hanya karena atas karunia-Nya. Maka, langkah pertama yang ditunjukkan Rasulullah adalah “Terangi rumahmu dengan mendirikan shalat dan membaca Al-Quran.” Sebuah langkah yang sederhana, tidak membutuhkan biaya dan tidak rumit.
Saat pandemi corona, hampir semua orang lebih banyak berdiam diri di rumah. Seluruh anggota yang biasanya tidak pernah menjalankan shalat berjamaah, mulai melakukan. Di awal pandemi 2020 kita diberi berkah puasa Ramadhan. Umat Islam bisa menjalankan salat tarawih dan shalat lima waktu di rumah bersama keluarga. Sebuah kebiasaan yang kadangkala sangat jarang dilakukan oleh orang-orang yang sibuk dengan pekerjaannya. Melalui shalat kebiasaan mawas diri dan evaluasi diri dalam jiwa bisa dibangun.
Baca Juga: Mengkaji Turats Islami sebagai Refleksi Sekarang dan Masa Depan
Pada saat Ramadhan di tengah pandemi itulah semua anggota keluarga bisa bertadarrus al-Quran bersama one day one juz dan bisa diteruskan pasca Ramadhan. Orang tua yang biasanya tidak mengetahui bacaan anaknya, mulai tahu dan mengajarinya kembali. Sebaliknya, orang tua yang biasanya tidak pernah membaca Al-Quran di hadapan anaknya karena malu akan bacaannya sendiri, pada gilirannya harus belajar lebih baik lagi. Seseorang yang tidak pernah membaca artinya dan mendalami makna kitab sucinya, saat pandemi mulai memiliki waktu untuk melakukannya. Mereka membaca artinya dan mendalami kandungannya.
Itulah cahaya yang sesungguhnya. Jika lampu di rumah yang mewah itu hanya bisa menyinari ruangan rumah kita dan bisa menyentuh lensa mata kita, maka cahaya shalat dan mendalami makna Al-Quran menerangi lubuk hati penghuninya. Jika cahaya lampu mewah itu kadangkala hanya mempesona di awal saja, maka cahaya Tuhan akan menghiasi seluruh jalan hidup hingga Hari Perhitungan. Apalagi jika Al-Quran itu dibaca, didalami maknanya dan diamalkan dalam kehidupan.
Dalam sebuah kesempatan Abu Hurairah r.a. berkata, Rasulullah bersabda, “ Apabila sekelompok orang berkumpul di dalam rumah pemberian Allah, untuk membaca kitab Allah dan mempelajarinya pasti akan turun kepada mereka ketenangan dan diliputi penuh rahmat dan dikunjungi para malaikat dan selalu diingat oleh Allah seolah-olah mereka berada di sisi-Nya.” (HR. Muslim)
Melalui kedalaman makna agama itulah manusia yang awalnya khawatir dengan paparan corona bisa menjadi lebih tenang saat mendekatkan diri kepada Allah. Jika orang-orang yang tidak beragama atau kurang memahami agama hanya menggantungkan harapannya di dunia saja, maka orang yang beriman memiliki harapan yang lebih panjang. Sebab, ia bisa memohon menggantungkan harapannya kepada Allah. Pun, jika meninggal ia mati syahid.
Kesembuhannya, misalnya, tidak sebatas kepada dokter, tetapi kepada Allah Yang Maha Hidup dan tidak pernah tidur. Kita bisa bertanya kepada orang-orang yang terkena covid, apakah mereka akan sembuh manakala datang ke rumah sakit dengan membawa sekoper uang dan berkilo-kilo emas? Yang mereka butuhkan sesungguhnya doa kesembuhan yang menguatkan harapan dirinya, ketenangan hati, tidak gugup, dan pasrah kepada-Nya. Inilah titik simpul ditambahkannya daya tahan tubuh (imun) seseorang.
Dengan kedalaman makna agama, sebuah keluarga akan memahami tujuan hidup yang sesungguhnya. Tidak sekedar mengumpulkan dunia, melainkan juga bekal perjalanan panjang menuju negeri akhirat. Tujuan hidup seorang muslim adalah meraih kebahagiaan di dunia dan Akhirat, dan terhindarkan dari jilatan api neraka, sebagaimana doa sapu jagat yang sering dilantunkan. Karenanya, sepanjang perjalanan hidup seseorang dan keluarga semestinya searah dengan tujuan tersebut. Jika ingin hidup damai, maka harus melakukan sesuatu yang bisa mendamaikan. Tidak sedikit orang yang mengutamakan kesenangan sementara, walaupun ia tahu akibatnya akan menyusahkan.
Hidup seseorang dan keluarga itu selalu mengalami naik turun, jatuh bangun. Saat orang sedang jatuh, maka sandaran paling kuat adalah bersandar kepada Tuhan. Tetapi, jika ia tidak pernah atau jarang-jarang berkomunikasi dengan Tuhan (beribadah dan berdzikir), maka ketika badai kehidupan menerpa, ia akan kehilangan pegangan.
Manusia dan tatanan keluarga kita memerlukan energi untuk bisa bangkit dan sumber energi ruhaniah dari Tuhan. Untuk menguatkan ruhani saat menghadapi problem, ia bisa menguatkan hati dan jiwanya melalui bangun di keheningan malam untuk salat dan berdoa. Ajak dan bangunkan seluruh keluarga untuk bangun malam. Sekali lagi, ketangguhan keluarga di masa dan pasca pandemi, mau tidak mau mesti dibangun dari titik kedalaman makna agama. Ya, dari pemahaman agama yang berkemajuan. Wallahu a’lam.