Secara normatif, salah satu pesan utama al-Quran adalah keadilan. Nilai kepedulian dan keberpihakan Islam terhadap kelompok yang lemah (dhuafa) dan yang dilemahkan (mustadhafin) sangat kuat. Hal tersebut disampaikan Amelia Fauzia, pengajar di Universitas Islam Negeri Jakarta yang juga pemerhati isu filantropi Islam. Banyak ayat al-Quran yang mengecam perilaku menumpuk harta dan bermegah-megahan oleh sekelompok orang yang mengakibatkan terjadinya ketimpangan ekonomi, sosial, dan politik.
Menurut Amelia Fauzia, dunia tanpa si miskin dan si kaya adalah sebuah utopia. “Di sepanjang zaman akan selalu ada, sehingga dibuatlah sistem,” jelasnya. Sistem tersebut dibuat agar tercipta sebuah tatanan kehidupan yang berkeadilan dan berkeadaban.
Di sisi yang lain, Islam menawarkan ajaran tentang kepedulian dan keperpihakan yang terlembagakan dan tersistem dengan baik. Menurut Profesor di bidang Sejarah Islam di Indonesia itu, ajaran untuk mengasihi sesama sebenarnya juga ada di dalam tradisi dan/atau agama lain, hanya saja belum terlembagakan. Sementara itu, Fauzia mencontohkan bahwa dilembagakannya zakat dalam Islam adalah untuk mencegah atau meminimalisir orang-orang kaya menimbun harta dan mengeksploitasi orang miskin. “Zakat itu wujud keberpihakan Islam yang serius,” tegasnya.
Dari Karitas ke Filantropi
Samuel Johnson dalam A Dictionary of the English Languange (1979) mengartikan philanthropy (filantropi) sebagai “love of mankind; good nature” (cinta sesama manusia; sifat baik). Istilah tersebut dapat juga didefinisikan sebagai kedermawanan. Tidak seperti charity (karitas) yang bersifat jangka pendek, filantropi adalah bentuk kedermawanan jangka panjang yang tidak sekadar membantu, tetapi juga berusaha menggali akar permasalahan dan menemukan solusi atas permasalahan tersebut.
Menurut Fauzia, praktik filantropi di Indonesia muncul pada abad ke-18. Tepatnya ketika upaya kedermawanan tidak mampu secara maksimal menurunkan angka kemiskinan. Sejak saat itu, muncullah apa yang disebut sebagai effective giving, yakni sebuah upaya agar kegiatan memberi dapat berjalan dengan efektif sehingga masyarakat merasakan kehidupan yang sejahtera.
Baca Juga: Filantropi: Atasi Kemiskinan, Wujudkan Kehidupan Berkeadilan
Saat ini, jelas Fauzia, setidaknya terdapat tiga tren di lembaga-lembaga kedermawanan, yakni; (a) jangka pendek (diibaratkan dengan memberi ikan); (b) jangka menengah (diibaratkan dengan memberi alat pancing), dan; (c) jangka panjang (diibaratkan dengan advokasi dan pemberdayaan supaya masyarakat kritis dan peduli dengan lingkungan di sekitarnya, agar ruangnya untuk mencari ikan tidak dimonopoli). “Di Indonesia, rata-rata lembaga punya program jangka pendek dan jangka menengah, tetapi hanya sedikit yang punya program jangka panjang,” ungkapnya.
Tiga tren tersebut ada seiring semakin beragamnya permasalahan di tengah kehidupan masyarakat. Terhadap permasalahan yang diakibatkan oleh faktor struktural, Fauzia menjelaskan bahwa intervensi yang dilakukan idealnya memang bersifat jangka panjang. Akan tetapi, ia menyadari bahwa tidak semua lembaga punya pemikiran tentang dan/atau untuk melakukan advokasi. Sementara itu, terhadap permasalahan yang membutuhkan respons cepat, maka gerakan karitatif punya peran yang penting. Artinya, tiga tren tersebut memainkan perannya masing-masing sesuai dengan permasalahan yang ada di lapangan.
Senada dengan apa yang disampaikan Fauzia, Wakil Ketua Badan Pengurus Lazismu Pusat Barry Adhitya menyampaikan bahwa Muhammadiyah mempunyai tiga strategi utama dalam membela dan mendampingi kelompok dhuafa dan mustadhafin. Tiga strategi itu adalah: (a) memberikan pertolongan terhadap keselamatan jiwa; (b) pemenuhan hak-hak kemanusiaan, dan; (c) melakukan pemberdayaan dengan maksud mengangkat derajat kehidupan, baik individu maupun kelompok.
Sebagai trisula Muhammadiyah abad kedua, Lazismu bersama MPM dan MDMC terus bergerak memberikan pendampingan dan mengadvokasi masyarakat yang hak-hak kemanusiaannya tidak terpenuhi, baik oleh sebab kultural maupun struktural. Khusus Lazismu, Barry menjelaskan bahwa jika selama ini Lazismu seringkali ditempatkan sekadar sebagai lembaga penyandang dana, maka ke depan akan digerakkan untuk juga menjadi bagian dari sinergi implementasi program.
Membantu Tanpa Pandang Bulu
Sebagaimana disampaikan Fauzia, zakat adalah wujud keberpihakan Islam terhadap kelompok dhuafa dan mustadhafin. Dalam Q.S. at-Taubah [9]: 60, disebutkan ada 8 kelompok (ashnaf) penerima zakat, yakni orang fakir, miskin, amil, muallaf, budak, orang berhutang, untuk jalan Allah, dan orang yang berada dalam perjalanan.
Terhadap 8 kelompok ini, sebagian ulama melakukan redefinisi atau reinterpretasi yang dikontekstualisasikan dengan realitas kehidupan pada masanya, sedangkan sebagian yang lain tetap berpijak pada definisi literal. Perbedaan definisi tersebut berimbas pada jangkauan kriteria penerima zakat (mustahiq) oleh lembaga-lembaga pengelola zakat.
Fauzia menjelaskan bahwa perbedaan definisi penerima zakat itu tidak menurunkan tingkat kepedulian dan kedermawanan umat Islam. Ketika lembaga yang bersangkutan berpegang pada definisi bahwa penerima zakat hanya Muslim saja, maka bantuan kemanusiaan yang diberikan akan dikemas dalam bentuk sedekah, bukan zakat. Lebih lanjut, menurutnya, “sebenarnya lembaga filantropi Islam punya semangat non-diskriminasi yang kuat, tetapi seringkali terkungkung pada persoalan fikih,” ujar Fauzia.
Baca Juga: Redefinisi Ashnaf Zakat dalam Perspektif Tarjih
Di Muhammadiyah, Barry menjelaskan bahwa jangkauan penerima manfaat itu sudah clear. “Muhammadiyah hadir untuk kemanusiaan, dan kemanusiaan itu lintas agama, budaya, bahkan lintas benua. Tidak pernah Muhammadiyah menyebutkan bahwa yang berhak dibantu hanya yang beragama Islam saja,” jelas Barry.
Dalam konteks zakat, imbuh Fauzia, Muhammadiyah juga telah melakukan redefinisi atas 8 kelompok penerima zakat. Sebagai contoh, riqab –yang dalam makna literalnya bermakna budak— didefinisikan ulang sebagai orang yang menjadi korban dari sistem yang menindas dan eksploitatif, baik di sektor ekonomi, politik, seksual, maupun hal-hal lain yang berada di luar batas kemanusiaan. Menurut Fauzia yang menulis buku Filantropi Islam, Sejarah dan Kontestasi Masyarakat Sipil dan Negara di Indonesia, ijtihad Muhammadiyah dalam melakukan redefinisi ini mempertegas posisi Muhammadiyah sebagai organisasi Islam yang progresif atau berkemajuan.
Tantangan Filantropi Islam
Fauzia menyebutkan ada beberapa tantangan yang harus segera disikapi oleh lembaga filantropi Islam. Pertama, perbedaan definisi ashnaf –sebagaimana dijelaskan sebelumnya—jika tidak disikapi dengan hati-hati berpotensi membelah masyarakat dan akhirnya melahirkan permasalahan baru. Maksud hati ingin membantu, tetapi secara tidak sengaja malah membuat masyarakat tersegregasi.
Kedua, perihal tata kelola kelembagaan, pemerintah agak terlambat merespons perubahan. Fauzia mencontohkan dengan maraknya fundraising yang menggunakan platform digital. Dalam hal ini, pemerintah kewalahan membuat peraturan, sehingga seringkali masih menggunakan Undang-undang yang lama.
Ketiga, beberapa lembaga yang belum punya bargaining position yang kuat seringkali masih ‘dikendalikan’ oleh donatur, misalnya dengan memenuhi keinginan donatur untuk menyalurkan bantuannya ke sektor-sektor yang kurang strategis dan bersifat jangka pendek. Oleh karenanya, menurut Fauzia, donatur perlu diedukasi, diadvokasi, dan diperbaharui pola pikirnya agar tidak sekadar memberikan bantuan untuk program yang bersifat jangka pendek, tetapi juga program jangka menengah dan jangka panjang, misalnya dengan menjangkau kaum rentan hingga memperhatikan upaya penanganan problem perubahan iklim. (Sirajuddin)