Oleh : Dra. Hj. Cholifah Syukri, M.S.I. (Ketua Majelis Tabligh PP Aisyiyah)

Berdasarkan pengamatan penulis yang saat itu menjadi santriwati di internaat atau asrama Ar-Rosyad asuhan Nyai Hj. Zaenab Humam; di Kauman banyak sekali ulama yang oleh orang Jawa disebut kiai bagi laki-laki dan nyai bagi perempuan.
Mereka itu antara lain K.H.A. Badawi, Kiai Abdul Djabar, K.H. Dalhar B.K.N, K.H.M. Yunus Anis, K.H. Zamhari, K.H.M. Djuwaini, Kyai Amin Bahrun, K.H. Wachid, K.H. Hanad, Kyai Djuraimi, Kyai Hisyam, K.H. Bakir Saleh, K.H. Djazari Hisyam, Kyai Maksum, K.H.Wasool Dja’far, K.H. Aslam Zainuddin, K.R.H. Hadjid, K.H. Muslim, K.H. Anis, K.H. Wardan Diponongrat, K.H. Bashir Mahfudz, K.H. Muchtar, K.H. Farid Ma’ruf, K.H. Djohar, K.H. Djunaid, K.H. Damiri. M. Djannah. Semua itu dapat dikatakan sebagai ulama senior.
Ulama-ulama angkatan berikutnya antara lain Ir.Basith Wachid, H. Djarnawi Hadi Kusumo, H.M. Jindar Tamimi, A.R.Fakhruddin, H. Ahmad Azhar Bashir, Bahron Edris, H.M. Djundi, M. Asnawi, H. Haiban Hadjid, Bisron Ahmad Wardi, dan Bidron Hadi.
Ulama perempuan antara lain; Ny. ‘Aisyah Hilal, Ny. Badilah Zuber, Ny. Umniyah, Ny. Zuhanah, Ny. Muslimin, Ny. Zaenab Damiri, Ny. Wasilah Barozi, Ny. Hadifah, Ny. Zardjun, Ny. Zaenab Humam, dan profesor perempuan pertama di Indonesia, Ny Baroroh Baried (asli Kauman) walau tinggalnya di Jalan Parangtritis, Timuran. Sedang ulama perempuan muda antara lain Prof. Chamamah Suratno, Ny. Istinaroh Haifani, dan mungkin masih ada lagi yang belum tertulis karena di luar pengamatan penulis.
Gambaran Kauman Yogyakarta tahun 1960-an, yang dihuni banyak dari para ulama di atas, menunjukkan bahwa masyarakat sebenarnya memiliki peran besar sebagai wahana pendidikan non formal dalam mempersiapkan dan mendidik calon ulama. Kegiatan anak-anak muda, dari sejak usia pra remaja, remaja hingga pemuda dapat dikatakan aktif, dinamis, dan kreatif. Kegiatan pengajian dari remaja, pemuda dan dewasa baik dari warga Kauman sendiri maupun warga dari kampung sekitarnya se-nantiasa semarak.
Demikian pula tadarus al-Quran dari langgar, mushala dan di rumah-rumah setiap sesudah maghrib dan sesudah subuh sangat regeng (ramai). Lebih-lebih pada bulan Ramadhan, kegiatan keagamaan ibadah (tarawih dan tadarus al-Quran) dan ceramah-ceramah Ramadhan, pada malam hari menjadi syiar yang sangat mengesankan. Kehidupan beragama itu menjadi gambaran masyarakat Islam Kauman. Terlihat masyarakat sangat bergairah dalam menjalankan ibadah dan menjadi tradisi positif serta teladan bagi generasi muda untuk berkembang menjadi muslim yang taat.
Peran pendidikan formal seper-ti sekolah-sekolah Islam modern atau pondok pesantren modern dan tradisional juga sangat penting untuk mempersiapkan ulama. Dengan pendidikan formal inilah transfer ilmu dari ustadz/guru dan karakter diberikan serta dicontohkan kepada peserta didik. Dalam hal ini K.H. Ahmad Dahlan telah merintis pendirian sekolah Islam modern pertama di Yogyakarta dengan nama al-Qismul Arqa pada tahun 1918.
Sekolah tersebut kemudian berkembang menjadi Kweekschool Moehammadiyah pada tahun 1924. (Profil Madrasah Mu’allimaat, 2009 : 2). Pada tahun 1939, saat Kongres Muhammadiyah ke-28 di Medan diputuskan bahwa semua amal usaha harus menggunakan nama bahasa Arab. Maka Kweekschool Moehammadiyah diubah menjadi Madrasah Mu’allimin-Mu’allimaat Muhammadiyah.
Dalam perkembangannya, Madra-sah Mu’allimaat Muhammadiyah (khusus putri) bertempat di Kampung Notoprajan hingga sekarang. Dari madrasah inilah perempuan-perempuan muda dipersiapkan untuk menjadi guru, pemimpin, dan ulama putri yang berkiprah dan tersebar di seluruh Indonesia. Kini sekolah-sekolah/ madrasah atau pondok pesantren yang mengajarkan ilmu-ilmu umum dan agama di kalangan Muhammadiyah, tidak saja berada di kota Yogyakarta. Di daerah lain seperti di Makassar ada Ummul Mu’minin dan Pondok Pesantren Gombara. Di Jasinga, Bogor juga berdiri Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah. Di Garut ada Pondok Pesantren Darul Arqom, Di Prambanan dan Klaten ada MBS (Muhammadiyah Boarding School). Demikian pula di beberapa daerah lainnya.
Sekolah dan pondok pesantren di atas hanya sebagai contoh suatu institusi pendidikan yang tujuannya untuk mempersiapkan calon ulama. Di beberapa tempat bahkan didirikan lembaga pendidikan tingkat perguruan tinggi. Di Kaliurang, Yogyakarta, didirikan lembaga pendidikan yang mempersiapkan ulama dengan nama PUTM (Pendidikan Ulama Tarjih Muhammadiyah). Di Surakarta didirikan juga lembaga pendidikan dengan nama Pondok Pesantren Hj. Nurriyah Sobron.
Untuk mempersiapkan seorang ulama harus melalui pendidikan khusus, mengingat kriteria seorang ulama di samping memiliki penguasaan ilmu yang menjadi ahlinya, harus juga memiliki dasar-dasar ilmu al-Quran dan hadis, ushulul-fiqh, fiqh, dan tarikh/sejarah Islam. Keseluruhan dari ilmu-ilmu di atas menggunakan ilmu alat yaitu bahasa Arab. Oleh karena itu, mempersiapkan ulama tidak dapat terlepas dari pengajaran bahasa Arab. Di Indonesia, pondok pesantren selalu menjadikan bahasa Arab sebagai prioritas dan dasar pendidikan. Pondok Pesantren Modern Gontor adalah salah satu contoh yang sekarang cabang-cabangnya sudah berada di seluruh Indonesia.
Untuk mempersiapkan calon ulama’, keterpaduan antara pendidikan formal di sekolah dan pendidikan di masyarakat harus sinkron. Tidak kalah penting adalah pendidikan dalam keluarga sejak usia dini untuk menanamkan dasar-dasar keimanan/akidah, ibadah, akhlak, dan mu’amalah dalam kehidupan sehari-hari. Pendidikan dalam keluarga dilakukan melalui nasihat /penjelasan keteladanan dari kedua orang tua dan anggota keluarga lainnya.
Pendidikan al-Islam dalam keluarga dapat dimulai sejak usia dini, misalnya pembelajaran tentang baca tulis al-Quran. Memperdengarkan al-Quran pada anak, mulai sejak bayi, bisa dilakukan dengan berbagai cara seperti menimang sambil mengaji atau memutar kaset, handphone, dan aplikasi al-Quran lainnya. Pada usia balita, anak-anak hendaknya mulai dilatih dengan hafalan ayat-ayat pendek, dan seterusnya meningkat pada usia pra remaja hingga remaja. Dalam hal ini, keterpaduan antara pendidikan informal keluarga, pendidikan formal di sekolah, dan pendidikan non formal di masyarakat tentu harus saling mendukung.
Keberadaan ulama, termasuk ulama perempuan, sangat penting karena mereka akan menjadi penerang (misbah) bagi masyarakatnya. Perkembangan masyarakat dewasa ini membutuhkan perhatian dari para ahli, khususnya ulama perempuan. Kedudukan laki-laki dan perempuan di ranah publik saat ini secara hukum sudah tidak ada masalah. Kesetaraan penguasaan ilmu antara laki-laki dan perempuan saat ini tidak ada perbedaan.
Meskipun demikian, dalam praktiknya, ketika sudah memasuki ranah berkeluarga, tidak sedikit perempuan terkendala untuk mengembangkan ilmu dan aktivitasnya di masyarakat. Kendala untuk menyiap-kan ulama perempuan dapat teratasi apabila pemahaman tentang posisi perempuan sama-sama berada pada satu persepsi sesuai firman Allah dalam surat al-Isra’ ayat 70.
Wallahu ‘alam bish-showwab.
Tulisan ini pernah dipublikasikan pada Majalah Suara ‘Aisyiyah Edisi 1 Januari 2020, hlm. 12-13
Sumber ilustrasi : https://www.arrisalah.net/muslimah-itu-berperan-bukan-baperan/