Oleh: Syukriyanto A.R.
Siti Badilah adalah putri H. Muh (nama lengkapnya Haji Muhammad), seorang pedagang batik (batik handel) di Kauman. Ibunya, Nyai H. Muh, adalah putri K.H. Ja’far, yaitu adik K.H. Hisyam (Ketua Muhammadiyah setelah K.H. Ibrahim), juga adik ipar K.H. Fachroddin (Wakil Ketua Muhammadiyah periode K.H. Ibrahim dan periode K.H. Hisyam) dan kakak K.H. Tamim Ad-Dary (anggota Pengurus Muhammadiyah saat berdiri).
Ia dilahirkan tahun 1904. Saudara-saudaranya antara lain St. Umiyah (Ny. H. Nawawi, Kudus), St. Wardhiah (salah satu pengurus rubrik Soeara ‘Aisjijah), St. Zahariyah, H. Djili (guru dan santri aktif pengajian Malam Selasa), Wadjiz (pemain sepak bola HW yang piawai), dan Hanan (Serma Purn).
Sebelum menikah dengan Nyai. H. Muh binti H. Ja’far, Haji Muh sudah pernah menikah dengan St. Maimunah binti Kiai Edris (Penghulu Puro Pakualaman). Dari pernikahan Haji Muh dengan St. Maimunah, lahir dua orang putri yaitu St. Wagiyah (meninggal masih kecil) dan St. Asmah. Setelah mempunyai dua orang putri, Haji Muh kemudian berpisah (bercerai) dengan Siti Maimunah.
Siti Asmah binti Haji Muh kemudian menikah dengan H. Tamim Ad-Dary bin Ja’far, adik K.H. Hisyam. Pasangan ini dikaruniai putra-putri, antara lain H. Daris Tamim (pernah menjadi Bendahara PP Muhammadiyah), H.M. Djindar Tamimy (berkali-kali menjadi Sekretaris PP Muhammadiyah), dan St. Baroroh Baried (Ketua PP ‘Aisyiyah sejak 1967-1971).
Baca Juga: Siti Badilah Zubair: Mubalighat Tiga Zaman
Sementara itu, setelah bercerai dengan H. Muh, St. Maimunah kemudian menikah lagi dengan Kiai Fakhrudin, bukan K.H. Fachroddin Wakil Ketua Muhammadiyah tetapi Kiai Fakhruddin Penghulu Pakualaman asal Adikarto, Kulon Progo, yang sehari-hari dikenal dengan panggilan akrab Kiai Imam Puro atau Mbah Imam Puro.
Pasangan ini dikaruniai sembilan orang putra-putri, yaitu Waqi’ah, Ummi Rahmah, Zuhriyah, Badingah, Slamet, Abdurrazaq, Djakfar, Hadi, Rowani, dan Lukman. Abdurrazaq adalah AR Fakhruddin (panggilan akrabnya Pak A.R.). Karena itu Pak AR sering mengatakan bahwa beliau masih saudara lain ayah dan lain ibu dengan Siti Badilah Zuber.
Cerdas dan Disiplin
Siti Badilah adalah salah satu dari tiga gadis Kauman yang disekolahkan di Neutraale Lagere Meijes School (NMS) di Ngupasan. Di sekolah, ia termasuk murid yang rajin, berani, dan berhasil. Ia menguasai bahasa Belanda dan dapat berbahasa Belanda secara aktif.
Suatu hari Badilah menerima rapor dan ada mata pelajaran yang mendapat angka merah. Padahal Badilah merasa menguasai mata pelajaran tersebut dan dapat mengerjakan ujian dengan baik. Oleh karena itu, Badilah mencoba menanyakan kepada guru yang mengajar mata pelajaran tersebut. Ternyata betul, guru tersebut keliru saat memasukkan nilai ujian ke dalam rapor karena tertukar dengan nilai murid yang lain.
Setelah menyelesaikan pendidikan di NMS, St. Badilah melanjutkan ke MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderweijs, sekolah menengah pertama, SLP). Karena itu Siti Badilah sangat menguasai bahasa Belanda.
Baca Juga: Sejarah ‘Aisyiyah: Kelahiran Perempuan Muslim Berkemajuan
Penguasaan ilmu agama ia peroleh dari pengajian (terbatas) Wal ‘Ashri yang diasuh langsung oleh K.H. Ahmad Dahlan setiap habis Maghrib di Langgar Kidul. Pengajian ini kemudian dikenal dengan nama Maghribi School . Murid pengajian ini terbatas dan terdaftar karena pengajian ini merupakan pengajian yang disiplin. Selain itu, ia juga banyak membaca buku, baik berbahasa Jawa, bahasa Melayu, maupun bahasa Belanda.
Menjadi Pimpinan ‘Aisyiyah
Barangkali karena kedisiplinannya, oleh K.H. Muchtar, K.H. Fachruddin, dan yang lain-lain, Badilah ditunjuk sebagai sekretaris saat pertama kali dibentuk ‘Aisyiyah. Saat itu umurnya baru sekitar 13 tahun. Sejak itu, ia selalu terpilih dan terus-menerus duduk dalam kepengurusan ‘Aisyiyah.
Ia tidak masuk dalam kepengurusan ‘Aisyiyah hanya ketika mendapat tugas menjadi guru di Bintuhan, Bengkulu Selatan. Ia dibenum atau diangkat sebagai anak panah Muhammadiyah ke Bengkulu Selatan (1930), menjadi guru selama sekitar hampir satu tahun. Selama bertugas sebagai guru di Bintuhan, Badilah sangat aktif mengisi pengajian dan menggerakkan Muhammadiyah-‘Aisyiyah. Ia juga sering berdakwah sampai di luar Bintuhan, antara lain sampai ke Liwa.
Setelah pulang dari Bengkulu, Badilah terus menerus terlibat di Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah dan paling sering dipercaya sebagai sekretaris. Ia pernah menjabat sebagai Ketua PP ‘Aisyiyah sebanyak tiga kali, yaitu pada Muktamar Muhammadiyah ke-29 terpilih sebagai Ketua untuk periode 1941-1943. Pada Muktamar Muhammadiyah ke-31 tahun 1951 di Yogyakarta terpilih lagi sebagai ketua periode 1951-1953. Kemudian pada Muktamar ke-32 di Purwokerto tahun 1953 beliau terpilih kembali sebagai ketua untuk periode 1953-1956.
Pada tahun 1962-1965, pada masa periode H. M. Junus Anis, Badilah menjadi salah satu dari empat anggota perempuan PP Muhammadiyah. Keempat anggota perempuan PP Muhammadiyah itu ialah Siti Baroroh Baried, Siti Hayinah Mawardi, Siti ‘Aisyah Hilal, dan Siti Badilah Zuber.
Bertemu Bung Karno
Siti Badilah Zuber pernah bercerita, ketika ibu kota Indonesia berada di Yogyakarta, dan Bung Karno tinggal di Gedung Agung atau Gedung Negara, Bung Karno pernah memanggil ibu-ibu ‘Aisyiyah ke Gedung Agung. Hadir waktu itu Siti Aisyah Hilal, Siti Hayinah Mawardi, dan Siti Badilah Zuber.
Dalam pertemuan tersebut, Bung Karno meminta agar ibu-ibu ‘Aisyiyah mengajak Fatmawati ikut dalam kegiatan ‘Aisyiyah. Sebab ayahnya, Hasan Din, adalah pimpinan Muhammadiyah di Bengkulu. Sedangkan Ibunya, St. Hadijah, adalah pimpinan ‘Aisyiyah Bengkulu.
Fatmawati sendiri merupakan aktivis Nasyiatul Aisyiyah saat remaja di Bengkulu. Tetapi karena saat itu Fatmawati sedang mempunyai putri kecil, Megawati, ia tidak dapat terlibat dalam kegiatan ‘Aisyiyah, maka Ibu-ibu ‘Aisyiyah yang berkunjung ke Gedung Agung. Dalam salah satu kunjungannnya ke Gedung Agung tersebut, Fatmawati bercerita bahwa ketika menjahit bendera merah putih, ia selalu bersenandung lagu Nasyiahku Sayang. Lagu favoritnya semasa dia masih aktif di NA semasa remaja di Bengkulu.
Nantinya, saat Badilah tidak lagi duduk dalam kepemimpinan ‘Aisyiyah, ia tetap aktif mengisi pengajian, khususnya di daerah Kotabaru. Salah satu pesan Badilah Zuber adalah bahwa memuliakan tamu itu wajib. Akan tetapi kalau kita bertamu, kita harus tahu diri. Jangan lama-lama, karena barangkali tuan rumah itu lelah atau punya acara tertentu sedangkan tidak mungkin menyuruh pulang tamunya.
Kenang-Kenangan dari Kiai Ahmad Dahlan
Selain itu, terdapat beberapa kenang-kenangan dan pelajaran yang dapat diambil dari Siti Badilah Zuber tentang Kiai Dahlan, antara lain: pertama, Kiai Dahlan adalah seorang ulama sekaligus pendidik. Orangnya sabar tetapi disiplin, telaten, kreatif, dan selalu mengenali muridnya dengan baik.
Ketika memahamkan Islam dan dakwah kepada murid-muridnya, antara satu murid dengan murid yang lain tidak selalu sama, tetapi berbeda-beda. Tergantung murid yang dihadapi. Kepada anak yang cerdas, Kiai Dahlan terkadang cukup menyampaikan pokok-pokoknya saja, lantas muridnya diminta mengembangkan sendiri. Kepada mereka ini, kadang-kadang diajukan pertanyaan dan disuruh mencari jawabannya sendiri guna menggugah cara berpikirnya. Kepada murid yang tidak cepat memahami, Kiai Dahlan selalu mengulang dengan sabar dan telaten hingga muridnya paham.
Baca Juga: Fonds-Dachlan: Program Internasional Pertama Muhammadiyah
Kedua, Kiai Dahlan selalu menganjurkan kepada murid-muridnya untuk berani tampil di depan umum untuk berpidato, berceramah, dan berdakwah. Juga mendorong muridnya berani berbeda dengan paham di lingkungannya, dengan catatan pahamnya itu benar.
Biasanya, jika Kiai Dahlan akan mengisi pengajian untuk berdakwah, ia selalu mengajak murid-muridnya dua atau tiga orang. Dalam pengajian tersebut, murid-muridnya diminta berbicara terlebih dulu atau dalam istilah sekarang semacam kultum. Setelah itu, biasanya Kiai Dahlan kemudian menjelaskan. Kepada murid-murid yang cerdas dan kendel (berani), Kiai segaja tidak memberi tahu terlebih dulu tetapi langsung ditunjuk atau ditugasi. Tetapi kepada murid yang kurang cerdas dan kurang kendel, Kiai Dahlan akan memberi tahu, meminta untuk membuat persiapan, dan selalu berlatih.
Ketiga, Kiai Dahlan selalu menganjurkan kepada murid-muridnya agar selalu mengamalkan ajaran agama yang sudah diketahui sebagai amal saleh. Keempat, Kiai Dahlan juga selalu menganjurkan kepada murid-muridnya untuk selalu rajin membaca, berani dan rajin bertanya, rajin ‘kulakan’ ilmu-ilmu di pengajian-pengajian, dan bergaul dengan orang sebanyak mungkin tanpa membeda-bedakan status sosial, suku, dan agamanya, serta mengambil pelajaran dari pergaulannya itu.