Sejarah

Mengenang Peristiwa 18 Agustus 1945

Sidang PPKI 18 Agustus 1945
Sidang PPKI 18 Agustus 1945

Sidang PPKI 18 Agustus 1945 (foto: rri.co.id)

Ketika memproklamirkan diri sebagai negara yang merdeka pada 17 Agustus 1945, Indonesia sebenarnya belum mempunyai dasar negara yang disepakati. Baru pada 18 Agustus 1945, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang diketuai oleh Soekarno dan Moh Hatta sebagai wakil ketua melaksanakan sidang untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden Indonesia sekaligus menyepakati perubahan rumusan dasar negara Pancasila.

Sebelumnya, Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang diketuai Radjiman Wedyodiningrat telah merumuskan beberapa aspek dasar kenegaraan, baik itu bentuk negara, batas negara, maupun dasar negara. Ahmad Syaffi Maarif (2006) mencatat, hampir seluruh anggota BPUPKI sepakat bahwa bentuk negara yang cocok untuk bangsa Indonesia adalah Republik. Hanya saja, muncul dikotomi pendapat ketika menyangkut dasar negara.

Pendapat pertama disuarakan oleh kelompok nasionalis Islam, sedangkan pendapat kedua disuarakan oleh kelompok nasionalis sekuler. Perdebatan antara kedua kelompok ini berlangsung sengit dan alot. Perdebatan itu menyangkut dasar negara Indonesia dan kemudian narasi dalam sila pertama Pancasila.

Dalam Piagam Jakarta yang disepakati pada 22 Juni 1945, narasi sila pertama berbunyi “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Dengan bunyi sila tersebut, secara otomatis Islam merupakan dasar negara Indonesia.

Jika demikian yang terjadi, sebagaimana “ketakutan” dalam pidato Soepomo pada 31 Mei 1945, “tentu akan timbul soal-soal “minderheden”, soal golongan agama yang kecil-kecil, golongan agama Kristen dan lain-lain… golongan-golongan agama itu tentu tidak bisa mempersatukan dirinya dengan negara” (Yudi Latif, 2014).

“Menyempurnakan” Dasar Negara

Salah satu agenda dalam rapat PPKI pada 18 Agustus 1945 di Gedung Pancasila Pejambon adalah untuk menyepakati dasar negara yang “belum sempurna” itu. Salah seorang yang keukeuh mempertahankan narasi sila pertama hasil kesepakatan Piagam Jakarta adalah Ki Bagus Hadikusumo. Diceritakan, Bung Karno sampai meminta Kasman Singodimejo selaku kawan perjuangannya di Muhammadiyah untuk “melobi” Ki Bagus Hadikusumo agar menerima perubahan narasi sila pertama demi kebaikan bersama.

Waktu itu, pertaruhannya memang berat. Kelompok non-Islam mengancam tidak akan bergabung dengan Indonesia apabila negara baru ini menjadikan Islam sebagai dasar negara. Mereka akan mendirikan negara sendiri. Tentu saja, jika hal itu terjadi, kesatuan dan persatuan bangsa Indonesia yang telah dirajut lama akan pudar, dan kemerdekaan yang susah payah diraih akan menjadi sia-sia.

Akhirnya, setelah berdiskusi panjang, disepakatilah perubahan narasi sila pertama Pancasila. Sila pertama yang awalnya berbunyi “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” diganti “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Perubahan ini mengundang respons yang beragam.

Baca Juga: Negara Pancasila sebagai Darul Ahdi Was Syahadah

Oleh sebagian umat Islam, perubahan narasi dalam sila pertama ini dianggap sebagai “kekalahan politik”. Akan tetapi, oleh Alamsjah Ratu Perwiranegara, perubahan itu dinilai merupakan “hadiah umat Islam kepada bangsa dan kemerdekaan Indonesia demi menjaga persatuan” (Maarif, 2006).

Indonesia merupakan negara yang multikultur, multiagama, multietnis, dan multibudaya. Perubahan narasi sila pertama Pancasila itu merupakan upaya untuk menghilangkan/meminimalisir bias perbedaan-perbedaan itu. Pada akhirnya, nilai-nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan bangsa, permusyawaratan, dan keadilan tetap menjadi pandangan hidup yang dicita-citakan bangsa Indonesia.

Pancasila sebagai Konsensus Nasional

Meminjam istilah Nurcholish Madjid, Pancasila adalah common platform bangsa Indonesia. Ia merupakan pemersatu beragam kultur, agama, etnis, dan budaya masyarakat Indonesia. Sementara itu, menurut Muhammadiyah, Pancasila merupakan darul ‘ahdi wa asy-syahadah.

“Pancasila merupakan hasil konsensus nasional (dar al-‘ahdi) dan tempat pembuktian atau kesaksian (dar al-syahadah) untuk menjadi negeri yang aman dan damai (dar al-salam) menuju kehidupan yang maju, adil, makmur, bermartabat, dan berdaulat dalam naungan ridla Allah Swt” (Muhammadiyah, 2015).

Selain perubahan sila pertama Pancasila itu, ada tiga keputusan penting dalam rapat PPKI I itu. Pertama, mengesahkan UUD 1945 sebagai dasar konstitusi negara Indonesia. Kedua, mengangkat Presiden dan Wakil Presiden Indonesia, yaitu Soekarno dan Moh Hatta. Ketiga, membentuk Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) untuk membantu pemerintah. (bariqi)

Related posts
Tokoh

Kisah Ki Bagus Hadikusumo Menolak Sai Kirei

Oleh: Mu’arif* Pemerintah kolonial Belanda menyerah tanpa syarat kepada Tentara Jepang (Dai Nippon) lewat perjanjian tertanggal 8 Maret 1942 di Kalijati, Jawa…
Berita

Muhadjir Effendy Jadi Inspektur Upacara HUT Ke-77 RI di Pondok Pesantren Al-Mukmin Ngruki

Sukoharjo, Suara ‘Aisyiyah – Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) Republik Indonesia, Muhadjir Effendy menjadi Inspektur Upacara Hari Ulang Tahun…
Berita

HUT Ke-76 RI, Haedar Nashir: Tidak Ada Bangsa yang Maju di Atas Puing Perpecahan

Yogyakarta, Suara ‘Aisyiyah – Mewakili seluruh elemen Persyarikatan Muhammadiyah, Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Haedar Nashir menyampaikan Dirgahayu Republik Indonesia. Haedar mengungkapkan,…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *