Lanjutan dari Membangun Komitmen Hidup untuk Menanggulangi Seks Bebas (1)
Oleh : Dr. Hamim Ilyas (Wakil Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid)
Al-Qur’an sebagai kitab berbahasa Arab ketika menggunakan kata na’budu sudah barang tentu memaksudkan makna yang dikenal dalam bahasa itu. Perujukan makna ini secara jelas tidak hanya terdapat dalam al-Fatihah saja, tetapi juga dalam surat-surat lain yang menggunakan kata itu dan beberapa varian kata kerja dan kata benda dari ‘ibadah yang lain, seperti surat al-Kafirun yang menggunakan kata-kata: ‘abada, a’budu, ta’budun, ‘abid dan ‘abidun. Dalam surat-surat itu kata-kata tersebut nyata-nyata digunakan dengan pengertian “menyembah”, bukan melakukan perbuatan-perbuatan baik yang diridhai Allah secara umum.
“Menyembah” sebagai pengertian ibadah untuk merespon kehadiran Tuhan sudah pasti berupa ritual-ritual pemujaan murni untuk Tuhan. Dalam Islam ritual-ritual itu meliputi shalat, puasa, haji, dan zikir. Namun dalam syariat yang ditetapkan sesuai dengan hakikatnya sebagai agama etis, pemujaan kepada Allah tidak cukup dengan itu. Pemujaan kepada-Nya juga wajib dilakukan melalui kegiatan-kegiatan tertentu untuk kepentingan manusia, yakni zakat dan kurban. Menurut lahirnya kedua kegiatan ibadah itu murni berhubungan dengan manusia. Keduanya menjadi ibadah karena pelakunya tidak berorientasi pada diri sendiri dan melakukannya untuk membantu sesama supaya bisa hidup layak dan sejahtera. Keikhlasan membuat kedua perbuatan yang tampak sekuler itu menjadi pemujaan dan dilembagakan sebagai ekspresi iman yang etis dengan menunjukkan keberpihakan kepada mereka yang lemah dan tertindas melalui kegiatan sosial-kemanusiaan-ekonomi.
Kenyataan adanya dimensi duniawi dalam ibadah Islam ini ditambah dengan dalil-dalil yang menegaskan pemberian pahala untuk melakukan perbuatan baik dan meninggalkan perbuatan buruk tampaknya menjadi latar belakang lahirnya doktrin ibadah dalam pengertian yang sangat luas di atas. Secara subtantif doktrin ini bagus. Tapi secara teologis harus dibedakan antara ibadah dan bernilai ibadah, apalagi dalam Islam secara tegas diajarkan tidak bolehnya menambah ibadah yang dipandang menjadi bid’ah. Dengan demikian ibadah dalam Islam sebenarnya hanya terdiri dari enam kegiatan ritual itu. Adapun selainnya merupakan amal-amal bernilai ibadah. Ikrar untuk beribadah sebagai respon terhadap kehadiran Allah yang Maha Rahman dan Rahim adalah komitmen untuk secara ikhlas dan sungguh-sungguh menjalankan keenam amal ibadah tersebut dan menjalankan amal-amal yang bernilai ibadah. Hal ini berarti bahwa pelaksanaan komitmen beribadah itu dengan mengabdi kepada-Nya.
Dengan komitmen hidup untuk mengabdi atau ibadah dalam arti luas dan doa itu, manusia bisa mengembangkan spiritualitasnya dan melepaskan diri dari kekuasaan nafsu ammarah dan lawwamah-nya. Keterbebasan dari kekuatan batin yang mendorong untuk melakukan ketidakbaikan dan menimbulkan kegelisahan ini pasti membuatnya damai. Kedamaian ini tidak hanya berguna, tapi menjadi syarat, supaya dia dapat melaksanakan komitmen dengan total dan gembira.
Pelaksanaan komitmen hidup mengabdi kepada Allah secara total era sekarang harus meliputi enam peran pengabdian sebagai berikut:
1. Pribadi (menjadi pribadi rahmat, bahagia dan unggul)
2. Hamba Allah Yang Maha Rahman dengan karakter-karakter yang disebutkan dalam al-Furqan, 25: 63-77 (tawadlu’, berbudaya damai dan seterusnya)
3. Anggota keluarga (berperan mewujudkan keluarga sakinah)
4. Warga masyarakat (berperan mewujudkan ummatan wasatha, masyarakat pilihan yang memiliki etos fastabiqul khairat, berada di depan dalam semua kebaikan)
5. Warga negara {berperan mewujudkan negara idaman: baladan aminan (negara aman dan damai), baldatun thayyibatun wa Rabbun Ghafur (adil, makmur, berwawasan lingkungan hidup dan kejahatan terkendali), al-balad al-amin (negara amanah yang menjamin hak-hak rakyat)
6. Warga dunia (menghindarkan terjadinya kerusakan di darat dan laut, al-fasad fil barr wal bahr).
Memiliki komitmen hidup pengabdian kepada Allah demikian dengan gembira sudah barang tentu membuat orang tidak berfikir untuk melakukan seks bebas, apalagi melakukannya. Dakwah yang dilakukan sekarang di antaranya adalah membangun komitmen hidup di kalangan umat untuk mengabdi kepada Allah dengan enam peran di atas.
Tulisan ini pernah dimuat di Majalah Suara ‘Aisyiyah Edisi 5 Mei 2016, Rubrik Hikmah