Liputan

Mencegah Bullying pada Anak

bullying pada anak

Oleh: Sirajuddin Bariqi

Kasus bullying terhadap dan/atau oleh anak kian marak di Indonesia. Kasus itu bisa terjadi di mana saja; di rumah, lingkungan sekitar, sekolah, juga di dunia maya (cyberbullying). Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Diyah Puspitarini menyampaikan bahwa ruang lingkup makna bullying mengalami perkembangan seiring perubahan konteks zaman dan kebutuhan untuk melindungi anak-anak dari berbagai bentuk kekerasan.

Dulu, kata Diyah, apa yang disebut bullying adalah penggunaan kekuatan fisik dan ancaman yang menyebabkan luka, trauma, kerugian psikologis, dan sebagainya. Tetapi dengan munculnya ruang publik baru seiring perkembangan teknologi-informasi, seseorang bisa menjadi korban atau pelaku tanpa harus berhadap-hadapan muka.

Sholihunnihayah selaku Koordinator Gerakan ‘Aisyiyah Cinta Anak (GACA) PWA DI Yogyakarta menjabarkan, dilihat dari jenisnya, bullying bisa berbentuk: (a) fisik, seperti memukul, mendorong, menjambak, dsb; (b) verbal, seperti mengejek, memanggil dengan panggilan yang kurang menyenangkan, memaki, dsb., dan; (c) psikis, seperti mengancam, bersikap sinis, dsb.

Sementara itu, jika dilihat dari intensitasnya, menurut perempuan yang akrab dipanggil Bunda Haya itu, bullying biasanya dilakukan secara terus-menerus. Karena dilakukan secara berulang, Diyah dengan tegas menyebut bahwa rata-rata pelaku bullying sedang dalam kondisi “sakit”. “Kalau dilakukan lebih dari satu kali, bukan khilaf itu,” ujar dia.

Mewujudkan Ruang Aman dan Setara

Menurut Diyah, salah satu sebab utama di balik maraknya kasus bullying adalah adanya relasi kuasa antara pelaku dan korban. Relasi kuasa ini bisa berbentuk materi ataupun immateri, dan tidak hanya terjadi antara orang tua dengan anak, tetapi juga di antara teman sebaya. Sebagai contoh, anak yang punya postur badan lebih besar/tinggi atau berasal dari keluarga berada punya potensi untuk menjadi pelaku bullying karena dia PD dengan kondisinya.

Di sisi yang lain, Bunda Haya menyampaikan bahwa anak yang menjadi korban bullying biasanya memang mempunyai sesuatu yang “berbeda”, misalnya pendiam, gaya bicara dan berpakaian (dianggap) aneh, atau punya fisik yang berbeda. Idealnya, perbedaan itu mesti disikapi dengan penuh penghormatan, tetapi realitasnya hal-hal itulah yang membuat seorang anak berpotensi di-bully.

Selain relasi kuasa, lingkungan sosial di Indonesia juga belum cukup mampu memberi ruang yang aman kepada anak dari perilaku bullying. Merujuk data dari KPAI, Diyah mengungkapkan bahwa banyak pelaku bullying berasal dari lingkungan keluarga, terutama bapak. “Ini mengindikasikan bahwa betul belum ada lingkungan yang aman untuk anak,” tegasnya, Rabu (7/6). Keluarga yang mestinya menjadi ruang yang aman, menyenangkan, dan penuh kasih sayang malah menjadi ruang yang menakutkan.

Dampak Bullying

Bullying pada anak punya dampak yang serius dan berjangka panjang, sehingga jika tidak ditangani dengan baik dan tepat akan berakibat pada proses tumbuh kembang anak yang kurang maksimal. Selain luka fisik, dampak itu bisa juga berupa perasaan sakit hati, sedih berkepanjangan, hingga gangguan psikologis.

Baca Juga: Tantangan Anak Masa Kini Menghadapi Dunia Digital

Oleh karenanya, Diyah memegang teguh sikap agar kasus kekerasan tidak diselesaikan dengan jalan damai, karena kejadian yang menimpa korban akan selalu teringat hingga dewasa. Menurut dia, tidak semua korban bullying dapat melupakan luka fisik dan psikis yang pernah ia terima. Alhasil, ia tumbuh menjadi pribadi yang mudah marah, berkarakter keras, atau selalu merasa kurang percaya diri.

Sebagian di antaranya bahkan menjadi pelaku bullying di kemudian hari. Tidak hanya bagi korban, menurut Bunda Haya, potensi menjadi pelaku juga bisa terjadi pada orang lain karena menganggap bahwa bullying sebagai tindakan yang wajar dan biasa. Alih-alih terputus, rantai kekerasan itu kian menjadi-jadi.

Langkah Preventif

Pencegahan perilaku bullying harus dilakukan secara serius dan saksama dari semua elemen masyarakat. Kepada Suara ‘Aisyiyah, Bunda Haya mengungkap beberapa langkah yang dapat dilakukan: pertama, keluarga harus menanamkan nilai luhur, menghadirkan lingkungan yang positif, dan menghindari pola pengasuhan yang beracun (toxic parenting). Orang tua juga bisa mengajari anak untuk bersikap tegas ketika ada orang lain yang mengancam atau menyakiti dirinya. “Jadi dia paham bagaimana cara menjadi pelindung bagi dirinya sendiri,” kata dia.

Kedua, masyarakat harus memainkan peran sebagai pengawas dan menciptakan ruang sosial yang aman, suportif, dan inklusif, sehingga anak-anak tumbuh dengan iklim yang penuh toleransi, penghargaan, dan cinta kasih. Untuk mewujudkan semua itu, masyarakat harus memberikan teladan kepada generasi muda dan pada waktu bersamaan tidak menormalisasi perilaku bullying.

Ketiga, sekolah harus memberi ruang aktualisasi perilaku cinta kasih dan potensi positif siswa, mengajarkan sikap empati, toleransi, dan saling memberikan dukungan antarsiswa. Di saat yang sama, semua pihak di lingkungan sekolah mesti meningkatkan pengawasan dan bersedia menjadi pendengar yang baik bagi siswa.

Selain itu, Diyah menambahi, Pemerintah punya tugas untuk terus menggalakkan sosialisasi dan pemahaman tentang bullying kepada masyarakat berikut dampak yang menyertainya, dan merumuskan langkah pencegahan yang konkret, tidak sekadar formalitas belaka.

*Baca Selengkapnya di rubrik Laporan Utama Majalah Suara ‘Aisyiyah Edisi Juli 2023.

Related posts
AnakPendidikan

Dukungan Psikologis Awal: Ikhtiar Pencegahan Perundungan di Sekolah Dasar

Oleh: Emma Rosada* Perundungan atau Bullying di satuan pendidikan saat ini menjadi sorotan dalam dunia pendidikan di Indonesia. Hasil Asesmen Nasional tahun…
Muda

Live Bullying, Bukti Degradasi Moral Generasi

Oleh A. Maleeka Potret suram zaman telah mampu menggambarkan kejahatan tidak lagi dipandang sebagai sebuah keburukan. Apalagi ketika generasi muda yang seharusnya…
Anak

Lingkungan Inklusif: Ruang Aman bagi Anak

Oleh: Hajar Nur Setyowati Tidak sedikit kita dikejutkan dengan berita perihal anak-anak yang merundung temannya di sekolah atau lingkungan tempat ia bermain…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *