Oleh: Adib Sofia
“Tudjimah akan berada di Negeri Belanda selama satu tahun (1967-1968). Beliau pernah menjadi anggota Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah sebagai pengurus Perwakilan Istimewa PP ‘Aisyiyah di Jakarta. Rupanya beliau sangat rindu dengan pembaca Suara ‘Aisyiyah. Maka apa yang berkesan ketika sampai di sana segera disampaikan kepada para pecinta Suara ‘Aisyiyah. Beliau juga akan menulis lain-lainnya kepada kita semua. Semoga berhasillah beliau melaksanakan tugas di Negeri Belanda itu” (Catatan Redaksi Suara ‘Aisyiyah No. 13/14 Tahun 1968 hlm. 8).
Pada tahun 1953, berbagai media massa di Indonesia memuat berita tentang keberangkatan dua putri Indonesia ke Mesir untuk melanjutkan studi. Dua putri itu adalah Siti Baroroh Tamimy (belakang hari dikenal sebagai Siti Baroroh Baried) dan Tudjimah. Kepergian dua perempuan tersebut merupakan suatu prestasi yang luar biasa karena pada masa itu, perempuan yang melanjutkan studi hingga strata yang tinggi jumlahnya sangat sedikit, apalagi hingga ke luar negeri.
Profil Siti Baroroh Baried telah banyak dikenal oleh masyarakat, namun profil Tudjimah tidak banyak diulas. Masyarakat banyak yang tidak tahu bahwa Tudjimah mempunyai kiprah di ‘Aisyiyah. Selain menjadi anggota Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah sebagai pengurus Perwakilan Istimewa PP ‘Aisyiyah di Jakarta, ia juga kontributor masalah internasional di Suara ‘Aisyiyah. Tudjimah aktif menulis tentang kiprah perempuan di Mesir selama ia menempuh studi di Mesir. Ia juga aktif menulis untuk Suara ‘Aisyiyah ketika ia melakukan penelitian di Leiden atas biaya pemerintah Belanda.
Intelektual Berkemajuan
Tudjimah pernah mendapatkan sorotan sebagai perempuan yang melakukan kesetaraan dengan laki-laki dalam dunia akademik setelah ia dikukuhkan sebagai guru besar Universitas Indonesia tahun 1965. Berita tersebut di antaranya muncul di Kompas pada 27 November 1965. Perempuan yang lahir di Kotegede Yogyakarta pada 7 Desember 1922 ini berasal dari keluarga pedagang sekaligus akademisi.
Ia meraih sarjana muda di UGM pada 1950 dan melanjutkan studi di Universitas Indonesia, Jakarta (1950-1953). Tudjimah kemudian memperdalam bahasa Arab di Universitas Kairo, Mesir hingga 1955 dan kembali ke tanah air sebagai pengajar di Universitas Indonesia (sumber: https://www.kompas.id/; PT Penerbitan Universitas Djakarta).
Baca Juga: Mengenal Siti Baroroh Baried, Pelopor Kiprah Internasional ‘Aisyiyah
Ayah Tudjimah adalah seorang pengusaha tenun bernama H. Zaini dan ibunya adalah pedagang bernama Aminah Uzair. Tudjimah melalui pendidikan formalnya di Neutrale Hollands Javanse Meisjes School (1935), kemudian di MULO (1939), HIK Muhammadiyah (1942), dan UGM (1939). Teman seangkatan Tudjimah di antaranya adalah ahli bahasa kenamaan, Slamet Moeljana dan ahli antropologi yang sangat terkenal, Koentjaraningrat. Ia kemudian melanjutkan studi di Universitas Indonesia hingga tingkat doktor (1961) dan dikukuhkan sebagai guru besar UI pada 1965. (Sumber: Apa dan Siapa Sejumlah Orang Indonesia 1985-1986, terbitan Tempo)
Disertasi Tudjimah telah dibukukan dan Suara ‘Aisyiyah memperolehnya dengan judul Asrar al-Insan fi Ma’rifa al-Ruh wa ‘l- Rahman (Rahasia Manusia dalam Pengetahuannya tentang Ruh dan Tuhan). Dalam pengantar buku tertanggal Jakarta, 15 Maret 1960 itu, Tudjimah mengatakan, “…saya mengucapkan banyak-banyak terima kasih kepada Pemerintah Indonesia yang telah mengirimkan saudari Baroroh Baried dengan saya ke Kairo pada tahun 1953-1955 untuk memperdalam pengetahuan kami dalam bahasa Arab, dalam waktu mana kami berkesempatan pula untuk menunaikan rukun Islam yang kelima. Tanpa pelajaran-pelajaran yang saya dapat di negeri Arab ini, tak mungkin saya dapat mengerjakan karangan saya ini.”
Meskipun dalam pengantar Tudjimah menyebut nama-nama orang besar di negeri ini, tetapi pada halaman persembahan, Tudjimah mengatakan buku itu dipersembahkan “kepada ibuku”. Tudjimah menuliskan pada halaman itu al-jannatu tahta aqdamil ummahat ‘surga itu ada di bawah telapak kaki ibu’. Tudjimah yang mendapatkan pelajaran bahasa Arab dari orang tuanya itu juga menulis buku Al-Qur’an dan Ajaran-Ajarannya (1966). Melalui buku-bukunya, Tudjimah terlihat dapat menyambungkan antara tradisi dalam keluarganya dengan keilmuan yang dimiliki.
Pengajar matakuliah Alquran dan Hadis di UI tersebut juga merupakan ahli sejarah Islam. Ia juga menulis buku berjudul Khawaridj (1962), Riwayat Hidup Nuruddin Ar-Raniri (1976), dan Perkembangan Tasawuf di Indonesia (1976). Tudjimah juga menerjemahkan biografi ulama Mesir, yaitu Thaha Husain yang berjudul Masa Muda di Mesir (1976).
Tudjimah tersohor kala itu karena ia tidak hanya menerjemahkan referensi dari bahasa Arab, tetapi juga dari bahasa Belanda. Karya terjemah oleh Tudjimah yang paling terkenal adalah Beberapa Studi tentang Sejarah Islam Indonesia 1900-1950 karya G.F. Pijper. Tudjimah juga menerjemahkan buku Pijper lainnya, yaitu Fragmenta Islamica: Beberapa Studi Mengenai Sejarah Islam di Indonesia Awal Abad XX (1987). Kegigihan mengungkap sejarah Islam tersebut membuatnya sangat dihormati di kalangan intelektual Indonesia yang pada masa itu didominasi oleh laki-laki (sumber: https://alif.id/)
Suara ‘Aisyiyah pernah pula menuliskan penelitian Tudjimah di Negeri Belanda, yaitu tentang pelajaran mistik yang diajarkan oleh Syekh Yusuf dari Makassar yang wafat pada tahun 1699 di Kaap de Goede Hoop (Tanjung Harapan). Naskah-naskah Syekh Yusuf yang ditulis dalam bahasa Arab tersebut banyak tersimpan di Perpustakaan Leiden sehingga Tudjimah harus melakukan penelitian di sana (Suara ‘Aisyiyah, No. 13-14 Tahun 1968, hlm 8).
Pantang Putus Asa
Di tengah perjalanan intelektualnya tersebut, sebenarnya Tudjimah mengalami sakit rabun senja. Akan tetapi, ia tetap menjalankan tugas keilmuannya dengan baik. Pada 1981, Tudjimah kehilangan penglihatannya secara total, tetapi ia masih terus menjalankan aktivitas akademiknya dan terus melakukan penerjemahan terhadap referensi sejarah Islam. Dengan dibantu asisten dan mahasiswa, Tudjimah menjalankan semua seperti saat pengelihatannya masih baik. Ia mendapatkan spirit itu dari Thaha Husain, intelektual Mesir yang karyanya ia terjemahkan, yang juga mengalami kondisi tidak dapat melihat.
Dalam sejarah penerjemahan di Indonesia, Tudjimah termasuk sebagai penerjemah keislaman modern pasca-Perang Dunia II yang kajiannya tidak terpusat di Timur Tengah, tetapi juga ke Asia dan berbagai belahan dunia lainnya (sumber: https://alif.id/).
Sifat yang pantang putus asa ini juga terlihat dalam tulisan Tudjimah di Suara ‘Aisyiyah No. 13/14 Tahun 1968 hlm. 8-9. Ia menggambarkan keadaan kota Leiden dan kebiasaan-kebiasan warga Leiden yang sangat berbeda dengan di Indonesia. Akan tetapi, ia berusaha untuk tetap menunjukkan jati diri sebagai orang Indonesia, di antaranya dengan menggunakan pakaian Indonesia. Pilihannya untuk berbusana Indonesia ini justru mendapat simpati dari warga Leiden dan menghadirkan ingatan manis orang-orang Leiden yang pernah tinggal di Indonesia.
Tudjimah juga menuliskan perlunya untuk tetap beramal saleh walaupun di negeri orang. Di Leiden ia bergabung dengan The International Neighbourgroup, yaitu sebuah perkumpulan yang berupaya memberi pertolongan kepada orang-orang asing. Di organisasi itu Tudjimah banyak mendapatkan manfaat mengenai kehidupan multikultural dan berjejaring dengan para aktivis perempuan dari Amerika, Italia, Jepang, Tionghoa, Jerman, dan sebagainya. Dalam jejaring itu, mereka melakukan banyak aktivitas pelatihan, sosial, dan kebudayaan.
Masih banyak hal tentang kiprah internasional Tudjimah yang dapat digali di luar Suara ‘Aisyiyah. Pembaca dapat melihat pada sejumlah laman dan biografi dalam buku-buku yang ditinggalkan oleh beliau.