Oleh: Susilastuti Dwi N.
Perempuan kiranya masih selalu menarik perhatian sebagai bahan pemberitaan. Sayangnya pemberitaan tentang perempuan cenderung kurang mengandalkan aspek-aspek, seperti prestasi, kualitas, dan pemikiran mereka. Sebagai bahan berita, perempuan sering kali sekadar dijadikan objek eksploitasi untuk meningkatkan clikbait, rating, bahkan oplah satu media karena daya tarik seksual dan sensual mereka di dalam dunia yang patriarkis ini.
Sebenarnya hadirnya new media atau media online memberikan harapan bahwa pemberitaan tentang perempuan bisa lebih meningkat secara kualitas sehingga menampilkan perempuan secara lebih utuh. Namun, realitanya pemberitaan tentang perempuan masih sering bias gender, tidak responsif gender. Kentalnya budaya patriarki telah menempatkan perempuan sebagai objek eksploitasi dalam pemberitaan di media.
Terkait dengan hal tersebut, Ketua Dewan Pers Dr. Ninik Sri Rahayu di Yogyakarta beberapa waktu lalu mengemukakan pemberitaan tentang perempuan, khususnya kasus kekeras- an seksual belum seperti yang diharapkan. Media masih menempatkan ke- kerasan seksual sebagai objek pemberitaan. Tingginya kasus kekerasan seksual terhadap perempuan merupakan salah satu topik pemberitaan yang dianggap menarik dan memang demikian dalam kenyataannya bagi publik.
Tidak bolehkah menjadikan kekerasan seksual terhadap perempuan seperti itu sebagai objek pemberitaan? Tentu saja boleh. Pemberitaan kasus- kasus kekerasan seksual yang dialami perempuan diharapkan mampu membangun kesadaran kolektif masyarakat untuk peduli dan responsif terhadap masalah yang dihadapi perempuan. Namun, dalam realitanya pemberitaan tentang kekerasan seksual di media massa juga mengandung kerentanan dan risiko dalam upaya perlindungan korban.
Hal itu terjadi jika pemberitaan tentang kekerasan seksual yang menimpa perempuan disajikan secara vulgar, dengan deskripsi mendetail tentang peristiwa dan korbannya. Pemberitaan seperti itu jelas berdampak pada stig- matisasi maupun framing yang merugi- kan korban. Merujuk hasil penelitian Nuzuli (2021) isu seksual dan kekerasan seksual merupakan topik yang mempunyai nilai jual tinggi bagi media online. Topik kekerasan yang paling sering diliput di media online adalah berita pemerkosaan, pelecehan seksual, dan “penjualan” perempuan. Pelangga- ran Kode Etik Jurnalistik (KEJ) masih banyak dilakukan dalam pemberitaan tentang kekerasan seksual pada perempuan.
Pelanggaran KEJ dalam pemberitaan tentang kekerasan seksual pada perem- puan antara lain ialah pencampuradu- kan antara fakta dan opini (31%). Pasal 3 KEJ mengatur wartawan Indonesia agar selalu menguji informasi, memberitakan secara seimbang, tidak mencampurkan antara fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan asas praduga tidak bersalah. Selanjutnya, media berita online juga sering mengungkap identitas korban (31%), termasuk mengungkap identitas pelaku anak (20%). Padahal KEJ pasal 5 menyebutkan bahwa “Wartawan Indonesia tidak menyebutkan identitas kejahatan susila dan tidak menyebutkan identitas anak yang menjadi pelaku kejahatan”. Ketentuan itu dimaksudkan agar identitas diri anak yang terlibat dalam kejahatan susila tidak mudah terlacak. Anak, yaitu mereka yang berusia kurang dari 16 tahun dan belum menikah, haruslah dilindungi.
Baca Juga: MTK PDA Demak Selenggarakan Pelatihan Muballighat
Akibat pola pemberitaan semacam ini, isi berita online tentang kekerasan seksual cenderung masih menggiring pembacanya untuk membuat stereotype (pelabelan) dan menghakimi korban. Hal ini jelas merugikan perempuan. Tidak hanya itu, narasi di media online masih menormalisasi kekerasan seksual, menyudutkan, dan menyalahkan korban sehingga kekerasan seksual kepada perempuan dianggap sebagai sesuatu yang wajar.
Merujuk hasil penelitian tahun 2022 terhadap berita-berita dari sembilan media online ditemukan adanya masalah redaksi pemberitaan yang belum mencerminkan sikap responsif gender dan perlindungan terhadap korban. Pemberitaan yang belum responsif gender terlihat dalam pilihan kata yang bermasalah. Pertama, pelabelan melalui repetisi kata-kata stereotype yang memberikan makna negatif seperti janda, mbak, layani, pelanggan, gampangan, kembang, ibu muda, cantik, seksi, kebaya
merah, gadis. Kedua, diskriminasi/violence, seperti penggunaan kata digilir, diperkosa, dipaksa, jual perempuan, kawin paksa, korban prostitusi. Ketiga, marginalisasi, seperti diusir warga, penebar aib keluarga, merusak nama baik.
Keempat, victim blaming (penyalahan korban) seperti baju ketat, rok mini, body seksi, mandul, tidak menyenangkan suami. Adapun redaksi pemberitaan yang
belum mencerminkan perlindungan terhadap korban antara lain adalah sebagai berikut. (1) Pengungkapan identitas korban seperti nama, nama
orang tua, alamat rumah/tempat kerja, alamat sekolah. (2) Pemaparan kejadian secara detail dengan diksi yang vulgar (meremas dada/bokong, digoyang, kemaluan), dan repetisi narasi kekerasan. (3) Penghakiman korban, seperti penggunaan istilah pelakor, penggoda, janda, pulang malam, tidak punya pekerjaan, korban berperan. (4) Penghukuman seperti narasi berbuat zina, layak diceraikan, dinikahkan dengan pelaku, dirajam.
Redaksi pemberitaan tersebut jelas tidak responsif gender dan melanggar Pasal 5 KEJ. Hal ini berdampak pada masalah perlindungan korban. Pemberitaan di media online khususnya dan media lainnya seharusnya menaati KEJ. Wartawan, jajaran redaksi, organisasi wartawan, dan Dewan Pers yang mengawal kerja jurnalistik perlu bersinergi untuk bersama-sama meningkatkan kualitas karya jurnalistik yang responsif gender, khususnya terkait masalah kekerasan seksual pada perempuan.
Wartawan harus cermat dalam menggunakan judul, diksi, maupun narasi agar berita menjadi responsif gender dan memberikan perlindungan kepada korban. Ruang redaksi atau newsroom perlu lebih ketat dalam memproduksi dan menerbitkan berita-berita kekerasan seksual yang menimpa perempuan dan anak. Pelatihan-pelatihan jurnalistik yang responsif gender harus dioptimalkan. Pemberitaan yang bias gender harus ditekan seminimal mungkin. Usaha ini memerlukan penyamaan frame tentang persoalan gender di masyarakat. Persoalan gender masih besar akibat kuatnya budaya patriarki. Oleh karena itu, Dewan Pers diharapkan segera menyusun standar penulisan yang responsif.
5 Comments