Sejarah

Meneladani Sifat Al-Amin Nabi Muhammad

kaligrafi Nabi Muhammad
kaligrafi Nabi Muhammad

kaligrafi Nabi Muhammad (foto: istockphoto)

Seperti yang kita ketahui, bahwa Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak hanya memiliki satu gelar. Banyak gelar yang disematkan kepada beliau karena agungnya kedudukan dan akhlak baik yang terpatri pada diri beliau.

Di antara nama yang disebutkan secara jelas dalam nash adalah Muhammad, Ahmad, Al-Mahi, Al-‘Asyir, dan Al-‘Aqib, Al-Muqaffi, Nabiyyur Rohmah, dan Nabiyyut Taubah. Dan di antara nama yang mendeskripsikan sifat beliau adalah Asy-Syahid, Al-Mubasyyir, An-Nadzir, Ad-Da’i.

Makna Gelar Al-Amin

Di antara nama dan gelar yang tersemat pada Rasulullah, ada sebuah gelar yang sangat melekat pada diri beliau, yaitu Al-Amin. Secara bahasa, al-Amin mempunyai makna dapat dipercaya. Gelar ini diberikan kepada Rasulullah karena beliau adalah orang yang sangat amanah dan jujur.

Selama hidupnya, Rasulullah saw. selalu memberikan contoh suri tauladan yang baik kepada semua manusia. Salah satu contohnya adalah sikap beliau dalam berdagang. Beliau adalah pedagang yang sangat jujur, selalu menyampaikan kualitas barang dengan apa adanya, serta tidak mengambil keuntungan yang merugikan pembeli.

Asal-usul Gelar

Ada sebuah peristiwa yang menjadi latar belakang penyematan gelar Al-Amin pada Rasulullah, yaitu ketika terjadinya perselisihan dalam peletakan batu Hajar Aswad saat perenovasian Ka’bah.

Dalam kitab “Sirah Nabawiyah” karya Syaikh Shafiyyurrahman al-Mubarakfuri diceritakan bahwa saat itu Kakbah hampir hancur karena banjir yang terjadi 5 tahun sebelum kenabian. Setelah diputuskan untuk melakukan renovasi, sempat terjadi perselisihan di antara tokoh pembesar tentang siapa yang akan meletakkan batu Hajar Aswad.

Baca Juga: Muhammad bin Abdullah: Mulia Nasab, Mulia Akhlak

Perselisihan tersebut berlangsung sampai beberapa hari tanpa adanya keputusan. Situasi makin memanas, bahkan hampir mengakibatkan pertumpahan darah. Hingga akhirnya salah satu tokoh bernama Abu Umayyah bin Al-Mughirah mencoba menawarkan solusi dengan mengatakan bahwa urusan ini akan diserahkan kepada orang yang pertama kali masuk masjid.

Ternyata orang yang pertama kali masuk masjid adalah Rasulullah. Kemudian sontak mereka semua mengatakan: “Inilah Al-Amin, kami ridho kepadanya. Dia adalah Muhammad”.

Setelah itu, Rasulullah memberitahukan kepada tokoh-tokoh pembesar yang saat itu berkumpul tentang apa yang harus mereka lakukan. Rasulullah menyuruh meminta selendang dan membentangkannya. Beliau menyuruh meletakkan batu Hajar Aswad di tengahnya.

Selanjutnya beliau memerintahkan setiap dari pemuka kabilah untuk memegang ujung selendang tersebut dan mengangkatnya menuju tempat peletakan batu Hajar Aswad. Kemudian beliau mengambil dan meletakkannya ke tempat semula. Inilah keputusan yang diridhai semua orang.

Sifat Al-Amin pada Diri Rasulullah

Dalam kehidupan sehari-hari, Rasulullah selalu mengaplikasikan sifat jujur sehingga gelar Al-Amin ini sangat melekat pada diri beliau. Setiap perkataan dan perbuatan beliau adalah sebuah kejujuran. Ada beberapa peristiwa yang menunjukkan bukti sifat kejujuran, yaitu:

Pertama, sewaktu berselisih paham dengan pembeli. Saat itu beliau menjual dagangan di Syam dan bersitegang dengan pembeli karena kondisi barang yang dibeli pembeli.

Kemudian pembeli tersebut berkata kepada Rasulullah: “Bersumpahlah dengan menyebut demi Latta dan Uzza”. Lantas Rasulullah menjawab, “Aku tidak pernah bersumpah atas nama Latta dan Uzza”. Cukuplah kejujuran yang ada pada diri Rasulullah sebagai prinsip yang kuat yang dipegang oleh beliau tanpa harus melibatkan Tuhan.

Kedua, tidak mengambil keuntungan dagang yang banyak dan menyingkirkan saingannya. Saat itu Rasulullah bekerja menjualkan barang dagangan milik Khadijah. Beberapa orang dari Quraisy mencoba untuk membuat Rasulullah bangkrut.

Ketika mereka membawa dagangannya ke Suriah, mereka dengan sengaja menjatuhkan harga barang dengan pikiran bahwa orang Makkah pasti lebih menyukai barang yang murah.

Melihat hal tersebut, Rasulullah tidak lantas mengikuti cara mereka karena beliau menyadari bahwa dagangan bukanlah miliknya. Beliau tetap menjual dagangan dengan harga normal, karena beliau tahu bahwa jumlah permintaan pasti akan jauh lebih tinggi dari penawaran.

Meskipun dagangan orang Quraisy cepat habis karena harganya yang murah, tetapi setelah itu pasti pembeli akan tetap mencari barang tersebut di pasar. Akhirnya pembeli tetap membeli dagangan Rasulullah dengan harga normal, sedangkan orang Quraisy justru bangkrut karena barangnya habis dan hasilnya sedikit.

Ketiga, saat Rasulullah ditanya oleh seorang pendeta. Sewaktu berumur 12 tahun, paman Rasulullah, yakni Abu Thalib, mengajaknya untuk berdagang ke Syam. Di tengah perjalanan mereka bertemu dengan seorang pendeta bernama Bahira.

Bahira yang bisa melihat tanda-tanda kenabian pada diri Rasulullah lantas bertanya pada pamannya tentang hubungan mereka. Pamannya menjawab bahwa Rasulullah adalah anak beliau. Namun kemudian Rasulullah menjawab bahwa ia merupakan anak angkat Abu Thalib dikarenakan orang tuanya sudah meninggal. Bahira dibuat takjub dengan kejujuran Rasulullah.

Banyak sekali kisah-kisah yang menunjukkan kejujuran Rasulullah. Sudah sepatutnya sebagai seorang muslim kita meneladani kejujuran yang ada pada diri Rasulullah. (Desi)

Related posts
Sejarah

Lelaki dalam Selimut Itu Muhammad bin Abdullah

Seusai menerima wahyu pertama Q.s. Al-‘Alaq: 1-5, Muhammad yang kala itu berusia 40 tahun segera pulang dari Gua Hira. Kepada istrinya, Khadijah,…
Sejarah

Muhammad bin Abdullah: Mulia Nasab, Mulia Akhlak

Muhammad lahir pada 12 Rabiul Awal dari pasangan Abdullah dan Aminah. Beliau merupakan keturunan khalilullah Ibrahim melalui jalur Ismail.* Beliau lahir di…
Kalam

Dakwah Nabi Muhammad: Dakwah Multidimensi

Oleh: Mohammad Damami Zain Jama’ah Rahimakumullah. Untuk memetakan “bangunan utuh” dakwah Nabi Muhammad saw., tampaknya  bukan perkara mudah. Sebab, dalam konsep “dakwah”…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *