Oleh: Yusuf Abdul Hasan
Kemerdekaan dan tauhid merupakan dua hal yang tidak mungkin dipisah. Jika kemerdekaan diibaratkan bunga dan buah suatu tanaman, tauhid adalah akar tanaman yang terhujam jauh ke dalam bumi tempat ia disemai, kemudian tumbuh dan tegak berdiri. Nalar seperti ini dapat kita telusuri pada firman Allah swt. sebagai berikut:
أَلَمْ تَرَ كَيْفَ ضَرَبَ ٱللَّهُ مَثَلًا كَلِمَةً طَيِّبَةً كَشَجَرَةٍ طَيِّبَةٍ أَصْلُهَا ثَابِتٌ وَفَرْعُهَا فِى ٱلسَّمَآءِ (24) تُؤْتِىٓ أُكُلَهَا كُلَّ حِينٍۭ بِإِذْنِ رَبِّهَا ۗ وَيَضْرِبُ ٱللَّهُ ٱلْأَمْثَالَ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ (25)
Artinya, “Tidakkah kamu memperhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya kuat dan cabangnya (menjulang) ke langit. Pohon itu menghasilkan buahnya pada setiap waktu dengan seizin Tuhannya. Dan Allah membuat perumpamaan itu untuk manusia agar mereka selalu ingat” (QS. Ibrahim [14]: 24-25).
Ibnu Katsir dalam kitab tafsirnya dengan jelas menggambarkan apa yang dimaksud “kalimat yang baik”, “pohon yang baik”, serta “akarnya kuat dan cabangnya menjulang ke langit”. “Kalimat yang baik” tak lain adalah kalimat tauhid laa ilaaha illallaah. “Pohon yang baik” adalah kiasan mengenai sosok orang-orang yang beriman. Adapun “akarnya kuat dan cabangnya menjulang ke langit” adalah keyakinan teguh yang tertanam pada hati orang-orang yang beriman bahwa “tidak ada ilah yang haq selain Allah semata”. Keyakinan yang sedemikian kuat ini mengejawantah dalam kehidupan nyata berupa amal-amal perbuatan baik. Hasilnya, Allah akan memberikan kehormatan diangkat ke langit.
Para mufasir lain, seperti yang ditulis dalam juga menyatakan hal yang sama, bahwa “akarnya kuat dan cabangnya menjulang ke langit” adalah perumpamaan tentang perbuatan, perkataan yang baik, dan amal saleh orang-orang mukmin. Oleh sebab itu, orang-orang mukmin bagaikan pohon kurma, amal baik mereka senantiasa diangkat oleh Allah, di setiap saat, di setiap kesempatan, pada waktu pagi maupun petang.
Imam Bukhari meriwayatkan dari ibnu ‘Umar yang mengisahkan bahwa dirinya bersama ‘Umar bin Khattab dan Abu Bakar ash-Shiddiq tengah berada di samping Rasulullah saw. Saat itu beliau bersabda, “sebutkanlah sebuah pohon yang serupa atau seperti orang muslim yang daunnya tidak berjatuhan pada musim panas dan musim dingin dan menghasilkan buah setiap saat dengan izin Rabb-nya”.
Dalam hatinya, ibnu ‘Umar mengatakan bahwa yang dimaksud pohon oleh Rasulullah saw. itu tiada lain adalah pohon kurma. Tapi ia enggan menjawab pertanyaan Rasulullah saw. itu lantaran ia melihat ayahnya dan Abu Bakar terdiam, tidak menjawab. Karena mereka terdiam, Rasulullah pun bersabda, “Pohon itu adalah pohon kurma”.
Setelah hal itu berlalu, barulah ibnu ‘Umar mengatakan kepada ‘Umar bin Khattab, “Wahai Ayah, demi Allah, sesungguhnya tadi telah terbetik dalam hatiku pohon yang dimaksud Rasulullah saw. itu adalah pohon kurma”. ‘Umar bertanya, “Mengapa kamu tidak mengatakannya?” Aku menjawab, “Aku lihat kalian tidak ada yang berbicara, maka aku pun enggan berbicara atau mengatakan sesuatu”. ‘Umar berkata: “Sungguh, bila engkau mengatakannya, pasti aku lebih senang daripada begini dan begitu”.
Baca Juga: Memahami Dialektika Keimanan dalam Visi Tauhid
Dari susunan kalimat pada ayat di atas tampak bahwa orang-orang mukmin itu seperti sebuah pohon yang selalu berbuah pada setiap waktu, pada musim panas dan musim dingin, baik pada malam hari maupun pada siang hari. Amal perbuatan mereka senantiasa diangkat oleh Allah di sepanjang malam dan di penghujung siang pada setiap waktu, setiap saat. Dengan seizin Rabb-nya, buah keyakinan tauhid orang-orang mukmin itu sungguh sempurna, lebat, bagus, dan penuh berkah. Semua perumpamaan itu sengaja dibuat oleh Allah agar manusia selalu ingat.
Dari sudut pandang ini, merdeka dan kemerdekaan ibarat buah kurma, lezat, dan berkhasiat. Tegasnya, jiwa merdeka atau kemerdekaan merupakan buah dari pohon tauhid yang menjulang tinggi ke langit dalam kehidupan manusia seantero jagad.
***
Merdeka adalah bebas dari perhambaan atau penjajahan, berdiri sendiri, tidak terkena atau lepas dari tuntutan; tidak terikat atau tidak bergantung kepada orang atau pihak lain, dan dalam batas tertentu memiliki keleluasaan atau dapat berbuat sekehendak hatinya. Kemerdekaan berarti suatu kondisi setiap manusia yang di dalamnya orang memiliki kebebasan, keleluasaan menentukan diri sendiri, dan tidak terikat dengan apa pun dan siapa pun.
Berabad jauh sebelum kemerdekaan Indonesia, Jean Jacques Rousseau (filosof berkebangsaan Perancis, wafat 1778) mengemukakan pemikiran filosofisnya bahwa pada kondisi alami (state of nature), manusia memiliki kebebasan mutlak: bebas melakukan apa pun yang dikehendaki. Kebebasan menurutnya adalah determinan yang membuat manusia menjadi manusia alami”.
Pemikiran yang disusul dengan ide-idenya mengenai pentingnya kontrak sosial dalam bentuk negara itu telah mengejutkan banyak orang. Tidak mengherankan bila di kemudian hari, pemikiran Rousseau dinilai menjadi pendorong munculnya Revolusi Perancis. “Kesetaraan, kebebasan, persaudaraan” menjadi kata kunci yang memiliki tuah dalam melahirkan sejarah negara dan teori politik Barat.
Sejalan pengertian harfiah ini, alinea pertama Pembukaan UUD 1945 dengan tandas menegaskan bahwa “sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan”.
Bagi Bung Karno, seperti dikutip banyak pakar, kemerdekaan adalah kebebasan untuk merdeka. Setiap bangsa merdeka harus mempunyai kebebasan untuk menentukan diri dan merumuskan konsepsi nasional dirinya sendiri tanpa dihalang-halangi oleh tekanan-tekanan atau campur tangan luar. Kemerdekaan nasional adalah suatu kebebasan untuk menjalankan urusan politik, ekonomi, dan sosial kita sejalan dengan konsepsi nasional kita sendiri.
Baca Juga: Millah Ibrahim: Tuhan Hanya Satu, Allah Semata
Setelah menimbang bahwa pengakuan atas martabat alamiah dan hak-hak yang sama dan mutlak dari semua anggota keluarga manusia adalah dasar kemerdekaan, keadilan, dan perdamaian di dunia dan seterus-nya, Perserikatan Bangsa Bangsa pun mengeluarkan Pernyataan Umum tentang Hak-Hak Asasi Manusia. Pasal 1 dalam pernyataan tersebut menegaskan “semua orang dilahirkan merdeka dan mempunyai martabat dan hak-hak yang sama. Mereka dikaruniai akal dan hati nurani dan hendaknya bergaul satu sama lain dalam semangat persaudaraan”.
Selanjutnya pada pasal 2 dinyatakan bahwa “setiap orang berhak atas semua hak dan kebebasan-kebebasan yang tercantum di dalam Pernyataan ini tanpa perkecualian apapun, seperti ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, politik atau pendapat yang berlainan, asal mula kebangsaan atau kemasyarakatan, hak milik, kelahiran ataupun kedudukan lain. Di samping itu, tidak diperbolehkan melakukan perbedaan atas dasar kedudukan politik, hukum, atau kedudukan internasional dari negara atau daerah dari mana seseorang berasal, baik dari negara yang merdeka, yang berbentuk wilayah-wilayah perwalian, jajahan atau yang berada di bawah batasan kedaulatan yang lain”.
***
Apa pun pengertian, makna, dan hakikat merdeka atau kemerdekaan dalam pemikiran manusia, apalagi yang dikonstruk dari pemikiran dan pengalaman masyarakat Barat, tak satu pun rasanya yang menyentuh hakikatnya dalam dimensi fundamental spiritual. Dalam hal ini, Islam sesungguhnya memiliki kekayaan empirik yang jauh lebih berharga di sepanjang perjalanan sejarahnya.
Sejarah Nabi Ibrahim as. menunjukkan betapa merdeka dan kemerdekaan itu mesti berakar pada dimensi fundamental dan spiritual. Jauh sebelum mengutus para Nabi dan Rasul dengan kitab suci masing-masing, terlebih dahulu Allah mengutus Ibrahim as. dengan derajat kemuliaan yang amat tinggi. Allah telah menganugerahkan rusyd kepada beliau, yakni kelayakan untuk memperoleh petunjuk kebenaran lantaran kebersihan diri dan kecerdasan beliau. Allah berfirman sebagaimana termaktub dalam al-Quran:
وَلَقَدْ آتَيْنَا إِبْرَاهِيمَ رُشْدَهُ مِنْ قَبْلُ وَكُنَّا بِهِ عَالِمِينَ
Artinya, “Dan sesungguhnya telah Kami anugerahkan kepada Ibrahim hidayah kebenaran sebelum (Musa dan Harun), dan adalah Kami mengetahui keadaannya” (QS. al-Anbiya’ [21]: 51).
Secara kebahasaan, kata rusyda pada ayat di atas memiliki makna dasar “ketepatan dan kelurusan jalan”. Bagi manusia, rusyda atau ketepatan dan kelurusan jalan ini identik dengan kesempurnaan akal dan jiwa yang di dalamnya terkandung “kekuatan dan keteguhan”. Dari kata ini kemudian berkembang menjadi kata rasyaadah yang berarti “batu karang”. Inilah kekuatan yang dianugerahkan Allah kepada Nabi Ibrahim as.: kesempurnaan, kekuatan dan keteguhan akal dan jiwa seperti batu karang sehingga beliau memiliki kemampuan menentukan jalan yang tepat dan lurus. Jalan inilah yang disebut sebagai agama yang hanif.
Yasin T. Jibouti dalam bukunya yang berjudul Allah, The Concept of God in Islam melukiskan sifat rusyda Nabi Ibrahim as tersebut. Saat masih remaja Ibrahim suka bertanya kepada Ibunya, “Siapakah Tuhanku?”. Ibunya menjawab, “Aku”. Ibrahim bertanya lagi, “Siapakah Tuhan Ibu?”. Ibunya menjawab, “Ayahmu”. Ibrahim bertanya lagi, “Siapakah Tuhan Ayah?”. Ibunya menjawab, “Namrud”. Tanya Ibrahim lagi, “Siapakah Tuhan Namrud?” Ibunya pun menjawab ketus, “Jangan tanya begitu!”.
Selanjutnya, sang Ibu menemui Azar, suaminya, sambil berkata, “Ingatkah kamu pada gosip tentang anak lelaki yang akan mengganti agama penduduk bumi? Itulah Ibrahim, putramu!”.
Sang Ayah pun mendatangi Ibrahim. Seperti kepada ibunya, Ibrahim menanyakan hal yang sama kepada ayahnya, “Siapakah Tuhanku, Ayah?”. Ayahnya menjawab, “Ibumu”. Ibrahim bertanya lagi, “Siapakah Tuhan Ibu?”. Ayahnya menjawab, “Ayahmu”. Tanya Ibrahim lagi, “Siapakah Tuhan Ayah?”. Jawab Ayahnya, “Namrud”. Tanya Ibrahim lagi, “Kalau begitu, siapakah Tuhan Namrud”. Sang Ayah pun jengkel ditanya beruntun oleh Ibrahim. Ia langsung menampar Ibrahim dan menyuruhnya diam.
Ketika Ibrahim melihat jagad raya dan isinya, ia pun mengamati, lalu bertanya kepada Sang Ayah sambil menuding beberapa hewan, “Ini apa?”. Jawab Ayahnya, “Itu unta, kuda, dan sapi”. Kata Ibrahim, “Ini semua tentu ciptaan Tuhan”. Begitu pula saat ia melihat isi langit dan bumi, muncullah kecerdasannya. Ia pun berpikir dan merenung sangat dalam mengenai eksistensi Tuhan dan penciptaan alam seisinya. Menurut Yasin T. Jibouti, peristiwa itulah yang secara rinci dirujuk dalam al-Quran:
Artinya, “Ketika malam telah menjadi gelap, dia (Ibrahim) melihat sebuah bintang (lalu) dia berkata, “Inikah Tuhanku?” Maka ketika bintang itu terbenam dia berkata, “Aku tidak suka kepada yang terbenam.” Lalu ketika dia melihat bulan terbit dia berkata, “Inikah Tuhanku?” Tetapi ketika bulan itu terbenam dia berkata, “Sungguh, jika Tuhanku tidak memberi petunjuk kepadaku, pastilah aku terma-suk orang-orang yang sesat.”Kemudian ketika dia melihat matahari terbit, dia berkata, “Inikah Tuhanku?, ini lebih besar.” Tetapi ketika matahari terbenam, dia berkata, “Wahai kaumku! Sungguh, aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan.” Aku hadapkan wajahku kepada Allah yang menciptakan langit dan bumi dengan penuh kepasrahan (mengikuti) agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk orang-orang musyrik” (QS. al-An’am [6]: 76-79).
Itulah rusyda yang memerdekakan jiwa Ibrahim as. Dalam episode berikutnya kita temukan kisah kegagahan dan keperwiraan beliau melawan dominasi politik Raja Namrud dan kultur paganisme keluarga dan masyarakatnya, sekalipun beliau harus menjalani hukuman bakar hidup-hidup.
Demikianlah sejarah terus berulang. Musa as. berjuang demi kemerdekaan jiwa melawan politik angkuh Raja Fir’aun. Sulaiman as. melawan keangkuhan politik materialistis Ratu Bilqis. Isa as. melawan kekuatan dan keculasan Bani Israil. Tak terkecuali Muhammad saw., beliau mendobrak dominasi kekuasaan politik, ekonomi, serta kultur Quraisy yang mengungkung kemerdekaan dan kesucian hakiki jiwa manusia.
Dalam pandangan Buya Hamka, tauhid yang telah mengakar dalam jiwa manusia melahirkan jiwa zuhud yang melahirkan keyakinan dan sikap bahwa pada hakikatnya “manusia tidaklah memiliki apa-apa dan tidak pula dimiliki siapa-siapa”, kecuali hanya memiliki Allah dan dimiliki hanya oleh Allah. Kata Hamka, inilah inti substansial dari merdeka atau kemerdekaan. Jiwa merdeka adalah jiwa yang hanya bersandar kepada Allah semata: manusia hanya memiliki Allah, dan hanya Allah-lah yang dimiliki oleh manusia. Dari Sanalah bermula, dan ke Sanalah berakhir.
Berbeda dengan paham zuhud pada tasawuf tradisional yang menisbikan dunia dan menekankan kecintaan ukhrawi yang berlebihan, zuhud dalam pemikiran Hamka adalah “zuhud modern”. Dalam konsep zuhud modern, dunia adalah ladang bermuamalah untuk mencari tiket ke kehidupan dan kebahagiaan ukhrawi.
Dalam sudut pandangan ideologi Muhammadiyah-’Aisyiyah, landasan tauhid sebagai substansi hidup merdeka dan penuh kemerdekaan tampak tersurat pada Matan Kedua dari konsep Matan Keyakinan dan Cita-Cita Hidup (MKCH) Muhammadiyah: “Muhammadiyah berkeyakinan bahwa Islam adalah agama Allah yang diwahyukan kepada Rasul-Nya, sejak Nabi Adam, Nuh, Ibrahim, Musa, Isa dan seterusnya sampai kepada Nabi penutup Muhammad saw., sebagai hidayah dan rahmat Allah kepada umat manusia sepanjang masa, dan menjamin kesejahteraan hidup materiil dan spritual, duniawi, dan ukhrawi.”
Baca Juga: Tiga Metode untuk Memperkokoh Iman
Sebagai konsekuensi dari matan tersebut, Muhammadiyah berkeyakinan bahwa Islam yang inti ajarannya berupa kepercayaan tauhid, merupakan asas tunggal bagi Muhammadiyah yang berfungsi sebagai sumber dan penentu serta pembentuk keyakinan dan cita-citanya.
Keyakinan dan cita-cita Muhammadiyah yang terbentuk dari asas tersebut adalah pertama, hidup manusia semata-mata hanyalah untuk beribadah kepada Allah Swt demi kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat. Kedua, hidup beribadah adalah ber-taqarrub kepada Allah swt. dengan menunaikan amanah-Nya serta memenuhi ketentuan-ketentuan yang menjadi peraturannya, guna mendapatkan keridaan-Nya. Ketiga, menunaikan amanah-Nya berarti menjalankan misi dan fungsi manusia sebagai khalifah Allah yaitu mengatur dan membangun dunia serta menjaga ketertiban dan menciptakan kemakmuran.
Dengan singkat dapat ditegaskan bahwa hakikat merdeka dan kemerdekaan hanya dapat diraih jika terlebih dahulu telah terdapat bangunan kokoh aqidah yang benar dan lurus sebagaimana akar pepohonan yang menghunjam ke petala bumi. Merdeka dan kemerdekaan itu sendiri merupakan bunga dan buah lezat yang terbentuk dari berbagai nutrisi yang dikirim dari akarnya. Selain itu, penting untuk dicatat bahwa merdeka dan kemerdekaan harus mengejawantah dan merupakan refleksi dari ber-taqarrub kepada Allah dengan menjalankan misi dan fungsi manusia sebagai “wakil” Allah di muka bumi. Wallaahu a’lam.