Oleh: Alimatul Qibtiyah
Inses menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) merupakan hubungan seksual atau perkawinan antara dua orang yang bersaudara dekat yang dianggap melanggar adat, hukum, atau agama. Inses juga diartikan perilaku seksual yang dilakukan oleh salah satu anggota keluarga terhadap anggota keluarga yang lain, baik yang memilki ikatan keluarga atau hubungan darah sebagian ataupun seluruhnya. Di masyarakat, praktik inses juga melanggar hak konstitusional karena kebanyakan bersifat memaksa dan masuk kategori kekerasan seksual.
Persoalan dan Pelaku Inses
Data dari Komnas Perempuan menunjukkan bahwa jumlah pelaku inses sangat tinggi. Sepanjang tahun 2019, terdapat lonjakan kekerasan kepada anak perempuan, yakni mencapai 2.341 kasus. Jumlah tersebut mengalami kenaikan sebanyak 65 persen dari tahun sebelumnya yang berjumlah 1.417 kasus dan paling banyak adalah kasus inses dan ditambahkan dengan kasus kekerasan seksual (571 kasus).
Dominasi kasus inses menunjukkan bahwa perempuan berada dalam situasi tak aman sejak usia dini. Inses menjadi salah satu bentuk kekerasan seksual yang sulit dilaporkan oleh korban karena menyangkut relasi keluarga. Berdasarkan Laporan Tahunan (CATAHU), pelaku kekerasan seksual, termasuk inses di dalamnya, yang paling banyak adalah ayah dan paman. Banyak dari pelaku kekerasan di ranah personal yang dianggap dan diharapkan menjadi pelindung, seperti ayah, paman, suami, dan pacar.
Dampak Inses
Kekerasan seksual cenderung menimbulkan dampak traumatis baik pada anak maupun pada orang dewasa. Korban sulit mempercayai orang lain sehingga merahasiakan peristiwa kekerasan seksualnya. Selain itu, dalam kasus inses mayoritas anak cenderung takut melaporkan karena mereka merasa terancam akan mengalami konsekuensi yang lebih buruk bila melapor; anak merasa malu untuk menceritakan peristiwa kekerasan seksualnya; anak merasa bahwa peristiwa kekerasan seksual itu terjadi karena kesalahan dirinya dan peristiwa kekerasan seksual membuat anak merasa bahwa dirinya mempermalukan nama keluarga.
Dampak kekerasan seksual yang terjadi ditandai dengan adanya powerlessness, di mana korban merasa tidak berdaya dan tersiksa ketika mengungkap peristiwa kekerasan seksual tersebut. Kekerasan seksual oleh anggota keluarga terutama dalam bentuk inses berdampak lebih serius dan trauma psikologis jangka panjang, terutama dalam kasus inses orang tua.
Upaya Mencegah Inses
Dalam Islam, setiap orang tua harus menghindarkan keluarga mereka dari hal-hal yang dapat membawa keburukan, salah satunya adalah tindak kekerasan seksual. Berdasarkan Q.S. at- Tahrim ayat 6 ditekankan bahwa umat Islam harus menjaga keluarga dari api neraka. Neraka yang dimaksud pada ayat ini tidak hanya neraka di alam akhirat tetapi juga neraka dalam bentuk ketidaknyamanan di dunia ini. Oleh karena itu, anggota keluarga termasuk anak harus dilindungi dari segala kekerasan seksual termasuk inses.
Selain itu, Allah Swt. juga memfirmankan dalam al-Quran Surat an-Nisa’ ayat 9 agar umat Islam tidak meninggalkan generasi yang lemah. Dampak kekerasan seksual yang traumatis dan powerlessnness yang dialami anak mengindikasikan bahwa hal itu menjadikan generasi yang lemah.
Penanganan kekerasan seksual terhadap anak, perlu adanya sinergi antara keluarga, masyarakat dan negara. Selain itu, dalam penanganan kasus kekerasan seksual terhadap anak seharusnya bersifat holistik (menyeluruh) dan terintegrasi. Semua sisi memerlukan pembenahan dan penanganan, baik dari sisi medis, sisi individu, aspek hukum (dalam hal ini masih banyak mengandung kelemahan), maupun dukungan sosial.
Baca Juga: Fenomena Inses: Akar Persoalan, Langkah Preventif, dan Upaya Perlindungan Korban
Langkah paling sederhana untuk melindungi anak dari kekerasan seksual dapat dilakukan oleh individu dan keluarga. Orang tua memegang peranan penting dalam menjaga anak-anak dari ancaman kekerasan seksual. Orang tua harus benar-benar peka jika melihat sinyal yang tak biasa dari anaknya.
Yang pertama harus dilakukan adalah memberikan rasa aman kepada anak untuk bercerita. Biasanya orang tua yang memang memiliki hubungan yang dekat dengan anak akan lebih mudah untuk melakukannya. Dukungan emosional setiap anggota keluarga, anak merasa disayangi, dicintai, didukung, dihargai, dipercaya, dan menjadi bagian dari keluarga. Perlu meningkatkan komunikasi dalam keluarga dengan berbagi perasaan, jujur, dan terbuka satu sama lain.
Dengan cara ini akan terbentuk sikap keterbukaan, kepercayaan dan rasa aman pada anak. Diharapkan anak tidak perlu takut menceritakan berbagai tindakan ganjil yang dialaminya, seperti mendapat iming-iming, diajak pergi bersama, diancam, bahkan diperdaya oleh seseorang. Konsep baiti jannati sangat penting untuk menciptakan suasana yang nyaman dan aman bagi anak di keluarga. Penguatan nilai agama tentang penghargaan akan nilai-nilai kemanusiaan dan menjaga pikiran tetap jernih, serta senantiasa melibatkan Allah dalam semua aktivitas (ihsan) menjadi sangat penting.
Penanganan kekerasan seksual terhadap anak, perlu adanya peran serta masyakarat, dengan memperhatikan aspek pencegahan yang melibatkan warga termasuk teman sebaya, yang bertujuan memberikan perlindungan pada anak di tingkat akar rumput. Keterlibatan anak-anak dibutuhkan sebagai salah satu referensi untuk mendeteksi adanya kasus kekerasan yang mereka alami.
Minimal, anak diajarkan untuk no, go, tell (mengenali, menolak, mencari bantuan, dan melaporkan kepada orang yang dipercaya akan adanya potensi ancaman kekerasan). Upaya perlindungan anak dilakukan dengan membangun mekanisme lokal, yang bertujuan untuk menciptakan jaringan dan lingkungan yang protektif.
Terhadap korban kekerasan seksual anak, masyarakat ikut membantu memulihkan kondisi kejiwaan korban. Masyarakat diharapkan ikut mengayomi dan melindungi korban dengan tidak mengucilkan korban, tidak memberi penilaian buruk kepada korban. Perlakuan semacam ini sebagai salah satu perwujudan perlindungan kepada korban, karena dengan sikap masyarakat yang baik, korban tidak merasa minder dan takut dalam menjalani kehidupan bermasyarakat.
Negara harus selalu melakukan berbagai usaha untuk menanggulangi kejahatan dalam arti mencegah sebelum terjadi, pemulihan korban, dan menindak pelaku kejahatan yang telah melakukan perbuatan atau pelanggaran atau melawan hukum. Tindakan hukum dilakukan setelah terjadinya kejahatan dan/atau menjelang terjadinya kejahatan, dengan tujuan agar kejahatan itu tidak terulang kembali.
Penanggulangan secara hukum pidana dalam suatu kebijakan kriminal merupakan penanggulangan kejahatan dengan memberikan sanksi pidana bagi para pelakunya sehingga menjadi contoh agar orang lain tidak melakukan kejahatan. Ini berarti memberikan hukuman yang setimpal dengan kesalahannya. Negara juga bertanggung jawab terhadap proses pemulihan korban dari trauma yang dialami.
Baca Juga: Tiga Anak Saya Diperkosa, Saya Lapor ke Polisi. Polisi Menghentikan Penyelidikan
Dalam rangka membantu dan mengimbangi hukum pemerintah, dapat dilakukan program-program yang bersifat strategis di antaranya: pertama, sosialisasi penegakan hukum sehingga benar-benar bisa dijalankan. Dalam hal ini perlu kerjasama dengan berbagai pihak baik lembaga pendidikan, ormas, tokoh agama, khatib-khatib Jumat untuk mensosialisasikan dampak kejahatan seksual pada anak dan juga hukuman sosial, agama dan hukum positif yang ada di Indonesia bagi pelaku.
Kedua, mengubah mindset atau cara berfikir bahwa berbicara seksualitas dalam ranah pendidikah bukanlah hal yang tabu, sehingga jika anak ingin curhat masalah seksualitasnya tidaklah langsung dihakimi bahwa itu adalah sesuatu yang jelak.
Ketiga, memberikan pendidikan seksualitas tidak hanya kepada orang tua tetapi juga kepada anak. Di antaranya, memberikan penjelasan tentang tiga macam sentuhan, yaitu sentuhan yang baik, sentuhan yang jahat, dan sentuhan yang tidak pantas. Jihad dan ikhtiar menghentikan kekerasan seksual termasuk inses adalah sesuatu yang sangat mulia dan semoga kita terhindar dari semua kejahatan seksual, aamin Ya Rabb.