Oleh: Arif Yudistira
“Aku teringat kepada perpustakaan2 dan pekan buku jang telah kupersaksikan sendiri di negara Denmark. Jang paling menarik bagiku ialah bagian Pustaka kanak2nja, jang ramai dikundjungi oleh anak2 mulai umur 6-7 tahun. Apa jang dilihat oleh anak2 tjilik dan setengah buta huruf ini? Ja, buku2 jang penuh gambar berwarna menarik…. Anak2 sekolah berbondong-bondong datang. Minat mereka kepada buku2 dan keahliannja mentjari buku2 di perpustakaan mengherankan. Kemudian aku mendapat keterangan, bahwa minat dan ketjakapan itu memang selalu ditanamkan dan dipupuk oleh guru2 di sekolah. Murid2 selalu dibawa mengundjungi perpustakaan atau pameran buku dan diberi tahu, bagaimana mentjari buku2 jang mereka sukai ….. “ (th.1952)
Kalimat-kalimat tersebut merupakan kutipan penting dan berharga pada buku berjudul Pekan Buku (1954) tentang bagaimana buku menjumpai anak-anak di sekolah dan meninggalkan kesan yang mendalam.
Ilustrasi tentang anak-anak yang menggumuli buku di atas rasanya akan terasa menyenangkan. Hal lain yang menarik dari ilustrasi itu adalah anak-anak bisa merasakan jatuh cinta pada buku atas didikan ajakan, juga buah teladan gurunya menggumuli buku.
Keteladanan guru dalam menggumuli buku memang layak dipamerkan, ditunjukkan kepada anak, di depan mata mereka. Jatuh cinta anak pada buku itu bermula saat anak menemukan gurunya membaca. Anakanak bertanya judul buku yang dibaca gurunya, di mana membeli bukunya, dan sampai merajuk ingin beli buku serupa kepada ayah/ibunya.
Di masa kini, amat jarang, dan hampir bisa dihitung jari, guru Bahasa Indonesia anak-anak kita yang mestinya memberi teladan utama dalam menggumuli, mengakrabi buku, dan menggerakkannya. Guru cenderung menjadikan literasi sebagai hal yang terpisah dari pelajaran Bahasa Indonesia. Meski Bahasa Indonesia dekat dan lekat dengan pembelajaran literasi, guru Bahasa Indonesia turut menyumbang jarak yang mulai terpisah antara pembelajaran Bahasa dengan literasi.
Keteladanan berliterasi dari guru amat penting, bahkan sangat utama dalam menumbuhkan kegiatan berliterasi. Siapa tokoh sentral dalam ruang sekolah selain guru? Rasanya memang dari guru itulah anak-anak bisa tumbuh literasinya. Amat mustahil dan musykil saat kita berteriak hendak menggalakkan literasi di sekolah, tetapi guru-guru di dalamnya tidak atau enggan memberi keteladanan berbuku.
Bagi anak-anak yang berada di Pendidikan Anak Usia Dini [PAUD], bercerita, menyanyi, dan menari menjadi satu metode yang penting dan memiliki sejarah panjang. Di film-film kartun luar negeri, Sponge Bob misalnya, lagu, cerita, musik dan nyanyian menjadi strategi jitu untuk mengenalkan anak tentang banyak hal. Sariswara misalnya menjadi salah satu metode yang dipakai Taman Siswa untuk mengajak anak belajar. Dengan mendongeng cerita dan menyanyi, anak-anak di Taman Siswa terutama yang belum bisa membaca diajak untuk berliterasi sejak usia dini.
Baca Juga: Memahami Muhammadiyah dan Gerakan Kemajuannya
Metode ini tentu sangat akrab di sekolah-sekolah PAUD maupun BA dan TK Bustanul Athfal ‘Aisyiyah (ABA) yang membekas di jiwa anak-anak lulusan sekolah ‘Aisyiah. Sekolah dengan metode sariswara memang menyenangkan, tetapi cukupkah metode seperti ini mengajak anak-anak menjadi seorang yang kelak mencintai buku dan mencintai ilmu? Tentu tidak cukup.
Teladan Kiai Dahlan
Sekolah-sekolah Muhammadiyah dan juga aktivis-aktivisnya layak menengok kembali Kiai Dahlan dalam teladannya berliterasi, serta bergumul dalam dakwah dan perbukuan. Meski kerap dikenal sebagai kiai amal, atau kiai yang tidak terlalu nampak intelek, Kiai Dahlan justru menjadi teladan utama dalam menggerakkan literasi di Muhammadiyah.
Anggapan Kiai Dahlan tidak banyak melahirkan karya tulis, tidak berarti Kiai Dahlan tidak berliterasi. Fakta membuktikan di tanggal 17 Juni 1920, Kiai Dahlan dalam rapat di gedung HB [Hoofdbestuur] Muhammadiyah di Kampung Kauman, mengamanatkan pendirian Bagian Taman Pustaka.
Bagian ini mengurus Bibliotheek Muhammadiyah serta urusan penerbitan majalah dan percetakan. Dalam sambutannya, HM Moctar ketua Bagian Taman Pustaka mengatakan, “Taman Pembacaan itu tidak hanya menyediakan buku-buku yang mengandung ajaran Islam saja, tetapi juga disediakan buku-buku yang berfaedah dengan membawa ilmu pengetahuan yang berguna bagi kemajuan masyarakat bangsa dan negara yang tidak bertentangan kepada agama terutama Islam.”
Rumah Kiai Dahlan sendiri disulap menjadi Bibliotheek Muhammadiyah atau perpustakaan sederhana tetapi cukup megah. Bibliotheek ini dikelola komite Gedung Buku yang berada di bawah manajemen Taman Pustaka [Muarif, 2017].
Dengan fakta sejarah itu, Kiai Dahlan sejatinya juga seorang aktivis literasi yang membaca majalah, kitab tafsir, dan buku-buku Islam dan umum. Itulah mengapa Kiai Dahlan dikenal sebagai kiai yang cerdas dan visioner.
Pikat Buku
Literasi memang tidak sekadar membaca dan menulis. Tetapi membaca dan menulis mampu mengantarkan kita kepada ragam literasi lain dengan lebih baik. Menurut saya, literasi anak-anak di sekolah harus dimulai dari bagaimana mendekatkan buku, perpustakaan kepada anak-anak kita.
Ajak anak kita seminggu tiga hingga empat kali belajar di perpustakaan. Bagaimana mereka memilih buku, bagaimana mereka terpikat kepada buku, itu menjadi elemen utama. Dengan begitu, anak mulai meraba, merasakan, menyentuh cover buku, judul buku, ilustrasi buku yang membawanya berjalan-jalan menelusuri lorong katakata. Saya jadi teringat saat Jean Paul Sartre, saat masih kecil menaiki tangga dan melihat buku-buku di perpustakaan milik kakeknya. Dari situlah, Jean Paul Sartre tertarik literasi dan menjadi filsuf kenamaan hingga saat ini.
Semakin intensif kita mengajak anak bergumul dengan buku, mereka akan merasa buku akan membawa ke dunia baru, dunia fantasi, imajinasi, dan dunia yang tidak terbatas. Tanpa mengenali, mendekatkan buku maupun perpustakaan, mustahil anak-anak kita akan menjadi anak yang cinta ilmu, dan mendalami ilmu layaknya Kiai Dahlan.
Cara lain bisa dengan mengajak mereka menceritakan, mengisahkan, menuturkan ulang, menulis, atau merangkum apa yang sudah mereka baca. Biarkan mereka berekspresi dan berimajinasi seluas-luasnya tanpa harus diganggu dengan metode resume ala pembukaan dan kritisisme kepada buku. Format mengulas ala tugas sekolah itulah yang saya rasa membuat buku bagi anak-anak menjadi tidak menarik lagi.
Dengan mengajak mereka [murid] mengisahkan ulang apa yang mereka baca, ini melatih anak membawa buku ke dalam bawah sadar mereka. Manfaatnya, pengaruh positif buku bacaan bisa terbawa sampai dalam kehidupan sehari-hari mereka.
Sekolah-sekolah Muhammadiyah modern tentu tidak luput membangun dan membuat perpustakaan sebagai ruang hidup literer layaknya Bibliotheek Muhammadiyah di masa lalu. Metode terakhir yang menurut saya ampuh untuk menggerakkan literasi di sekolah adalah mengajak anak menulis pengalaman di sekitar mereka. Bisa saat bertemu gurunya, menulis pengalaman berharga bersama orang tuanya, sampai dengan pengalaman mereka belajar.
Apa yang mereka dokumentasikan ini bukan hanya memikat mereka untuk terus berkarya, tetapi juga mampu melatih mereka menuangkan imajinasi, menyusun kata, dan bercerita secara oral bagi yang belum bisa menulis dengan sempurna. Saya membayangkan seandainya semua metode ini dipraktikkan sekolah Muhammadiyah dan ‘Aisyiah, tentu peradaban bangsa kita akan semakin gemilang. []
*Giat di Sarekat Taman Pustaka Muhammadiyah, Pendidik di PPM MBS Yogyakarta