Oleh: Dahwan Muchrodji
Secara bahasa, kata “wakaf” berasal dari bahasa Arab waqafa – yaqifu – waqfan yang berarti “menahan”, “berhenti”, “diam di tempat” atau “tetap berdiri”. Wakaf (al-waqf) memiliki makna yang sama dengan kata at-tahbis dan at-tasbil, yaitu menahan harta untuk tidak ditransaksikan atau dipindahmilikkan.
As-Sayid Sabiq (tt, III-387) mengatakan bahwa menurut istilah syarak, wakaf berarti menahan harta dan memberikan manfaatnya di jalan Allah. Dalam pasal 1 butir 1 Undang-Undang No 41 Tahun 2004 tentang Wakaf, disebutkan bahwa: Wakaf adalah perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syari’ah.
Dasar Hukum Wakaf
Secara harfiyah kata wakaf sebagaimana tersebut dalam pengertian yang telah disebutkan, penulis belum menemukan dalam ayat-ayat al-Quran, namun jika dilihat dari salah satu bentuk amal kebajikan, dapat disandarkan kepada beberapa ayat al-Quran, di antaranya adalah: Q.S. al-Hajj: 77 (yang artinya), “Hai orang-orang yang beriman, rukuklah kamu, sujudlah kamu, sembahlah Tuhanmu dan perbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapat kemenangan”.
Selain itu terdapat pula dalam Q.S. Ali Imran: 92 (yang artinya), “Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan maka sesungguhnya Allah mengetahuinya”.
Banyak hadis yang mengindikasikan adanya anjuran untuk berwakaf, antara lain (yang artinya): Diriwayatkan dari Abû Hurairah ra, sesungguhnya Rasulullah saw. bersabda, “Apabila anak Adam (manusia) meninggal dunia, maka putuslah amalnya, kecuali tiga perkara: shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak saleh yang mendoakannya.” (HR. Muslim).
Ash-Shan’ani (1960: III-87), menjelaskan bahwa para ulama mengartikan sedekah jariyah adalah wakaf. Diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar ra, ia berkata bahwa sahabat Umar ra memperoleh sebidang tanah di Khaibar, kemudian menghadap kepada Rasulullah untuk memohon petunjuk. ‘Umar berkata, “Ya Rasulullah, saya mendapatkan sebidang tanah di Khaibar, saya belum pernah mendapatkan harta sebaik itu, maka apakah yang engkau perintahkan kepadaku?”, Rasulullah menjawab, “Bila kamu suka, kamu tahan (pokoknya) tanah itu, dan kamu sedekahkan (hasilnya)”. Kemudian ‘Umar melakukan shadaqah, tidak dijual, tidak dihibahkan dan tidak pula diwariskan. Ibnu ‘Umar berkata bahwa ’Umar menyedekahkannya kepada orang-orang fakir, kaum kerabat, budak belian, sabilillah, ibnu sabil dan tamu. Tidak mengapa atau tidak dilarang bagi yang menguasai tanah wakaf itu (pengurusnya) makan dari hasilnya dengan cara yang baik (sepantasnya) atau makan dengan tidak bermaksud menumpuk harta. (HR. Muslim)
Rukun dan Syarat Wakaf
Dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004, Pasal 6 disebutkan bahwa wakaf dilaksanakan dengan memenuhi unsur wakaf sebagai berikut: wakif, nadhir, harta benda wakaf, ikrar wakaf, peruntukkan harta benda wakaf, dan jangka waktu wakaf.
Sementara itu, dalam beberapa literatur fikih klasik, misalnya dalam Mughni al Muhtaj oleh Asy Syarbini (tt: II-376) disebutkan bahwa rukun wakaf yaitu: wakif (orang yang mewakafkan), mauquf bih (harta yang diwakafkan), mauquf ‘alaih (peruntukan wakaf), shighat (ikrar wakaf).
Persyaratan yang berkaitan dengan wakif, dalam pasal 8 ayat (1) Undang-undang tersebut, dinyatakan bahwa wakif perorangan harus memenuhi persyaratan: dewasa, berakal sehat, tidak terhalang melakukan perbuatan hukum, dan pemilik sah harta benda wakaf. Berkaitan dengan ketentuan pasal 8 ayat (1) huruf d, dalam pasal 15 ditegaskan bahwa harta benda wakaf hanya dapat diwakafkan apabila dimiliki dan dikuasai oleh wakif secara sah.
Baca Juga: Redefinisi Ashnaf Zakat dalam Perspektif Tarjih
Persyaratan untuk mauquf ‘alaih, sebagaimana tertera dalam pengertian wakaf bahwa wakaf adalah diperuntukkan guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syari’ah atau secara singkat adalah untuk manfaat di jalan Allah. As-Sayid Sabiq memberikan contoh tentang peruntukan wakaf ini dengan mengatakan wakaf harus ditujukan untuk kebajikan seperti membangun masjid, jembatan, kitab-kitab fikih, buku-buku, dan sebagainya. Tidak sah wakaf yang ditujukan untuk maksiat dan kekafiran, seperti berwakaf untuk gereja, biara, tempat perjudian, dan sebagainya.
Tentang ikrar wakaf dalam pasal 1 butir 3 disebutkan bahwa ikrar wakaf adalah pernyataan kehendak wakif yang diucapkan secara lisan dan/atau tulisan kepada nazhir untuk mewakafkan harta miliknya. Selanjutnya dalam pasal 18 disebutkan bahwa dalam hal wakif tidak dapat menyatakan ikrar wakaf secara lisan atau tidak dapat hadir dalam pelaksanaan ikrar wakaf karena alasan yang dibenarkan oleh hukum, wakif dapat menunjuk kuasanya dengan surat kuasa yang diperkuat oleh 2 (dua) orang saksi.
Dalam kaitan dengan ikrar wakaf ini para ulama berpendapat tidak diperlukan adanya qabul (pernyataan penerimaan) dan juga qabul tidak menjadi persyaratan sahnya wakaf. Dengan kata lain tanpa qabul perwakafan tetap sah jika rukun dan syarat lain sudah terpenuhi. Yang demikian ini sebagaimana dikatakan oleh al-Kabsi, karena wakaf merupakan iqa’ (pelimpahan sepihak) bukan akad (kesepakatan dua pihak).
Pemilikan Benda Wakaf, Implikasi, dan Konsekuensinya
Setelah terjadi ikrar wakaf, maka benda wakaf sudah tidak lagi di bawah kekuasaan wakif, melainkan berada di bawah pengawasan nazhir untuk digunakan sebagaimana yang tertera dalam ikrar wakaf. Namun benda wakaf bukan milik nazhir. Pembicaraan tentang pemilik benda wakaf di kalangan para ulama berbeda pendapat. Ulama Syafi’iyyah berpendapat bahwa setelah benda diwakafkan, maka benda wakaf menjadi milik Allah, karena dalam hadits disebutkan (yang artinya),“tidak boleh diperjualbelikan, tidak boleh diwariskan, dan tidak boleh dihibahkan). Hal ini menunjukkan bahwa benda wakaf tidak boleh menjadi milik perorangan/atau sekelompok orang tertentu.
Oleh karena itu, benda wakaf menjadi milik Allah. Implikasinya dalam mazhab ini mengharuskan wakaf untuk selama-lamanya. Artinya setelah benda itu diwakafkan, maka selama-lamanya tetap menjadi benda wakaf. Sedangan menurut madzhab Maliki benda wakaf tetap milik wakif, berdasarkan hadits (yang artinya), “tahanlah (jangan jual, hibahkan, dan wariskan) asalnya (modal pokok) dan jadikan buahnya sedekah untuk sabilillah”. (HR. an-Nasa‘i).
Dengan demikian, dalam wakaf yang dimaksudkan adalah pemanfaatan benda. Implikasinya dalam madzhab ini membolehkan wakaf untuk sementara waktu. Sekadar contoh seseorang boleh mewakafkan sawahnya dalam jangka 10 tahun misalnya dan kelak setelah 10 tahun berjalan perwakafan, kembali kepada wakif sebagai pemiliknya.
Benda yang telah diwakafkan, baik yang berpendapat wakaf harus untuk selamanya maupun yang berpendapat boleh untuk sementara waktu menyatakan bahwa selama berstatus benda wakaf, maka tetap sebagai benda wakaf yang berhenti dalam lalu lintas muamalah, dalam arti tidak boleh dipindahtangankan dalam pemilikannya, seperti dijual, diwariskan, dan dihibahkan.
Baca Juga: Filantropi: Atasi Kemiskinan, Wujudkan Kehidupan Berkeadilan
Dari sini dapat dinyatakan selanjutnya tidak dapat ditarik keluar dari benda wakaf oleh siapapun, baik oleh wakif atau oleh yang lain. Oleh karena itu, jika benda wakaf diikrarkan untuk selamanya, maka benda wakaf itu kapanpun tidak dapat ditarik keluar dari benda wakaf oleh siapapun, termasuk wakif. Demikian halnya jika benda wakaf diikrarkan untuk sementara waktu, maka dalam tenggang waktu diwakafkan tidak dapat ditarik keluar dari benda wakaf oleh siapapun, termasuk oleh wakifnya.
Untuk memantapkan pandangan ini dapat dianalogikan kepada larangan menarik kembali benda yang telah dihibahkan, karena dalam hibah juga dimaksudkan sebagai berbuat kebajikan kepada pihak lain tanpa mengharap balasan atau imbalan dari penerima hibah (tabarru’). Hal yang sedemikian ini kiranya tidak berbeda dengan wakaf yang dimaksudkan sebagai amal kebajikan bahkan untuk kepentingan yang lebih luas.
Dalam hadits disebutkan (yang artinya): “dari Ibnu ‘Umar dan Ibnu ‘Abbas dari Nabi SAW bersabda: Tidak boleh seseorang memberikan sesuatu pemberian atau menghibahkan kemudian menarik pemberiannya kecuali pemberian dari orangtua kepada anaknya. Dan perumpamaan orang yang memberikan sesuatu kemudian menarik pemberiannya seperti anjing yang makan, kemudian apabila telang kenyang lalu memuntahkannya kemudian dimakan kembali”. (HR Abu Daud)
Dalam pada itu, menarik keluar benda wakaf, sekalipun oleh wakifnya sendiri merupakan salah satu bentuk perilaku yang merugikan. Sekecil apapun Islam melarang perbuatan yang merugikan. Tindakan yang merugikan merupakan salah satu bentuk kemadlaratan. Dalam hadits disebutkan (yang artinya): “dari Ibnu ‘Abbas beliau berkata Rasulullah saw. bersabda: tidak boleh ada madlarat dan tidak boleh saling memadlaratkan”. (HR. Ibnu Majah)
Wallahu a’lam