Oleh: Hajar Nur S.
Muhammadiyah dikenal sebagai organisasi modern pembaharu Islam. Muhammadiyah lahir di tengah kejumudan yang melanda warga bangsa, tidak terkecuali umat Islam. Kala itu, citra umat Islam di Indonesia yang terbangun bukan identik dengan kemajuan. Citra umat Islam di antaranya tidak bersekolah, mencukupkan diri hanya belajar ‘ilmu keagamaan’, tidak menjaga kebersihan, terjerembab kemiskinan, bergerak sendiri-sendiri, dan sebagainya.
Melalui Muhammadiyah, Kiai Ahmad Dahlan ingin menunjukkan bahwa agama Islam itu selaras dengan kemajuan. Muhammadiyah menegaskan pentingnya pendidikan hingga kesehatan tanpa mengenal pembedaan berdasar jenis kelamin, menyediakan akses pendidikan serta layanan kesehatan. Muhammadiyah mengajak untuk berinteraksi dengan berbagai kalangan hingga melahirkan kaum terdidik sebagai penggerak perubahan atau agent of change yang bergerak secara terorganisasi.
Menariknya, perubahan itu dibangun di atas pondasi nilai-nilai Islam. Sebagaimana yang disampaikan Ahamd Dahlan, “awit miturut paugeraning agama kito Islam sarta cocok kaliyan pikajenganipun jaman kemajengan” atau ‘karena mengikuti kaidah agama Islam dan sesuai dengan harapan zaman kemajuan’. Sejumlah ayat dalam al-Quran menjadi landasan pentingnya mengorganisasi diri dalam ber-amar maruf, antara lain Q.S. ash-Shaff: 4 dan al-Maidah: 2.
Pada titik ini, kelahiran Muhammadiyah-‘Aisyiyah ibarat “oase”, menghadirkan apa yang disebut sebagai Islam yang berkemajuan. Tidak heran, jika banyak para pengkaji Islam, menyebut Muhammadiyah sebagai organisasi modern-pembaharu Islam. Kesadaran berorganisasi Ahmad Dahlan juga menguat lantaran keluasan pergaulannya dengan para aktivis pergerakan dan pengalamannya di organisasi pergerakan.
Dalam menggerakkan organisasi, tentunya, diperlukan tata kelola atau manajemen organisasi yang terus dikembangkan para pegiat Muhammadiyah sejak berdiri hingga kini memasuki abad kedua. Hal itu pula yang tampaknya menjadi kunci di balik resiliensi atau daya tahan Muhammadiyah-‘Aisyiyah yang terus berkembang.
Tentu tidak mudah mengelola organisasi yang memiliki wilayah kerja yang luas, struktur organisasi dari tingkat ranting, cabang, daerah, wilayah, dan pusat, aktivisme berbasis voluntary atau kerelawanan, dan mengelola beragam amal usaha. Namun kenyataannya, Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah terus berkembang dan dipercaya. Manajemen organisasi itu berlaku di semua tingkatan hingga cabang dan ranting yang keberadaannya justru lebih dekat dengan masyarakat.
Manajemen organisasi Muhammadiyah memang telah melewati berbagai dinamika zaman hingga kini memasuki era digital, bahkan tetap teruji saat pandemi Covid-19 melanda dunia dan mengubah pola hidup maupun cara kita bekerja. Sejalan dengan perkembangan teknologi informasi, Muhammadiyah-‘Aisyiyah telah melakukan proses adaptasi dengan memanfaatkannya bagi kepentingan organisasi, mulai dari kepentingan pendataan, mekanisme koordinasi, pengelolaan pengetahuan, strategi dakwah di dunia digital, hingga layanan persyarikatan bagi masyarakat luas.
Baca Juga: Sejarah Aisyiyah: Kelahiran Perempuan Muslim Berkemajuan
Harus diakui, tidak sedikit tantangan yang dihadapi dalam melakukan pengelolaan organisasi, mulai dari kesibukan pimpinan, mobilitas yang semakin dinamis, melimpah dan cepatnya arus informasi, massifnya penggunaan teknologi informasi dan disrupsi digital, hingga kompleksitas masalah sosial. Tantangan lainnya adalah problem yang bersifat ideologis namun mempengaruhi tata kelola, yaitu menguatnya pemahaman keagamaan yang tidak berkemajuan.
Sebagai organisasi modern yang bersifat terbuka, kita harus berani melakukan refleksi di tengah semakin banyaknya organisasi masyarakat yang juga menyediakan layanan sebagaimana Muhammadiyah-‘Aisyiyah lakukan sejak awal. Di samping itu, tidak sedikit organisasi masyarakat sipil lainnya yang tekun melakukan kerja-kerja pada berbagai isu dengan inovasi-inovasi yang bersifat piloting untuk kemudian direplikasi oleh banyak pihak.
Perlu diingat pula empat keterampilan yang penting dimiliki di era 4.0, yaitu kritis, kreatif/inovatif, komunikasi, dan kolaborasi. Keempat keterampilan tersebut sejatinya bukan hanya berlaku bagi generasi muda, tetapi bagi warga dunia termasuk pimpinan organisasi kita agar tetap relevan di zaman yang tidak mengenal batasan geografis dan berubah dengan cepat.
Peneguhan ideologi Islam Berkemajuan dan komitmen terhadap organisasi juga menjadi agenda penting agar pimpinan maupun warga persyarikatan menjalankan gerak organisasi dengan ghirah dan pengelolaan profesional.
Sebagai sebuah gerakan, baik Muhammadiyah maupun ‘Aisyiyah memiliki karakter. ‘Aisyiyah sendiri menetapkan setidaknya lima identitas gerakan, yaitu gerakan Islam Berkemajuan; gerakan Perempuan Berkemajuan; gerakan berbasis komunitas akar rumput; gerakan praksis amal usaha; dan gerakan berwawasan kebangsaan dan kemanusiaan universal.
Dalam memperkuat peneguhan identitas gerakan ‘Aisyiyah tersebut, profesionalitas tata kelola organisasi ‘Aisyiyah di berbagai tingkatan menjadi salah satu kunci yang melekat sebagai bagian dari karakter organisasi ‘Aisyiyah. Pelaksanaan Muktamar Muhammadiyah-‘Aisyiyah ke-48 pada November 2022 nanti adalah momen untuk memperkuatnya.