Oleh: Salmah Orbaniyah
Akar berdirinya ‘Aisyiyah tidak dapat dilepaskan kaitannya dari akar sejarah. Spirit berdirinya Muhammadiyah telah mengilhami berdirinya hampir seluruh organisasi otonom yang ada di Muhammadiyah, termasuk ‘Aisyiyah. Sejak mendirikan Muhammadiyah, Kiai Ahmad Dahlan sangat memperhatikan pembinaan terhadap perempuan. Anak-anak perempuan yang potensial dibina dan dididik menjadi pemimpin, serta dipersiapkan untuk menjadi pengurus dalam organisasi perempuan dalam Muhammadiyah.
‘Aisyiyah: Pelopor TK di Indonesia
Pada tahun 1919, dua tahun setelah berdiri, ‘Aisyiyah merintis pendidikan dini untuk anak-anak dengan nama Frobel, yang merupakan Taman Kanak-Kanak pertama yang didirikan oleh bangsa Indonesia. Selanjutnya Taman Kanak-Kanak ini diseragamkan namanya menjadi TK ‘Aisyiyah Bustanul Athfal (TK ABA). Salah satu sosok srikandi ‘Aisyiyah yang dikenal sebagai pelopor berdirinya TK ABA adalah Siti Umniyah.
Taman Kanak-Kanak (TK) merupakan jenjang prasekolah formal di Indonesia. Tahun awal masuknya anak di dunia pendidikan formal merupakan masa yang sangat penting yang menentukan perkembangan ketika dewasa. Oleh karena itu, pengembangan anak usia prasekolah menjadi sangat penting demi mempersiapkan anak-anak dalam memasuki jenjang selanjutnya.
Keberadaan TK ABA merupakan wujud peranan ‘Aisyiyah dalam membangun karakter dasar generasi ke depan. Peran ini akan semakin berkembang lagi ketika para pejuang perempuan ‘Aisyiyah memiliki perhatian yang lebih besar terhadap masalah ini.
Baca Juga
TK ABA: Lembaga Pendidikan Anak Tertua dan Pertama di Indonesia
Terkait pentingnya pendidikan karakter dasar bagi generasi muda ini, kiranya perlu ada program gerakan nasional pengembangan pendidikan dasar, khususnya TK, baik secara kuantitas maupun kualitas. Dan diharapkan peranan ‘Aisyiyah dalam pengembangan dasar bisa bersaing dengan apa yang sudah dilakukan Muhammadiyah untuk level menengah dan pendidikan tinggi. lebih jauh diharapkan ‘Aisyiyah bersama Muhammadiyah mampu memberikan warna yang lebih baik lagi dalam membentuk karakter bangsa.
Perkembangan TK yang begitu menggembirakan jelas tidak lepas dari proses perjuangan ‘Aisyiyah selama ini. Dan lebih jauh lagi akan mengingatkan kita pada sosok srikandi ‘Aisyiyah di awal perjuangan berdirinya TK ABA, yaitu Siti Umniyah.
Profil Siti Umniyah
Siti Umniyah lahir di Kauman, Yogyakarta pada tanggal 29 Agustus 1905. Umniyah adalah putri Kiai Sangidu dari istrinya Siti Jauhariyah (putri Kiai Soleh, kakak ipar Kiai Ahmad Dahlan). Umniyah termasuk murid perempuan yang langsung mendapat didikan dari Kiai Ahmad Dahlan. Pendiri Muhammadiyah ini pula yang menyuruhnya mengenakan kerudung. Saat itu tak banyak perempuan memakai kerudung.
Siti Umniyah termasuk perempuan yang cerdas. Dia pandai berbahasa Arab. Oleh Kiai Ahmad Dahlan, Siti Umniyah dianjurkan sekolah agama, sementara murid perempuan yang lain dimasukkan ke Neutral Meisjes School di Ngupasan. Baik yang sekolah umum ataupun agama, dimaksudkan untuk saling melengkapi dalam proses kaderisasi.
Baca Juga
Siti Umniyah dan Inspirasi dari Boedi Oetomo
Keterlibatan Umniyah sudah nampak terlihat ketika beliau menjadi pimpinan Siswa Praja Wanita (SPW). SPW makin lama makin bertambah aju sehingga mempunyau tambahan gerakan, yaitu Tholabussa’adah, Tajmilul Achlaq, dan Dirasatul Banat, kemudian dapat mendirikan pula Sekolah Bustanul Athfal. SPW kemudian berubah nama menjadi Nasyiatul ‘Aisyiyah.
Terhitung sejak 1914, pasca peralihan jabatan Hoofd penghulu dari Mohammad Khalil Kamaludiningrat kepada Muhammad Kamaludiningrat, gerakan Muhammadiyah mulai memasuki Bangsal Priyayi, karena kantor Penghulu sudah dapat dipergunakan sebagai wadah tabligh atas izin Kiai Sangidu. Sebelumnya, Bangsal Priyayi tidak pernah tersentuh masyarakat awam. Tapi setelah jabatan penghulu dipegang Kiai Sangidu, ia menjadi tempat terbuka bagi umat Islam, bahkan menjadi sentra penggemblengan kader-kader muballigh Muhammadiyah. Di Bangsal Priyayi inilah berlangsung kegiatan belajar khusus untuk anak-anak, tepatnya di awal diselenggarakannya pendidikan khusus anak yang kemudian disebut Busthanul Athfal yang dirintis oleh Siti Umniyah, yang selanjutnya dikenal sebagai TK ‘Aisyiyah Busthanul Athfal.
Setelah Siti Umniyah menjadi ketua SPW, markas SPW yang semula di rumah yang kemudian menjadi cikal bakal musala ‘Aisyiyah, kemudian berpindah ke rumah bagian belakang Siti Umniyah. Awalnya Bustanul Athfal juga berada di rumah depan Siti Umniyah, tapi kemudian berpindah di belakang, menjadi satu dengan markas SPW. Sekolah Bustanul Athfal yang tadinya berlangsung sore hari dipindah pagi hari. Siti Umniyah memimpin SPW hampir 10 tahun, waktu yang cukup lama.
Pendidikan dasar Siti Umniyah ditempuh di SD Muhammadiyah Pawiyatan (1915), sekolah pertama yang didirikan oleh Kiai Ahmad Dahlan. Selanjutnya masuk ke al-Qismul Arqo, sekolah yang melatih kader mubaligh dan guru agama Muhammadiyah. Jumlah muridnya saat itu hanya 10, 4 di antaranya perempuan. Dari 4 murid perempuan, Siti Umniyah satu-satunya yang berhasil menamatkan sekolahnya setelah menikah (1924), sementara 3 lainnya berhenti setelah menikah. Setelah tamat dari al-Qismul Arqo, Siti Umniyah menjadi guru di Madrasah Muallimat Yogyakarta sampai tahun 1954. Pagi mengajar di Muallimat, sorenya mengajar di Tsanawiyah Muhammadiyah.
Perempuan Alim dan Bersahaja
Siti Umniyah juga dikenal dekat dengan remaja. Beliau selalu menasihati para remaja untuk bersikap sopan santun menjaga perilaku yang Islami, misalnya dengan rajin ke masjid. Para remaja jangan sampai terjebak pergaulan yang menyimpang dari agama.
Hal yang luar biasa dari Siti Umniyah lainnya adalah beliau sosok yang gemar bersilaturahim. Biasanya silaturahim dilakukan oleh murid kepada gurunya. Tapi ini dilakukan oleh guru ke murid-muridnya. Bahkan pernah Siti Umniyah mengunjungi muridnya di Sumatera. Sambil bersilaturahim, Siti Umniyah sekaligus melakukan dakwah, baik dakwah kepada yang dikunjunginya maupun masyarakat sekitarnya.
Siti Umniyah juga dikenal sayang dan dekat dengan putra-putri dan cucu-cucunya. Setiap hari, Siti Umniyah selalu membagi vitamin kepada cucu-cucunya. Dan hal yang paling berkesan dari penulis (yang saat itu masih berusia 4 tahun) terhadap Siti Umniyah adalah ketika meninggalnya, beliau mengatakan bahwa akan ada tamu ke rumah sebentar lagi. Ketika kami bukan pintu dan ternyata tidak ada siapa-siapa, maka ketika kami balik lagi ke kamar Siti Umniyah, beliau sudah dipanggil oleh Allah swt, dalam posisi siap dengan tangan bersedekap di dada.
Semoga Siti Umniyah dan para pejuang ‘Aisyiyah yang lain yang sudah mendahuui kita akan mendapat tempat yang layak di sisi Allah swt. Perjuangan mereka akan terus kami lanjutkan sampai kami kelak menutup mata.