Indonesia masuk dalam kondisi darurat kekerasan seksual pada anak. Saat ini, Indonesia menempati peringkat kedua di ASEAN terkait jumlah pernikahan anak. Sementara itu, data Catatan Tahunan (Catahu) Komnas Perempuan tahun 2020 menunjukkan bahwa ada 299.911 kasus kekerasan terhadap perempuan dengan beragam bentuk. Jumlah tersebut ibarat fenomena gunung es, yang hanya terlihat puncaknya saja.
Terbaru, sebuah statiun televisi menayangkan adegan yang mengarah pada normalisasi pelecehan seksual pada anak, praktik poligami, dan praktik pedofilia. Diketahui pemeran perempuan dalam adegan tersebut masih berusia 15 tahun.
Dalam Keputusan Menteri Tenaga Kerja Nomor Kep.115/MEN/VII/2004 tentang Perlindungan Bagi Anak yang Melakukan Pekerjaan untuk Mengembangkan Bakat dan Minat, salah satu poin pentingnya adalah anak mendapat “tempat dan lingkungan kerja yang bebas dari penggunaan narkotika, perjudian, minuman keras, prostitusi, dan hal-hal sejenis yang memberikan pengaruh buruk terhadap perkembangan fisik, mental, dan sosial anak”.
Baca Juga
Pendidikan Seksual dan Kesehatan Reproduksi bagi Anak
Adegan dalam tayangan tersebut jelas tidak sejalan dengan upaya pemberantasan konten pornografi, upaya edukasi masyarakat mengenai bahaya praktik pernikahan anak, dan upaya meminimalisir praktik kekerasan seksual di masyarakat. Pemeran perempun berusia 15 tahun jelas belum mempunyai kematangan berpikir. Wajar jika kemudian publik melayangkan protes keras karena ia harus berperan sebagai istri muda dan ada tendensi terjadi pelecehan seksual pada anak.
Pernikahan Anak Perspektif Islam
Dalam Fikih Anak, Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah menyatakan bahwa usia ideal pernikahan seseorang adalah 21 tahun, dan tidak menganjurkan anak usia 18 tahun ke bawah untuk menikah. Hal ini sejalan dengan spirit UU Perkawinan dalam Pasal 6 ayat (2), bahwa seseorang harus sudah berada dalam usia matang ketika menikah.
Berdasar UU Nomor 16 Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, dalam Ketentuan Pasal 7 setelah mengalami perubahan, diputuskan bahwa “perkawinan hanya diizinkan apabila laki-laki dan perempuan sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun”.
Baca Juga
Benarkah ‘Aisyah Menikah pada Usia Enam Tahun?
Islam sendiri tidak menganjurkan pernikahan anak karena tidak sejalan dengan maqāṣid at-tasyri’ dalam mewujudkan kemaslahatan serta menghindari kemadaratan dan kerusakan. Dalam wacana fikih Islam, ulama madzhab sepakat bahwa berakal (mukallaf) dan baligh merupakan syarat dalam perkawinan, kecuali bila dilakukan oleh walinya. Dalam pandangan umum para fuqaha, pernikahan tidak sah dilakukan kecuali oleh orang yang sudah diperbolehkan mengendalikan urusannya.
Prinsip Monogami dalam Pernikahan
Sinetron tersebut juga cenderung menormalisasi praktik poligami dalam pernikahan. Dalam Islam, prinsip pernikahan adalah monogami. Hal ini sebagaima pesan al-Quran dalam surat an-Nisa ayat 2, 3, dan 129. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim, diceritakan bahwa Nabi saw. melarang Ali bin Abi Thalib untuk melakukan poligami.
“…sesungguhnya putriku adalah darah dagingku, menyusahkannya berarti menyusahkanku, dan menyakitinya berarti menyakitiku,” (HR. Bukhari, Muslim).
Dalam rangka mewujudkan keluarga yang sakinah, poligami tidak menjadi pertimbangan utama. Sebab pada dasarnya, sebagaimana ditegaskan dalam Q.S. an-Nisa’ [4]: 3, manusia sangat sulit untuk bersikap adil. Beberapa mufasir juga menilai bahwa poligami lebih banyak madaratnya daripada manfaatnya bagi keluarga.
***
Dalam konteks itulah, maka praktik normalisasi pelecehan seksual, poligami, dan pedofilia harus dikecam. Apalagi hal tersebut dilakukan oleh industri televisi yang semestinya menjadi media edukasi masyarakat. (sb)