Oleh: Susilastuti
Pada 2024 mendatang negara kita akan menggelar sebuah kontestasi politik lima tahunan yang telah kita ketahui bersama sebagai pemilihan umum (pemilu). Kontestasi politik paling konstitusional ini kiranya adalah momen yang ditunggu-tunggu oleh rakyat sebab saat itu merupakan kesempatan yang tepat bagi rakyat untuk memilih para pembawa suara dan pemimpin mereka, yakni para anggota legislatif di semua level, Dewan Pimpinan Daerah (DPD), presiden dan wakil presiden, serta pemilu gubernur, bupati, dan walikota. Mereka yang terpilih ini dalam lima tahun ke depan akan menentukan kebijakan dan kinerja kenegaraan dan kebangsaan untuk kepentingan rakyat Indonesia.
Pengalaman mengatakan bahwa pemilu biasanya memang disertai dengan drama politik. Namun, dalam Pemilu 2024, drama itu kiranya sudah dimulai terlalu dini, yakni sejak tahapan penetapan partai peserta pemilu. Partai peserta Pemilu 2024 yang semula berjumlah 23, sebagaimana tertuang dalam surat keputusan (SK) Komisi Pemilihan Umum (KPU) Nomor 519, pada akhirnya berubah menjadi 24 dengan keluarnya SK Nomor 552 tahun 2022.
Partai yang menjadi peserta ke-24 itu adalah Partai Ummat. Partai baru ini pada akhirnya lolos menjadi peserta Pemilu 2024 setelah melalui proses gugatan ke Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan dilanjutkan dengan verifikasi ulang.
Dengan partai peserta sebanyak itu dan berbagai jenis, pemilu yang rencananya akan digelar semuanya pada 2024, kiranya masyarakat akan “terengah-engah” dalam pemilu kali ini, kendati pun setiap aneka macam pemilu itu dilakukan pada bulan-bulan yang berbeda. Masyarakat akan menghadapi drama, kontestasi, kegaduhan politik, dan akhirnya harus berpikir keras menentukan pilihannya. Semua itu tentu dibarengi dengan “ongkos sosial” (tak jarang dengan korban jiwa) yang besar.
Bagi mereka yang telah berulang kali menggunakan hak pilihnya dalam pemilu, berbagai risiko sosial dan kompleksitas dalam hajatan politik nasional itu tidaklah membingungkan. Mereka setidaknya telah mempunyai pengalaman dalam penggunaan hak pilih, bahkan mungkin sudah memiliki preferensi politik yang mantap. Namun, bagaimana halnya dengan para pemilih pemula?
Pemilih Pemula
Pemilih pemula adalah mereka yang baru pertama kali memilih. Dalam Pemilu 2024 mereka ini termasuk dalam golongan yang kini dikenal sebagai generasi Z (gen Z), yakni mereka yang lahir pada kurun waktu 1996-2012, masa-masa ketika internet mulai membentuk suatu dunia di samping dunia yang secara nyata kita huni. Sebagai anak zamannya, generasi ini memiliki karakter yang berbeda dengan generasi sebelumnya.
Berdasarkan Survei Penduduk BPS 2020, jumlah gen Z saat ini mencapai 74,93 juta jiwa. Adapun yang sudah memiliki hak pilih mencapai hampir 40 persen dari total jumlah pemilih dalam Pemilu 2024. Dengan jumlah tersebut, diperkirakan gen Z akan menjadi kelompok yang berpengaruh besar dalam Pemilu 2024.
Dengan perannya yang menentukan itu, gen Z diharapkan berpartisipasi dengan baik dalam Pemilu 2024, yakni menggunakan hak pilihnya guna mendorong perubahan politik di Indonesia. Namun, di sisi lain, dengan potensi politiknya yang strategis itu pula, mereka bisa dipastikan akan menjadi sasaran perebutan dari para kontestan pemilu. Dalam situasi demikian, sangat mungkin akan muncul cara-cara kontestasi, seperti kampanye, intrik-intrik, dan manuver politik yang pada titik-titik tertentu bisa menyebabkan gen Z enggan atau “malas” mengikuti pemilu atau tidak menggunakan hak pilihnya (golput).
Munculnya gambaran negatif tersebut memang hanya berdasarkan asumsi-asumsi, tetapi hal itu bisa menjadi nyata. Kita tentunya berharap bahwa hal-hal positifllah yang akan terjadi, yakni gen Z berpartisipasi besar dalam pemilu dengan penuh kesadaran dan tanggung jawab untuk memberikan suaranya, atau bahkan ambil bagian dalam kontestasi pemilu jika memungkinkan.
Dengan demikian, kualitas dan kuantitas demokrasi kita, terutama pemilu, terdongkrak naik pada 2024 sehingga menjadi ajang kontestasi yang benar-benar layak diikuti. Guna mencapai maksud tersebut, gen Z hendaknya menjadi titik fokus (focal point) sosialisasi pemilu yang cerdas.
Karakter Gen Z
Oleh karena itu, pemangku kepentingan yang memiliki tanggung jawab perihal sosialisasi Pemilu 2024 baik secara teknis maupun dalam bentuk dukungan pendidikan politik perlu memahami karakter gen Z. Hal ini penting karena gen Z adalah generasi yang dibesarkan dan hidup pada era digital sehingga mereka telah meninggalkan cara-cara lama dalam mencari informasi.
Digitalisasi menyebabkan terjadinya disrupsi informasi, tata cara berinteraksi, dan perubahan lainnya. Era digital memungkinkan masyarakat, apalagi gen Z, semakin mandiri dalam mendapatkan informasi. Sulit untuk mengontrol dari siapa, melalui apa mereka mendapatkan informasi. Kendali atas informasi ada pada masing-masing individu.
Dengan kondisi yang demikian itu, sangat besar kemungkinannya bahwa gen Z telah memiliki informasi tentang demokrasi, politik, kontestasi kekuasaan, dan serba-serbi politik lainnya. Untuk itu, adanya pandangan, prasangka bahwa gen Z adalah generasi yang buta atau minim informasi politik dan demokrasi perlu diubah.
Baca Juga: Generasi Muda: Sang Pemimpin Masa Depan
Jumlah pemilik hak pilih dari kelompok gen Z yang jumlahnya hampir 40 persen yang akrab dengan media komunikasi berbasis internet bukanlah “bejana kosong”. Gen Z dalam interaksinya di tengah keluarga, lingkungan sekolah, pergaulan, maupun terpaan informasi dari berbagai platform, media sosial, media daring (online), dan saluran lainnya telah menerima informasi yang beraneka ragam, termasuk politik. Mereka bukanlah generasi yang “tidak tahu apa-apa” tentang informasi atau wacana politik.
Akan tetapi, perlu dipahami bahwa informasi-informasi terkumpul sebagai pengetahuan pribadi yang tak-terungkapkan (tacit knowledge) dalam diri gen Z. Tacit knowledge ini pada gilirannya akan menjadi eksplisit (explicit knowledge) dalam bentuk sikap dan perilaku saat mereka menghadapi isu-isu politik, termasuk dalam merespons pelaksanaan pemilu.
Pendidikan Pemilih
Lebih lanjut, terkait dengan upaya memberikan pendidikan politik bagi gen Z ini, kita perlu pula berpegang pada kunci keberhasilan pendidikan politik dalam konteks luas, yakni adanya frame of referrence yang sama. Hal ini tidak berarti bahwa pendidikan tersebut bersifat top down. Namun, sebaliknya, aspirasi akan pengetahuan politik itu perlu ditumbuhkan dari bawah (bottom up) sehingga pendidikan itu didesain berdasarkan kebutuhan gen Z.
Dalam konteks seperti itu, organisasi kemasyarakatan yang hidup tersebar di Indonesia, termasuk Muhammadiyah beserta organisasi otonomnya seperti ‘Aisyiyah, Nasyiatul ‘Aisyiyah, Angkatan Muda Muhammadiyah perlu menggarap pendidikan politik bagi gen Z. Upaya ini diharapkan dapat membantu gen Z untuk lebih mudah dalam mengungkapkan tacit knowledge mereka menjadi explicit knowledge. Dengan begitu, pada gilirannya mereka benar-benar menjadi melek politik dan siap memberikan keputusan, melakukan tindakan serta kiprah politik sebagai warga masyarakat, baik di lingkup kecil, lokal, maupun nasional.
Namun demikian, pendidikan politik tidak hanya menjadi tanggung jawab organisasi kemasyarakatan, tetapi kita semua, mulai dari keluarga, sekolah, dan lingkungan sekitarnya. Pendidikan politik berarti membukakan cara berpikir tentang politik secara lebih luas. Pada akhirnya, politik itu bukan hanya masalah pemilu. Politik adalah bagaimana kita mendudukkan diri kita sebagai warga negara.