Inovasi dalam sebuah gerakan termasuk ‘Aisyiyah merupakan suatu keharusan yang dimiliki, agar tersedia beragam langkah baru dalam menjawab tantangan organisasi. Terobosan- terobosan dari para inovator, dalam hal ini para kader, diharapkan tumbuh secara organik.
Muhammadiyah-‘Aisyiyah sendiri, ungkap Fahd Pahdepie, intelektual muda Muhammadiyah, merupakan gerakan tajdid yaitu gerakan inovasi. “Pembaharuan dan terobosan menjadi corak dan jati diri Muhammadiyah-‘Aisyiyah. Maka, peran inovasi di dalam program-program Muhammadiyah- ‘Aisyiyah menjadi sesuatu yang sangat krusial,” tandasnya.
Fahd kemudian menyebut tentang teknologi Blockchain, revolusi industri kelima yang tengah marak diperbincangkan. Ke depan teknologi terbaru ini, ungkap pria yang dinobatkan sebagai Outstanding Young Alumni oleh Australia Awards dan Australia Global Alumni ini, dapat mengubah banyak hal, mulai dari ekonomi hingga peradaban. Ia merasa Muhammadiyah- ‘Aisyiyah sangat perlu mendiskusikannya dan membuat terobosan serius ke arah sana. Dengan demikian, program Muhammadiyah-‘Aisyiyah dapat menyesuaikan diri dan membangun relevansi terhadap isu-isu.
Fahd menambahkan, bahwa Muhammadiyah memerlukan ijtihad dan narasi tajdid yang baru. Jika Muhammadiyah-‘Aisyiyah nantinya memasuki wacana blockchain dan mengimplementasikannya, maka Muhammadiyah akan turut serta melakukan revolusi teknologi yang mengubah centralised trust menjadi distributed trust. Hal ini, menurut Fahd, akan mengubah wajah ekonomi, kewargaan, hukum di kemudian hari, serta ikut memerangi persoalan besar bangsa seperti terorisme dan korupsi.
Saat ini, jika kita membuka Apps Store atau Google Play Store dan mengetik kata “Muhammadiyah”, akan tampil banyak sekali aplikasi Muhammadiyah. Tentu hal tersebut merupakan pencapaian yang luar biasa. Namun, menurut pria kelahiran tahun 1986 ini, selama rezim data Muhammadiyah- ‘Aisyiah belum tersentral dan terintegrasi, maka semua produk digital Muhammadiyah tidak akan mencapai potensi maksimal. “Ia hanya akan menjadi gimmick yang akan menghadapi banyak kendala, terutama dalam hal pengelolaan. Mengingat hal terpenting dari produk digital ialah ekosistemnya, dan Muhammadiyah harus memulainya dari sana,” ungkap Fahd secara kritis.
Selanjutnya, Fahd menyarankan agar Muhammadiyah-‘Aisyiyah perlu membuat inovasi rezim database yang terdigitalisasi dan terhubung satu sama lain. Hal ini dapat dimulai dari Pimpinan Cabang ‘Aisyiyah (PCA) dan Pimpinan Ranting ‘Aisyiyah (PRA). Jika saja, semua data anggota Muhammadiyah terdigitalisasi dan tersimpan dengan baik pada satu database raksasa. Fahd mencontohkan data siswa sekolah, mahasiswa, pasien rumah sakit, dan amal usaha Muhammadiyah-‘Aisyiyah lainnya, terhubung di sebuah sistem cloud computing rakasasa; maka betapa tinggi valuasi Muhammadiyah- ‘Aisyiyah sebagai sebuah organisasi? “Bisa saya pastikan angkanya akan jauh lebih besar dari Bukalapak, Tokopedia, Shopee, Ruang Guru, bahkan Gojek sekalipun,” jelasnya.
Menurut Fahd, jika selama ini Muhammadiyah dapat mengelola ribuan sekolah serta ratusan perguruan tinggi dan rumah sakit, seharusnya Muhammadiyah juga dapat membuat berbagai macam hal di dunia digital. “Dengan ekosistem digital sekompleks itu, serta didukung dengan kepemilikan aset yang nyata serta kohesivitas komunitas yang kuat; saya rasa Muhammadiyah 4.0 dapat menjadi the next big thing bukan hanya di Indonesia bahkan di dunia,” ungkap salah satu dari 20 pemimpin muda berpengaruh versi Australia- ASEAN Emerging Leaders Program.
Selain itu, dalam menumbuhkan budaya inovatif di internal persyarikatan, Fahd melihat pentingnya Sumber Daya Manusia yang mendukung. Hal yang krusial adalah mengentaskan faktor-faktor yang dapat berpotensi menurunkan inovasi SDM.
Fahd melihat terkadang struktur membuat kekakuan tersendiri. “Problem otoritas ini muncul di tengah ketidakpercayaan gene-rasi tua kepada generasi muda. Kultur senior-junior tumbuh di tubuh Muhammadiyah. Permasalahan ini turut andil mengubah centralized trust menjadi distributed trust. Akibatnya, mimpi tentang membuat relevansi kepada laju perkembangan teknologi akan terhambat,” imbuhnya.
Hal lainnya ego antar majelis dan lembaga, antar wilayah, antar struktur kepemimpinan. Selama masih memiliki ego sendiri-sendiri, ungkapnya, sentralisasi dan integrasi data (one data policy) seperti yang dibahas di bagian sebelumnya tidak mungkin tercapai. Harus ada jalan keluar, jangan sampai terjadi tumpang tindih atau kompetisi tidak sehat di dalam tubuh Muhammadiyah.
Sebenarnya, ungkap Fahd, Muhammadiyah- ‘Aisyiyah telah memenuhi semua syarat untuk mengerjakan hal besar ini. Dilihat dari organisasi de-ngan komunitas yang kuat, infrastruktur, hingga modalitas ekonomi. Tinggal satu pertanyaan yang harus dijawab: Di abad kedua ini, dapatkah Muhammadiyah memenuhi panggilan dan tanggung jawab sejarahnya sebagai gerakan tajdid ? (Gustin Juna)
Baca selengkapnya di Rubrik Liputan Utama, Majalah Suara ‘Aisyiyah Edisi 2 Februari 2020
Sumber Ilustrasi : https://www.adrianadian.com/2018/03/Muvon-Digital-Ecosystem-Muhammadiyah.html