Wawasan

Mengenalkan Perubahan Iklim pada Anak Usia Dini

Oleh: Dian Fikriani

Ada sesuatu yang menarik dalam salah satu siaran televisi berita BBC, sebuah media berbasis di London, Inggris. Disebutkan bahwa situasi pandemi Covid-19 seperti sekarang, secara tidak langsung merupakan pengaruh dari perubahan iklim. Pendapat ini diperjelas dengan opini dari Dr. Bernstein di laman Harvard School of Public Health (www.hsph.harvard.edu) yang mengatakan bahwa perubahan iklim berkontribusi terhadap terjadinya pandemi. Salah satunya adalah penggundulan hutan, sebagai satu dari sekian banyak faktor terjadinya perubahan iklim yang terjadi secara masif hampir di seluruh dunia.

Penggundulan hutan terjadi salah satunya dikarenakan untuk kepentingan rumah tangga, seperti kebutuhan minyak untuk memasak, tisu, kertas, dan lain sebagainya. Dr. Bernstein menerangkan bahwa hilangnya habitat asli banyak binatang telah memaksa mereka untuk bermigrasi. Saat bermigrasi, maka ada potensi untuk melakukan kontak dengan manusia dan berbagi virus. Maka dari itu, pandemi apapun di kemudian hari dapat dihindari dengan melakukan tindakan untuk mencegah perubahan iklim secara lebih luas.

Dalam perjanjian Hyogo Framework for Action (HFA) mengenai bencana, isu perubahan iklim yang berkontribusi pada terjadinya bencana sudah dibahas sejak tahun 2005. Meskipun saat itu lebih banyak dibahas mengenai bencana alam, sementara saat ini terdapat kesadaran bahwa perubahan iklim juga berdampak pada terjadinya bencana non alam seperti pandemi. Dalam perjanjian HFA disepakati adanya perhatian terhadap upaya pengurangan risiko bencana (PRB) dan meningkatkan resiliensi (daya lenting/ketangguhan) masyarakat. Salah satu prioritas dari perjanjian internasional ini, yaitu “Menggunakan pengetahuan, inovasi, dan pendidikan untuk membangun budaya aman dan resilien di semua tahapan.”

Hal ini berarti memposisikan pendidikan sebagai salah satu upaya krusial dan penting dalam membangun masyarakat yang sadar bencana karena perubahan iklim, dan mampu membangun resiliensi dalam menghadapi perubahan iklim tersebut. Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) seharusnya juga turut serta berkontribusi karena memiliki peran strategis dalam mengajarkan anak mengembangkan kesadaran isu terhadap lingkungan sejak dini.

Baca Juga: Di Tengah Perubahan Iklim, Apa yang Dapat Kita Lakukan?

Pendidikan pengurangan risiko bencana (PRB) adalah bagaimana membangun kapasitas warga sekolah untuk dapat mengurangi risiko bencana. Hal tersebut tentu akan membangun resiliensi warga sekolah dalam menghadapi bencana. Ketika warga sekolah, terutama anak-anak, diberikan kesempatan untuk berkontribusi pada PRB, maka resiliensi mereka akan tumbuh karena mengetahui mengapa hal ini terjadi dan bagaimana mengatasinya. Ada dua
hal besar yang dapat dilakukan dalam pendidikan PRB yang berkaitan dengan perubahan iklim kepada anak usia dini yakni dengan mengintegrasikan isu perubahan iklim ke dalam kurikulum dan dengan mengajak anak berperan aktif.

Cara pertama, yakni mengintegrasi isu perubahan iklim ke dalam kurikulum. Anak usia dini perlu ditunjukkan fakta mengenai perubahan iklim sehingga mereka mengetahui pentingnya menjaga lingkungan. Hal ini dapat dimasukkan ke kurikulum yang ada melalui tema yang diberikan menggunakan beragam metode, seperti bercerita, membuat sebuah proyek bersama, STEAM (Science, Technology, Engineering, Art, and Math), dan lain-lain.

Ketika memilih metode bercerita, guru pertama kali harus memilihkan sebuah buku mengenai hubungan antara perusakan lingkungan dengan perubahan iklim serta dampaknya terhadap kehidupan manusia. Misalnya, buku yang bercerita mengenai hewan-hewan yang sudah langka ditemui, kemudian menghubungkannya dengan hilangnya habitat asli mereka karena perusakan lingkungan (hutan digunduli) atau perubahan cuaca (kutub yang mencair dan kekeringan).

Sementara kegiatan STEAM dapat dilakukan dengan mengajak anak untuk mengamati lingkungan, hewan apa saja yang hidup di sekitar rumah mereka secara alami. Anak diminta untuk berjalan-jalan ke sawah atau mengamati pohon-pohonan, minta mereka untuk identifikasi binatang yang ditemui, seperti burung dan cacing. Anak kemudian diminta untuk membuat karya menggunakan bahan-bahan yang ditemui untuk membuat replika binatang dan habitatnya. Setelah itu, guru dan anak dapat berdiskusi untuk membahas pentingnya habitat asli binatang tetap ada.

Anak juga harus dibantu untuk mengambil peran dalam mengurangi dampak perubahan iklim. Misalnya dengan memberikan pemahaman pentingnya pemilahan sampah di rumah. Kemudian ajak mereka untuk mengubur sampah plastik dan sampah kertas dibantu dengan orang tuanya. Setelah seminggu, anak diminta untuk menggalinya dan melihat apakah sampah yang mereka kubur sudah terurai atau belum. Setelah itu, anak dapat diajak berdiskusi dampak yang dapat terjadi jika sampah susah terurai di tanah.

Dari beberapa contoh di atas, tekankan kepada anak bahwa tindakan kita sehari-hari akan berpengaruh terhadap manusia, tanaman, dan hewan di bumi ini. Dorong mereka untuk dapat berkontribusi menjaga bumi ini tetap sehat.

*Konsultan Independen untuk Pendidikan Anak Usia Dini

Related posts
Berita

Anak Muda Muslim Responsif Terhadap Dampak Perubahan Iklim

Yogyakarta, Suara ‘Aisyiyah – Dampak perubahan iklim menjadi isu penting saat ini. Dampaknya sudah dirasakan seperti cuaca ekstrem, suhu panas udara yang…
Berita

GreenFaith Bangun Kesadaran Komunitas Agama di Indonesia Beraksi untuk Keadilan Iklim

Jakarta, Suara ‘Aisyiyah – Krisis iklim yang melanda dunia saat ini membutuhkan lebih banyak lagi orang-orang dan organisasi yang peduli, kritis, dan…
Berita

Majelis Kesehatan PP Aisyiyah Gelar Seminar Perubahan Iklim

Yogyakarta, Suara ‘Aisyiyah – Majelis Kesehatan PP ‘Aisyiyah gelar seminar perubahan iklim, peran perempuan, dan kesehatan untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang tangguh,…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *