Yogyakarta, Suara ‘Aisyiyah – Ada tiga tahapan dalam mempersiapkan diri menjadi orang tua, yaitu: (a) dimulai dari masa baligh, di mana individu belajar mempersiapkan diri untuk bertanggung jawab serta membangun pribadi dan kemampuan untuk menjadi orang tua; (b) pernikahan, yakni membangun visi dan misi keluarga serta mempersiapkan diri untuk bertanggung jawab sebagai pasangan suami istri dalam berkeluarga, dan; (c) melahirkan, mengasuh, serta mendidik anak untuk menjadi anak yang saleh dan salehah.
Pernyataan tersebut disampaikan oleh Yusi Riska Yustiana selaku Wakil Ketua Pimpinan Wilayah ‘Aisyiyah Jawa Barat dalam acara Gerakan Subuh Mengaji ‘Aisyiyah Jawa Barat. Acara yang mengusung tema “Mempersiapkan Diri Menjadi Orang Tua” itu dilakukan secara daring pada Kamis (21/10).
Yusi menyampaikan, dalam konteks psikopedagogis religious, seseorang yang berada pada masa akil baligh mengalami empat perubahan dalam dirinya, yaitu perubahan dalam konteks pertumbuhan, kematangan, belajar, dan perkembangan. Ia melanjutkan, pada masa akal baligh ini, calon orang tua harus mempunyai pandangan yang positif tentang pernikahan.
Tentang reproduksi, Yusi mengatakan, reproduksi yang halal adalah yang sesuai dengan hukum agama, sosial, dan hukum positif lainnya yang berlaku. Ia menyampaikan, akil baligh menjadi kunci sah perjalanan manusia dalam menjalankan ibadah muamalah di hadapan Allah swt.
Baca Juga: Peran Orang Tua dalam Membangun Kepercayaan Diri Anak
Pada saat mempersiapkan diri menuju pernikahan, Yusi mengatakan bahwa terdapat tiga tahapan penting, yakni; (a) memahami bahwa pernikahan itu merupakan ibadah; (b) melakukan pemenuhan pembekalan diri, dan; (c) memilih serta menentukan pasangan untuk dapat menjalankan kehidupan sepanjang hidup hingga melangkah bersama menuju surganya.
Ia menambahkan, manfaat menikah yang paling utama adalah dikaruniai seorang anak. Karena anak merupakan kesinambungan dalam upaya mendekatkan diri kepada Allah swt.
Lebih lanjut, Yusi menyampaikan bahwa pada saat seseorang siap untuk menjadi pasangan ayah dan ibu, maka perilaku sehari-hari harus dijaga dan sebisa mungkin memberi asupan yang halal dan thayyib. Hal itu bisa dimulai sejak seorang istri hamil. Pasangan suami istri dapat membangun interaksi cinta kasih atas dasar kesyukuran terhadap amanah Allah swt. Tidak kalah penting adalah untuk taat terhadap hukum-hukum Allah swt.
Di akhir pembahasannya, Yusi mengatakan, “mengenai mempersiapkan diri menjadi seorang ayah dan ibu, bahwa kita tidak hanya menjadi ayah dan ibu secara biologis, tetapi kita menjadi ayah dan ibu psikologis, menjadi ayah dan ibu organisasi, menjadi ayah dan ibu komunitas dalam masyarakat”.
Karena pada dasarnya, lanjutnya, anak-anak akan terus belajar untuk memperbaiki diri bersama ayah dan ibunya. (silvi)