Wagini masih ingat peristiwa di bulan Juni tahun 2013, matanya tidak lagi bisa melihat lantaran glukoma. Seingat simbah berusia 72 tahun ini, enam bulan sebelumnya, ia mengeluh sakit kepala dan terkena darah tinggi.
Setelah berobat ke berbagai dokter spesialis mata, akhirnya dokter menyatakan bahwa sakit di matanya tidak bisa disembuhkan karena saraf mata putus. Jika operasi dilakukan pun tidak menjamin kesembuhan matanya.
“Disyukuri, diparingi gusti Allah,” ujar Wagini dengan bijak saat diwawancara di hotel 508 Makkah. Lelaki kelahiran 1 Juli 1952 ini tinggal di desa Tambahagung, Padukuhan Gading, Kabupaten Pati. Sehari-hari ia bekerja sebagai petani padi atau kacang hijau. Wagini mengolah tanah miliknya yang berukuran 250 meter.
Namun sejak ia tidak bisa melihat, tanah itu akhirnya dikelola orang lain dengan model bagi hasil. Jika berhasil dipanen, setahun dua kali, ia mendapat untung hingga 2,5 juta dari hasil panen padi. Uang itu pula yang digunakannya menabung haji.
Berhaji dari Panen dan Jualan Kerupuk
Tapi Wagini tidak sendiri mencari pengasilan, karena Supeni istrinya sudah menjual kerupuk sejak tahun 1987-an. “Saya jual kerupuk rambak dari terigu dan tepung pati, dibungkus kecil-kecil dijual Rp400-500,“ jelas Wagini.
Wagini berperan sejak dari produksi atau membuat sendiri kerupuknya hingga menjual di pasar kecamatan Tambak Romo. Untung dari kerupuk itu pula yang ditabungnya sedikit demi sedikit hingga bisa dipakai menabung haji.
Saat ditanya, berapa uang yang ditabung dari untung jualan kerupuk. Supeni menyebut, “Dari 1000-2000 untung jualan kerupuk saya tabung. Pokoknya saya tabung di tempat yang hanya saya yang tahu dan orang lain tidak lihat.”
Sumringah di Tanah Suci
Tahun 2012, tepatnya di bulan April, Wagini dan Supeni mendaftar haji menggunakan dana talangan. Keduanya membawa uang 15 juta untuk mendaftar haji dua orang atau masing-masing 7,5 juta.
“Kalau ada penghasilan disetorke, tahun 2014, dua tahun dari daftar sudah lunas,” ungkap Supeni bangga. Keduanya mendaftar haji bersamaan karena “pokoke karepe bareng-bareng (maunya sama-sama).
Seharusnya pasangan suami istri yang mempunyai 3 anak ini, berangkat haji di tahun 2021. Namun karena pandemi Covid, keduanya baru berangkat di tahun 2024.
Tapi Wagini dan Supeni justru bersyukur karena ia masih punya waktu untuk mengumpulkan uang biaya pelunasan. Keduanya membayar sendiri biaya haji karena tidak ingin merepotkan ketiga anaknya.
Uang hasil panen dan jualan kerupuk itulah yang dipakai untuk melunasi biaya haji. “Pengen weruh tanah suci (ingin lihat tanah suci),” Wagini mengungkapkan.
Selama di Makkah, Wagini memperbanyak dzikir, shalat, dan menghapal Quran. Ia pun menyebutkan beberapa surat pendek yang sering dibacanya, “Sukanya baca wadhuha, alam nasyrah, alhakumuttakatsur, alkafirun.”
Subkhi Ridho, Koordinator Lansia Sektor 5 mengungkapkan, “Pak Wagini dan istri merupakan salah satu pasangan panutan di jemaah haji 2024, dengan segala keterbatasannya namun niat ibadah haji sudah ditanam sejak puluhan tahun lalu. Ini seyogianya menjadi contoh umat muslim Indonesia lainnya, niat dan semangat yang tak pernah putus, akhirnya mampu memenuhi panggilan Allah Swt., ke Baitullah. “
Saat umroh wajib, ia beribadah menggunakan kursi roda. Ketika berada di masjidil haram, ia berdoa “Nyuwun sehat, nyuwun selamat.” (Hns)