Oleh: Tri Hastuti Nur R
Siklus kehidupan manusia sangat dekat dengan reproduksi, mulai dari pubertas remaja, menstruasi, mimpi basah, kehamilan, kelahiran, menyusui, dan seterusnya. Al-Quran pun menjelaskan dan mengatur tentang reproduksi manusia ini secara eksplisit, di antaranya mengenai kejadian manusia yang berasal dari air mani; kewajiban suami menafkahi istri ketika sedang mengandung; serta anjuran untuk menyusui anak sampai umur dua tahun.
Kenyataan ini menunjukkan bahwa peran dan fungsi reproduksi manusia sangat mulia dan menduduki posisi yang sangat penting dalam siklus kehidupan manusia. Fungsi dan peran reproduksi manusia berarti meneruskan peradaban manusia. Namun, dalam kehidupan sehari-hari, peran-peran reproduksi perempuan masih berada dalam posisi pinggiran atau tidak mendapatkan perhatian yang semestinya.
Tingginya angka kematian ibu karena melahirkan; banyaknya kasus kehamilan tidak dikehendaki; banyaknya tabu dalam masyarakat terkait dengan kesehatan reproduksi; maraknya kekerasan seksual berbasis online; serta masih rendahnya pemahaman remaja tentang kesehatan reproduksi adalah beberapa kasus kasat mata dan masih banyak terjadi di Indonesia saat ini.
Kenyataan ini tentu menjadi paradoks (berlawanan). Di satu sisi, fungsi dan peran reproduksi itu telah dimulai, tetapi di sisi lain ternyata masih banyak problem terkait dengan pemenuhan hak-hak kesehatan reproduksi ini. Salah satu sebab mengapa problematika reproduksi di atas sering terjadi adalah masih rendahnya literasi kesehatan reproduksi masyarakat.
Oleh karena itu, jika kita ingin menyelesaikan berbagai kasus di atas, kita perlu mulai dari hulu, yaitu pendidikan kesehatan reproduksi. Pendidikan kesehatan reproduksi di Indonesia, baik dalam keluarga, masyarakat, maupun sistem pendidikan formal, masih belum dianggap penting, bahkan tabu. Di masyarakat terdapat beberapa mitos yang berkembang, misalnya mengajarkan kesehatan reproduksi dianggap mengajarkan seks bebas kepada remaja, atau mengajarkan kesehatan reproduksi disamakan dengan pendidikan seks.
Padahal faktanya, ketika anak-anak atau remaja memahami tentang kesehatan reproduksi dengan benar dan komprehensif, mereka akan berhati-hati menjalin relasi dengan lawan jenis. Ini karena mereka sudah memahami akibat berperilaku seksual yang tidak benar. Mereka juga lebih memahami dan menghargai tubuhnya, tidak terjebak dalam kekerasan seksual berbasis online, dan memahami bahwa pemerintah dan lembaga-lembaga lainnya menyediakan akses layanan untuk pemenuhan hak-hak reproduksi.
Baca Juga: Menanamkan Pengetahuan Kesehatan Reproduksi kapada Remaja
Pendidikan kesehatan reproduksi sebaiknya sudah dikenalkan kepada anak-anak ketika mereka masih kecil, misalnya menunjukkan kepada anak bagian tubuh yang merupakan aurat dan tidak boleh ditunjukkan atau disentuh orang lain. Ketika anak-anak memasuki masa pubertas, orang tua sebaiknya mengajarkan cara menjaga kebersihan pada saat menstruasi dan mimpi basah, tanda-tanda pubertas, dan risiko-risiko ketika memasuki masa pubertas, maupun gizi yang diperlukan oleh remaja.
Orang tua harus membuka ruang-ruang dialog dengan anak-anak remajanya tentang problem-problem kesehatan reproduksinya, bukan malah menutupinya. Jika orang tua menabukan pendidikan kesehatan reproduksi dalam rumah, anak-anak akan mencari sumber informasi sendiri yang belum tentu benar informasinya.
Dalam dunia pendidikan formal, sebagian pihak masih memandang kesehatan reproduksi identik dengan mata pelajaran biologi. Cara pandang ini perlu diubah. Pendidikan reproduksi harus diberikan secara benar dan komprehensif.
Pendidikan reproduksi perlu dipandang sebagai upaya menyiapkan generasi masa depan yang sehat dan berkualitas, sekaligus sebagai upaya menyiapkan peradaban yang menghargai kehidupan. Oleh karena itu, menjadi sangat signifikan bahwa pendidikan kesehatan reproduksi bukan sekadar tempelan, melainkan diintegrasikan dalam pendidikan formal di sekolah.