Oleh: Ir. Gatot Supangkat S
“Makan dan minumlah kalian dari rezeki yang diberikan Allah, dan janganlah kalian berjalan di muka bumi dengan berbuat kerusakan” (QS. Al-Baqarah [2]: 60).
Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang diolah maupun tidak, diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan ain yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan atau pembuatan makanan dan minuman (Peraturan Menteri Pertanian No 25/Permentan/OT.140/2/2010).
***
Permasalahan pangan tidaklah sesederhana yang dibayangkan, baik bagi mereka yang memiliki daya beli tinggi maupun sebaliknya. Mereka yang memiliki daya beli tinggi dihadapkan pada masalah barang yang dibeli tidak tersedia secara cukup (ketersediaan). Sebaliknya barangnya tersedia tetapi bagi mereka yang memiliki daya beli rendah dihadapan pada masalah ketidak-mampuan membeli (keterjangkauan). Permasalahan itu akan lebih parah apabila barangnya tidak ada, sehingga yang diperlukan yakni ketersediaan pangan bagi masyarakat sekaligus terjangkau untuk mendapatkannya. Inilah yang dimaksud dengan ketahanan pangan yang dapat berdampak secara sistemik bagi kelangsungan hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Dua landasan pokok yang harus dipenuhi dalam pembangunan ketahanan pangan, yaitu Ketersediaan dan Aksesibilitas Pangan bagi masyarakat. Sebenarnya komitmen ketahanan pangan telah dituangkan dalam Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 1996 yang menyebutkan bahwa Ketahanan Pangan adalah kondisi tepenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata, dan terjangkau.
Ketahanan pangan akan tangguh dan berkelanjutan apabila dibangun suatu upaya yang menuju pada Kemandirian Pangan. UU No. 41 Tahun 2009 menyebutkan bahwa kemandirian pangan adalah kemampuan produksi pangan dalam negeri yang didukung kelembagaan ketahanan pangan yang mampu menjamin pemenuhan kebutuhan pangan yang cukup di tingkat rumah tangga, baik dalam jumlah, mutu, keamanan, maupun harga yang terjangkau, yang didukung oleh sumber-sumber pangan yang beragam sesuai dengan keragaman lokal. Kata kuncinya, yaitu pangan tersedia cukup, aman, merata (distribusi), dan terjangkau. Semua harus dalam konsep stabilitas dan berkelanjutan/berkesinambungan (lestari). Konsep tersebut harus dapat dipahami dan diimplementasikan baik secara makro (bernegara) maupun mikro (rumah tangga).
Islam telah memberikan pedoman dengan jelas bagaimana seharusnya hal itu dilaksanakan dalam kehidupan, terutama dapat dimulai dari diri sendiri atau keluarga (rumah tangga). Pembangunan ketahanan dan kemandirian pangan yang dimulai dari rumah tangga (mikro) tentu secara makro akan terwujud pula.
Tersedia Cukup (Ketersediaan)
Tersedia cukup adalah kondisi ketersediaan bahan pangan yang memenuhi kebutuhan dasar rumah tangga dan tidak berlebihan. Ada dua hal yang perlu diperhatikan berkaitan dengan ketersediaan, yaitu penyediaan (produksi) dan pemanfaatannya. Bagi seorang muslim, makan dan minum bukan menjadi tujuan utama (nafsu belaka) tetapi sebagai sarana saja, yakni menjaga kesehatan tubuh agar mampu beribadah kepada Allah dengan baik sehingga diperoleh kemuliaan hidup di dunia dan akhirat.
Oleh karena itu, landasan filosofisnya yaitu kebutuhan (terbatas) bukan keinginan (tidak terbatas/nafsu). Apabila kebutuhan itu sudah terpenuhi maka tidak perlu menambah-nambah karena akan berlebihan dan tentu tidak aman (awal penyakit) serta dimungkinkan dapat mengurangi atau mengambil bagian orang lain. Allah Swt. berfirman: Makan dan minumlah kamu, dan janganlah berlebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebihan (QS. al-A’raf [7]: 31).
Selama persediaan pangan itu digunakan secara wajar, maka pasti mencukupi kebutuhan pangan seluruh umat manusia, karena Allah telah mengukurnya. Akan tetapi bila pemanfaatannya tidak terkendali, berlebihan hingga terjerumus pada kemubadziran, maka seberapapun ketersediaan pangan yang ada, dapat dipastikan pangan yang tersedia selalu tidak cukup.
Aman, Halal, dan Baik
Keamananan pangan (food security) adalah kondisi pangan atau bahan pangan yang aman untuk dimakan baik dari aspek bahan baku, proses penyediaan, produk maupun cara memanfaatkannya. Dalam Islam makanan dikatakan aman apabila memenuhi dua hal pokok, yaitu halal dan baik (thayyib). Makanan dikatakan halal apabila memenuhi kaidah syar’i dan bukan pertimbangan lainnya, sedangkan baik pertimbangannya selain halal juga kesehatan tubuh. Jadi sebenarnya, dalam Islam tidak ada larangan terhadap makanan dan minuman kecuali yang sudah jelas dilarang. Hal itu misalnya dijelaskan dalam QS. al-A’raf [7]: 157; QS. al-Baqarah [2]: 168; QS. al-An’am [6]: 145.
Termasuk makanan yang akan diberikan kepada orang lain, Islam juga mengajarkan harus terjamin aman, sebagaimana sabda Rasulullah saw: Janganlah kamu memberi makanan yang kamu sendiri tidak suka memakannya (HR. Ahmad). Selain itu, dikatakan halal apabila makanan atau bahan pangan jelas asal usulnya, sebagaimana Nabi Zakariya memastikan asal-usul makanan yang dinikmati Siti Maryam (dalam pengasuhannya), artinya: “Hai Maryam darimana kamu memperoleh (makanan) ini? Maryam menjawab: Makanan itu dari Allah. Sesungguhnya Allah memberi rezeki kepada siapa yang dikehendaki-Nya tanpa hisab” (QS. ali-Imran [3]: 6).
Allah juga memerintahkan dalam al-Quran (yang artinya), “maka makanlah binatang-binatang (yang halal) yang disebut nama Allah ketika menyembelihnya, jika kamu beriman kepada ayat-ayat-Nya (QS. al-An‘am [6]: 118). Islam memerintahkan agar proses penyediaan atau pembuatan atau penyajian harus memenuhi kaidah halal dan baik. Harus dihindarkan dari bahan-bahan berbahaya bagi kelangsungan hidup manusia, seperti zat aditif atau bahan-bahan sintetis atau bahan lainnya yang berdampak buruk pada kesehatan.
Merata Bagi Semua
Kemerataan adalah situasi pangan yang dapat dinikmati oleh seluruh masyarakat secara cukup dan aman. Ketidak-merataan pangan tentu akan mengancam stabilitas ekonomi, sosial, budaya, politik dan bahkan ideologi. Oleh karena itu, kondisi tersebut harus diupayakan sedemikian rupa sehingga ancaman itu dapat dihindari.
Dalam hal ini, Rasulullah saw telah mengajarkan dan menginspirasi kita untuk berbagi dan mengatur pembagian pangan secara merata. “Makanan seorang cukup buat dua orang, makanan buat dua orang cukup untuk empat orang dan makanan buat empat orang cukup untuk delapan orang” (HR. Muslim). Di sini jelas bahwa landasan filosofisnya harus kebutuhan bukan keinginan agar tercapai kemerataan atau keadilan dalam pemenuhan pangan.
Keterjangkauan pangan adalah situasi pangan yang dapat diakses oleh seluruh rakyat baik secara langsung maupun tidak langsung. Sebagian masyarakat dapat dan mampu memperoleh pangan secara langsung karena kemampuan ekonominya dengan cara pembelian, namun sebagian yang lain tidak langsung dikarenakan ketidak-mampuannya secara ekonomi.
Berkaitan dengan hal itu, Islam telah mengatur secara bijaksana dan berkeadilan. Di antaranya disebutkan dalam QS. al-Maidah [5]: 106 dan QS. an-Nisa [4]: 29. Dijelaskan bahwa bagi yang mampu secara ekonomi harus melakukan pembelian untuk memenuhi kebutuhan pangannya, sedangkan yang kurang atau bahkan tidak mampu maka diharapkan kesalehan sosial dari sesama muslim dapat ditumbuh- kembangkan (ta’awun dan takaful). Tentu hal ini perlu dilembagakan agar fungsi keterjangkauan yang merata dan berkeadilan dapat terpenuhi sesuai tujuan dan targetnya.