Oleh: Andy Dermawan
Menulis suatu peristiwa sejarah bukanlah perkara mudah, apalagi jika peristiwa tersebut penuh muatan nilai-nilai yang mengajarkan kepada generasi berikutnya tentang suatu hal yang berkaitan dengan kemanusiaan. Nilai-nilai kemanusiaan itu bisa berupa kejujuran, konsistensi, ketaatan, keadilan, kesetiakawanan, kebersamaan, penghormatan, dan kepedulian.
Rumit karena mesti merekam peristiwa sejarah tersebut dengan kehati-hatian. Di sisi lain, bisa disebut mudah bahkan mengasyikkan, karena bisa saja kita terlena pada mengagumkannya nilai-nilai yang lahir dari suatu peristiwa yang luar biasa, seperti peristiwa hijrah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam ke Madinah.
Peristiwa hijrah Nabi Muhammad saw. dari Makkah ke Madinah bukan disebabkan oleh rasa frustasi atau kalah dari tekanan fisik dan mental oleh kaum Quraisy, melainkan suatu tindakan refleksi diri berjamaah dalam rangka menyusun barisan umat Islam yang telah bersepakat mendukung dan menyokong dakwah Rasulullah saw. meninggikan kalimat tauhid.
Pengikut Nabi Muhammad saat itu juga bukanlah sembarang pengikut. Mereka memiliki totalitas diri sebagai umat militan sehingga militansi itu dapat dilihat dari persiapan mental, perbekalan secukupnya, bahkan kesungguhan meninggalkan sebagian besar harta bendanya di Makkah dan terpisah dari keluarganya untuk menyusul hijrah Rasulullah ke Madinah.
Perjalanan panjang berselimutkan terik matahari yang menyengat serta kondisi gurun pasir yang tidak menentu keadaannya mengiringi perjalanan hijrah tersebut. Mental mereka semakin teruji dalam perjalanan panjang itu. Tidak heran jika banyak tebaran kebaikan yang dilakukan selama perjalanan dari Makkah menuju Madinah.
Muhajirin dan Anshar: Perjumpaan Dua Kemuliaan
Penatnya perjalanan panjang yang menuntut konsistensi dan istiqamah atas keputusan yang mereka ambil untuk mengikuti hijrah Rasulullah saw., membutuhkan suatu keyakinan teguh yang kukuh dan teruji. Itulah bekal mental pengikut Muhammad dalam syiar dakwah meninggikan kalimat tauhid. Jika mental seseorang itu tangguh, tentu kondisi fisik atau materi dapat diatasi.
Setelah menjalani perjalanan panjang dari Makkah, sampailah mereka di Madinah. Wajah kuyu, fisik lemah lunglai, dan perbekalan yang sudah lama habis, tiba-tiba diguyur oleh senyum simpul dan riuh gempita sambutan hangat kaum Anshar ketika melihat rombongan Muhajirin memasuki Madinah. Bak disiram air es di siang hari, begitulah suasana saat itu. Mereka berebut saling mempersilakan kaum Muhajirin ke rumah masing-masing dan menawarkan apa yang mereka miliki.
Baca Juga: Melihat Peristiwa Hijrah Lebih Dekat
Perjumpaan inilah yang menandai bertemunya dua peradaban besar. Kaum Muhajirin Makkah merupakan sosok pedagang, sedangkan kaum Anshar adalah petani. Kemuliaan kaum Anshar terlihat manakala menawarkan dan membantu kaum Muhajirin di dalam bercocok tanam, serta beradaptasi dengan lingkungan sekitar. Kaum Muhajirin pun bersabar mengikuti arahan saudaranya itu dengan baik, menyadari bahwa mereka akan tinggal dan menetap bersama Nabi Muhammad Rasulullah saw. di Madinah.
Tidak mudah menerima tamu, apalagi dalam jumlah besar secara totalitas. Namun, itulah yang dicontohkan kaum Anshar kepada kaum Muhajirin. Adapun kaum Muhajirin juga mengimbangi dengan baik perlakuan demi perlakuan kaum Anshar sebagai saudaranya yang penuh kemuliaan itu. Begitu indahnya keteladanan persaudaraan yang dicontohkan oleh kaum Muhajirin dan kaum Anshar, hingga Allah melukiskannya dalam al-Quran surat at-Taubah ayat 100 berikut ini:
وَٱلسَّٰبِقُونَ ٱلْأَوَّلُونَ مِنَ ٱلْمُهَٰجِرِينَ وَٱلْأَنصَارِ وَٱلَّذِينَ ٱتَّبَعُوهُم بِإِحْسَٰنٍ رَّضِىَ ٱللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا۟ عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّٰتٍ تَجْرِى تَحْتَهَا ٱلْأَنْهَٰرُ خَٰلِدِينَ فِيهَآ أَبَدًا ۚ ذَٰلِكَ ٱلْفَوْزُ ٱلْعَظِيمُ
Artinya, “Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar”.
Begitulah cara Allah memuliakan kaum Anshar yang ikhlas hati menerima saudaranya, Kaum Muhajirin dari Makkah, untuk tinggal bersama membangun peradaban (tamaddun) baru yang lebih baik dan diridhai Allah subhabahu wata’ala. Suatu tamaddun yang pada akhirnya mampu mewadahi perbedaan-perbedaan dalam kesatuan dan diatur dalam wadah kesepakatan-kesepakatan yang demokratis. Wajah Islam dan kaum Muslimin di Madinah saat itu, di bawah kepemimpinan Rasulullah saw., benar-benar menjadi blueprint peradaban baru berbangsa dan bernegara.
Potret Keragaman Muhajirin dan Anshar
Fakta menunjukkan bahwa kaum Muhajirin dan Anshar terdiri dari latar belakang keturunan yang berbeda-beda (bani-bani), suku, asal, dan latar belakang mata pencaharian yang tidak sama. Perbedaan yang begitu tajam ternyata tidak menghalangi mereka untuk membangun kebersamaan dalam perbedaan, tentu selama tidak saling mengganggu dan menyudutkan.
Perbedaan dalam kebersamaan juga diperlihatkan ketika kaum Muhajirin mulai beradaptasi dengan lingkungan yang sama sekali baru, khususnya dalam aktivitas pemenuhan hidup sehari-hari. Kaum Anshar tidak merasa lahan mereka semakin berkurang, sementara kaum Muhajirin tahu diri dengan tetap menjaga hubungan harmonis itu berjalan dinamis. Harmonisasi Muhajirin-Anshar mestinya dapat menjadi blueprint bagi tatanan umat Islam saat ini di manapun berada.
***
Lantas, pelajaran berharga apa yang dapat diambil? Pelajaran pertama adalah solidaritas. Kemampuan solidaritas ini telah ditunjukkan kaum Anshar dengan mempersilakan apa yang mereka miliki untuk diberikan kepada kaum Muhajirin. Solidaritas yang mereka ajarkan kepada kita adalah solidaritas sosial berjamaah. Bagaimana individu-individu itu digerakkan oleh rasa yang sama dan kebutuhan kebersamaan yang sama dalam satu ikatan persaudaraan di dalam Islam.
Kedua, perbedaan itu anugerah. Kaum Anshar paham bahwa rombongan Muhajirin yang datang dan menjadi saudaranya menetap di Madinah itu memiliki kultur yang berbeda. Bagi Anshar, justru di sinilah keuntungan bagi mereka dapat bersinergi dalam banyak hal.
Ketiga, tumpukan perbedaan pada visi yang sama. Selama mereka tetap satu visi, yakni mendukung dan menyokong perjuangan dakwah Rasulullah saw., maka hal-hal yang memberatkan, dalam hal ini perbedaan, mampu mereka atasi bersama.
Keempat, kekuatan visi dalam berorganisasi. Individu-individu yang terangkum dalam Muhajirin dan Anshar merupakan individu-individu yang kuat memegang teguh komitmen dan konsistensi organisasi, dalam hal ini struktur yang menopang komunitas Anshar-Muhajirin. Itulah sebabnya, hantaman dan pukulan telak yang menerpa mental dan fisik mereka tidak menggoyahkan visi keumatan yang menaungi kedua kaum yang dipersaudarakan Rasulullah tersebut. Nah, bukankah saat yakin memeluk Islam sebagai agama, kita pun pada dasarnya telah dipersaudarakan dan diikat oleh visi keumatan yang sama sebagai rahmatan lil ‘alamin?
Wallahu a`lam bi al-shawwab