Oleh: Muksal Mina Putra*
Allah subhanahu wata’ala telah menegaskan bahwa Dia tidaklah menciptakan sesuatu dalam kesia-siaan. Segala sesuatu yang diciptakan-Nya tentulah memiliki maksud, termasuk di dalamnya penciptaan manusia. Secara garis besar, maksud penciptaan manusia adalah untuk beribadah, menjadi pemakmur, serta khalifah di muka bumi. Allah subhanahu wata’ala berfirman dalam Q.S. adz-Dzariyat: 56,
وَمَا خَلَقْتُ ٱلْجِنَّ وَٱلْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
Artinya, “Dan tidaklah aku menciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku”
Adapun tugas manusia untuk memakmurkan bumi termaktub dalam Q.S. Hud: 61 berikut,
وَإِلَىٰ ثَمُودَ أَخَاهُمْ صَٰلِحًا ۚ قَالَ يَٰقَوْمِ ٱعْبُدُوا۟ ٱللَّهَ مَا لَكُم مِّنْ إِلَٰهٍ غَيْرُهُۥ ۖ هُوَ أَنشَأَكُم مِّنَ ٱلْأَرْضِ وَٱسْتَعْمَرَكُمْ فِيهَا فَٱسْتَغْفِرُوهُ ثُمَّ تُوبُوٓا۟ إِلَيْهِ ۚ إِنَّ رَبِّى قَرِيبٌ مُّجِيبٌ
Artinya, “Kepada (kaum) Samud (Kami utus) saudara mereka, Saleh. Dia berkata, “Wahai kaumku, sembahlah Allah! Sekalikali tidak ada Tuhan bagimu selain Dia. Dia telah menciptakanmu dari bumi (tanah) dan menjadikanmu pemakmurnya. Oleh karena itu, mohonlah ampunan kepada-Nya, kemudian bertobatlah kepada-Nya. Sesungguhnya Tuhanku sangat dekat lagi Maha Memperkenankan (doa hamba-Nya)”.
Sementara itu, posisi manusia sebagai khalifah telah Allah firmankan dalam Q.S. al-Baqarah: 30 di bawah ini,
وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَٰٓئِكَةِ إِنِّى جَاعِلٌ فِى ٱلْأَرْضِ خَلِيفَةً ۖ قَالُوٓا۟ أَتَجْعَلُ فِيهَا مَن يُفْسِدُ فِيهَا وَيَسْفِكُ ٱلدِّمَآءَ وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ ۖ قَالَ إِنِّىٓ أَعْلَمُ مَا لَا تَعْلَمُونَ
Artinya, “(Ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, “Aku hendak menjadikan khalifah di bumi.” Mereka berkata, “Apakah Engkau hendak menjadikan orang yang merusak dan menumpahkan darah di sana, sedangkan kami bertasbih memuji-Mu dan menyucikan nama-Mu?” Dia berfirman, “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.”
Untuk mencapai maksud tersebut, manusia diberikan tugas yang menjadi misi hidupnya, yakni sebagai penebar rahmat bagi semesta (rahmatan lil ‘alamin), membawa kabar gembira dan peringatan (bashiran wa nadziran), serta menjadi umat terbaik (khoiru ummah) dan umat pertengahan (ummatan wasathan).
Tujuan dan tugas itu demikian berat. Itulah sebab, Allah memberikan bekal berupa fitrah yang dapat dikembangkan untuk menjadi modal utama dalam rangka mencapai maksud penciptaan manusia. Oleh karena itu, begitu terlahir, seorang anak manusia tidaklah terlahir dalam keadaan tidak membawa apa-apa. Hakikatnya, ia membawa sesuatu yang telah dibekalkan Allah berupa fitrah.
Hal ini ditegaskan sendiri oleh Allah melalui firmannya dalam Q.S. ar-Ruum: 30 berikut,
فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفًا ۚ فِطْرَتَ ٱللَّهِ ٱلَّتِى فَطَرَ ٱلنَّاسَ عَلَيْهَا ۚ لَا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ ٱللَّهِ ۚ ذَٰلِكَ ٱلدِّينُ ٱلْقَيِّمُ وَلَٰكِنَّ أَكْثَرَ ٱلنَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ
Artinya, “Maka, hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Islam sesuai) fitrah (dari) Allah yang telah menciptakan manusia menurut (fitrah) itu.Tidak ada perubahan pada ciptaan Allah (tersebut). Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.”
Kata fitrah dalam ayat ini menunjukkan bahwa manusia diciptakan Allah dengan membawa ketauhidan dalam dirinya. Hal tersebut tidak akan berubah, hanya saja terkadang manusia sendiri yang menyimpang dari fitrahnya.
Baca Juga: Keteladanan Luqman Al-Hakim dalam Pendidikan Anak
Secara sederhana, kata fitrah sering dimaknai dengan suci atau potensi. Secara etimologis, asal kata fitrah berasal dari Bahasa Arab, yakni fitrah yang diartikan sebagai perangai, tabiat, kejadian, asli, agama, atau ciptaan. Quraish Shihab memaknai istilah fitrah dengan mengambil dari akar kata alfithr yang berarti belahan, kemudian melahirkan makna lain seperti pencipta atau kejadian. Menurut Ibn Katsir, karena fitir artinya menciptakan, fitrah berarti keadaan yang dihasilkan dari penciptaan.
Adapun secara istilah, al-Ghazali mengartikan fitrah sebagai dasar bagi manusia yang telah dibawanya sejak lahir, termasuk di dalamnya adalah beriman kepada Allah subhanahu wata’ala. Al-Qurthubi mendefinisikan fitrah sebagai kesucian jiwa dan rohani yang dibawa sejak lahir.
Fitrah Iman
Dari pemaknaan di atas, dapat dikaji bahwa sebenarnya manusia dibekali potensi atau fitrah sejak lahir, termasuk di dalamnya potensi berupa kecenderungan untuk beriman kepada Allah. Bahkan, ikrar keimanan tersebut telah Allah ingatkan dalam surat al-A’raf: 172,
وَإِذْ أَخَذَ رَبُّكَ مِنۢ بَنِىٓ ءَادَمَ مِن ظُهُورِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَأَشْهَدَهُمْ عَلَىٰٓ أَنفُسِهِمْ أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ ۖ قَالُوا۟ بَلَىٰ ۛ شَهِدْنَآ ۛ أَن تَقُولُوا۟ يَوْمَ ٱلْقِيَٰمَةِ إِنَّا كُنَّا عَنْ هَٰذَا غَٰفِلِينَ
Artinya, “(Ingatlah) ketika Tuhanmu mengeluarkan dari tulang punggung anak cucu Adam, keturunan mereka, dan Allah mengambil kesaksiannya terhadap diri mereka sendiri (seraya berfirman), “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab, “Betul (Engkau Tuhan kami), kami bersaksi.” (Kami melakukannya) agar pada hari Kiamat kamu (tidak) mengatakan, “Sesungguhnya kami lengah terhadap hal ini”.
Manusia telah bersaksi bahwa satu-satunya zat yang akan disembah hanyalah Allah. Allah telah mengunci janji tersebut agar tak menjadi alasan pengingkaran di hari akhir nanti.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam Bersabda (yang artinya): “Tidak ada seorang bayi pun dilahirkan kecuali dalam keadaan fitrah. Maka orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi.” (H.R. Bukhari).
Hadis tersebut dapat menunjukkan bahwa sesungguhnya menjadi muslim dan beriman adalah fitrah manusia. Perihal penyimpangan, itu terjadi karena berbagai faktor di luar fitrah itu sendiri. Untuk itu, sangat penting bagi manusia untuk mendidik dan merawat fitrahnya agar berkembang melalui proses pendidikan. Adapun sebagai madrasah pertama, orang tua adalah penanggung jawab pendidikan fitrah bagi para buah hati.
Secara spesifik, mendidik anak adalah bagian dari upaya memenuhi perintah Allah dalam Q.S. at-Tahrim ayat 6,
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ قُوٓا۟ أَنفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا ٱلنَّاسُ وَٱلْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَٰٓئِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَّا يَعْصُونَ ٱللَّهَ مَآ أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ
Artinya, “Wahai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu. Penjaganya adalah malaikat-malaikat yang kasar dan keras. Mereka tidak durhaka kepada Allah terhadap apa yang Dia perintahkan kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.”
Dengan demikian, manusia berkewajiban untuk merawat dan menumbuhkan fitrah pada dirinya, dalam hal ini adalah fitrah keimanan, melalui proses pendidikan. Fitrah tersebut dapat dikembangkan pada diri anak sejak dini. Mengingat usia emas dalam perkembangan anak, yaitu 0-7 tahun, merupakan masa di mana abstraksi dan imajinasi anak berkembang sangat pesat maka fase tersebut sangat esensial dalam mengenalkan Allah kepada anak. Imaji positif yang ditanamkan orang tua serta para guru dan pengasuh dapat meningkatkan atmosfer kesalihan dan menunjukkan keteladanan.
Menamamkan imaji positif bermakna memberikan kesan-kesan keindahan akan Allah, Rasulullah, dan Islam itu sendiri kepada anak. Menumbuhkan rasa cinta akan syariat sebaiknya diutamakan sebelum mengajarkan syariat itu sendiri. Hal ini dimaksudkan agar kelak anak menjalankan salat, puasa, mengamalkan al-Quran, dan syariat lainnya, karena didorong oleh rasa cinta, bukan karena beban semata.
Kesan positif dapat ditanamkan melalui pemeliharaan atmosfer kesalehan di rumah. Kontekskan setiap momen kepada sifat-sifat Allah. Sebagai contoh, orang tua membiasakan anak untuk meminta apapun dalam doanya kepada Allah. Hal ini dilakukan agar tumbuh keyakinan bahwa Allah adalah sang pengabul doa, satu-satunya, dan Allah adalah tempat segala permintaan bermuara. Dalam konteks lain, orang tua, guru, atau pengasuh dapat pula menghubungkan berbagai aktivitas sehari-hari dengan sifat Allah sebagai pemberi rezeki, pencipta, pemelihara, dan sebagainya.
Baca Juga: Nasab Anak di Luar Perkawinan: Perspektif Fikih Anak
Kita dapat meneladani kesabaran dan pengertian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam mendidik generasi usia dini. Beliau pernah membiarkan cucunya naik ke punggung beliau ketika sedang salat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga menyuruh untuk memendekkan bacaan salat bila ada anak-anak di barisan makmum. Kedua hal ini menunjukkan metode luhur beliau dalam menanamkan kesan positif tentang ibadah kepada anak sebagai sesuatu yang menyenangkan.
Penciptaan atmosfer kesalehan ini erat kaitannya dengan konsep rekayasa lingkungan dalam psikologi anak. Secara psikis, lingkungan sekitar akan mempengaruhi tumbuh kembang anak. Oleh karena itu, dalam upaya mendidik fitrah keimanan anak, penting bagi orang tua untuk memperhatikan penciptaan suasana kesalehan di dalam rumah.
Keteladanan Orang Tua
Selanjutnya, orang tua tentulah menjadi role model dalam menanamkan kesan positif, antara lain dengan memperlihatkan wajah berseri saat mengajak anak salat, bersedekah, dan aktivitas ibadah lainnya. Orang tua haruslah menunjukkan ekspresi keridhaan terhadap agama. Kesan bahagia dan penuh cinta dalam menaati Allah, menegakkan Islam, dan setia kepada kebaikan yang dicontohkan oleh orang tua akan mempengaruhi bagaimana ekspresi keimanan anak saat dewasa. Bukankah anak adalah peniru yang ulung?
Keteladanan dapat pula diperoleh dari sosok-sosok besar dalam Islam, semisal para nabi, rasul, serta sahabat. Menceritakan kisah-kisah teladan tersebut akan membantu orang tua dalam menanamkan kesan positif anak terhadap agama. Bukankah metode bercerita telah lama terbukti sebagai salah satu cara ampuh dalam menanamkan karakter pada anak?
Secara psikologis, manusia membutuhkan sebuah model atau gambaran ideal dalam hidup yang direpresentasikan oleh tokoh idolanya. Gambaran ini seringkali didapat anak melalui kisah atau cerita. Melalui tokoh idolanya, anak akan belajar untuk berpikir, bersikap, dan bertindak. Dengan demikian, menempatkan diri sebagai teladan ataupun memilih kisah yang tepat bagi anak sebaiknya menjadi hal yang dipertimbangkan orang tua dengan penuh perhatian.
Fitrah ibarat benih yang telah tertanam dalam jiwa manusia. Agar tumbuh dengan optimal, diperlukan lahan yang subur serta nutrisi yang cuku berupa air dan matahari. Bila semua terpenuhi, ia akan berkembang menjadi sebatang pohon yang kokoh akarnya, indah bunganya, dan manis buahnya. Sungguh suatu kehormatan bagi kita, orang tua, menjadi bagian dari pengelola yang menumbuhkan benih tersebut. Semoga Allah kuatkan, mudahkan, dan penuhi langkah-langkah kita dalam mendidik generasi dengan keberkahan.
*Pemuda Muhammadiyah Curup