Oleh: Muhammad Azhar
Setelah apa yang terjadi di surga, konflik antara Adam dan Iblis pada episode berikutnya dilanjutkan dengan konflik dua putra Adam, yakni Habil (yang lebih berwajah malaikat) dengan Qabil (yang mewakili perilaku Iblis). Konflik lain juga terjadi antara Nabi Musa (representasi oposisi) yang berhadapan dengan tembok kekuasaan yang tiranik, yaitu Firaun. Ada pula figur Nabi Nuh yang berhadapan dengan kebodohan umat di zamannya.
Konflik lainnya ialah Nabi Yusuf yang justru menghadapi konflik internal keluarga Yakub. Anak-anak Yakub merasa cemburu dengan kehadiran Yusuf. Ada pula konflik politik dan ketauhidan yang dihadapi Nabi Ibrahim terhadap raja Namruz yang ignorance dan pongah. Di zaman Nabi Isa, ia juga mendapatkan perlawanan secara konfliktual dari para pengikut yang memusuhinya.
Demikian pula yang dihadapi Nabi Muhammad saw. yang mengalami konflik perlawanan dari kaum Quraisy, bahkan dari keluarga terdekatnya sendiri. Era pasca-kenabian, para sahabat juga (Umar, Usman, dan Ali) mengalami pembunuhan, di saat mereka sedang memimpin sebuah kekuasaan sebagai amirul mukminin. Bahkan, sahabat terdekat Nabi sendiri (Aisyah, Ali, Thalhah, dan Zubair bin Awwam) terlibat konflik peperangan (perang Jamal) di masanya, yang dinilai sebagai sejarah gelap peradaban Islam awal (Maarif, 2018: 2014).
Baca Juga: Dakwah Nabi Muhammad: Dakwah Multidimensi
Sejarah konflik dan peperangan dalam Islam era berikutnya juga terus berlanjut, yakni era Bani Umayah, Bani Abasiyah, Dinasti Fathimiyah, hingga khilafah Usmaniyah (Ottoman Empire). Pasca-khilafah Usmaniyah, umat Islam menjadi bulan-bulanan sejarah dari konflik dan peperangan hingga dewasa ini: Palestina, Mesir, Irak, Pakistan, Afghanistan, Saudi vs Yaman, Suriah, Sudan, dll.
Demikian pula minoritas Muslim yang menghadapi konflik yang berkepanjangan, seperti Muslim Uighur, Rohingya, Mindanao, Aceh (era ORBA), Patani, dll. Selain konflik peperangan, umat Islam juga menghadapi konflik sektarianisme, seperti Sunni-Syiah, minoritas Ahmadiyah, dll.
Salam, Sulh, Wasatiyyah, dan al-Mizan
Pengertian tentang perdamaian dapat dikembangkan dari beberapa konsep Islam yang terkait dengan konsep damai. Pertama, konsep salam, yakni konsep yang mengandung makna keselamatan, sebagaimana anjuran Nabi agar sesama Muslim hendaknya saling menebarkan salam (afsyu as-salam).
Kedua, konsep sulh yang juga terkait dengan konsep ishlah. Konsep ishlah atau sulh ini umumnya lebih mendekati dengan istilah perdamaian. Islam menganjurkan agar sesama Muslim harus selalu dalam keadaan damai dan hidup harmonis, baik dalam satu keluarga, antar-tetangga, maupun komunitas masyarakat yang lebih luas. Konsep sulh atau ishlah ini juga sering digunakan dalam konteks rekonsiliasi antara dua atau beberapa kelompok yang sebelumnya saling bertikai, bahkan saling bermusuhan antara satu dengan lainnya.
Baca Juga: Dinamika Islamisasi dan Ideologisasi Islam
Ketiga, konsep wasatiyyah atau tawassuth yang mengandung makna pertengahan atau moderasi. Sejauh ini, dunia Islam sudah lama mengenal bahwa umat Islam Indonesia populer sebagai umat dan bangsa yang moderat di muka bumi. Keempat, konsep al-mizan yang mengandung pengertian keseimbangan. Makna keseimbangan di sini bahwa Islam menolak dua pandangan ekstrem atau radikal, baik yang bersifat ekstrem kiri maupun kanan.
Solusi Perdamaian
Pertama, pemerintah bersama kekuatan sipil lainnya, terutama arus besar ormas Islam, perlu melakukan peta potensi konflik serta roadmap solusional dalam berbagai bentuk inisiatif perdamaian. Untuk mengatasi kecemburuan dan kesenjangan sosial di bidang ekonomi, pemerintah dan kekuatan sipil wajib memperluas etos dan program wirausaha.
Masyarakat harus dibiasakan memiliki prinsip hidup “I need”, bukan “I will”; kebiasaan menabung di awal penerimaan gaji; dan berinvestasi untuk masa depan kehidupan yang lebih layak. Selain itu, perlu dikembangkan pola hidup produktif. Aparat desa sebaik mungkin memanfaatkan dana desa secara produktif, bukan konsumtif.
Kedua, pemerintah maupun pihak swasta perlu secara continue melakukan upaya pendeteksian dini terhadap berbagai indikator pemicu konflik, seperti ujaran kebencian (Sindunata, 2019: 2); fenomena hanya percaya pada golongan sendiri; sikap truth claim, provokasi di medsos; economic gap; kejujuran dan keadilan dalam penegakan hukum; adanya potensi kekerasan, terorisme, upaya makar, korupsi, dan tindakan inkonstitusional lainnya.
Hal yang tak kalah pentingnya adalah bahwa Polri harus selalu bertindak adil dan transparan dalam menangani berbagai kasus yang ada. Demikian pula para elit politik dapat memberi contoh kepada masyarakat, terutama para pendukungnya untuk selalu menjalin silaturahmi, walaupun berbeda dalam pilihan politik.
Ketiga, dalam wilayah keluarga, masyarakat, lembaga pendidikan tingkat SMA (Salim, 2011) maupun PT, perlu terus dipantau fenomena gerakan-gerakan yang cenderung menyebarkan virus kebencian dan SARA terhadap kelompok lain yang dianggap berbeda, bahkan seringkali melegalkan konsep takfir. Pemantauan yang sama juga perlu dilakukan pada setiap momen ceramah atau khutbah mimbar keagamaan.
Keempat, secara institusional-informal, berbagai komunitas perdamaian yang sudah ada perlu terus dipertahankan, bahkan diperbanyak lagi pada masing-masing komunitas, seperti Maarif Institute, Pusat Studi Perdamaian UGM, Program akademik Cross Culture and Religious Studies, dan sejenisnya. Pada tataran dunia international ada World Peace Forum dan Pusat Perdamaian di Malaysia.
Baca Juga: Prinsip Hidup Beragama dalam Masyarakat Plural
Kelima, secara kultural, budaya pelagandong, fenomena bangunan gereja yang diubah menjadi masjid di Turki, atau sebaliknya, masjid yang berubah menjadi gereja di Spanyol, Masjid Chengho di Surabaya, maupun masjid di AS yang dapat bekerjasama dengan non-Muslim; semuanya itu dapat menjadi contoh nyata tentang kerukunan antar agama dan kebudayaan.
Keenam, ke depan muslim Indonesia, baik melalui pemerintah maupun Ormas Islam, idealnya melakukan “ekspor” wajah Islam moderat ke negeri-negeri muslim di berbagai belahan dunia, terutama di negara yang rawan konflik. Bukan sebaliknya, malah Muslim Indonesia meng-”impor” konflik dan perang dari Timur Tengah, dll. Secara geografis dan kultural, Islam Indonesia tentu berbeda dengan Islam di Timur Tengah, Asia Selatan, Asia Tengah, Afrika, Islam di Barat, Sino Islam, dll.
Ketujuh, selain cinta Tuhan dan manusia, agama Islam juga mengajarkan umatnya untuk mencintai tanah air di tempat mereka lahir. Bagi umat Islam Indonesia, wajib hukumnya untuk setia pada Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, NKRI, dan UUD 1945, menolak paham kiri (komunis), sekuler, dan dinasti. Bagi Muhammadiyah, Indonesia terikat dengan konsep Darul ‘Ahdi was-Syahadah, mirip konsep al-Watsiqah al-Madinah (Madinah Charter) di zaman Nabi Muhammad saw. Walllahu a’lam bisshawab.