Oleh: Sirajuddin Bariqi
Judul Buku : Pak A.R. & Jejak-jejak Bijaknya
Penulis : Haidar Musyafa
Tebal : 460 Halaman
Penerbit : Imania, Bandung
Cetakan : I, April 2020
ISBN : 978-602-7926-54-7
Abdur Razak Fachruddin –atau yang lebih dikenal dengan Pak AR—adalah representasi ulama yang disegani masyarakat luas. Ia dicintai dan dihormati oleh berbagai kalangan agama, suku, dan golongan. Sosoknya ibarat oase di padang gersang.
Metode dakwahnya yang santai dan seringkali diselingi guyon memberi kesejukan bagi pendengarnya. Pak AR memang dikenal piawai mengemas bahan dakwah yang berat dengan bahasa yang ringan. Guyonan-nya selain membuat suasana pengajian lebih hidup, juga membuat materi dakwahnya mudah diterima berbagai kalangan masyarakat.
Apa yang dilakukan Pak AR merupakan manifestasi dari sabda Nabi Saw, “ra’su-l-aqli ba’da al-īmāni billāhi at-tawaddudu ila an-nāsi”. Bahwa puncak dari akal setelah beriman kepada Allah swt. adalah memberikan kasih sayang kepada manusia. Keimanan Pak AR dimanifestasikan dalam laku cinta dan kasih.
Meski laku cinta kasihnya pada masyarakat tulus dan melimpah-ruah, ada juga orang yang menaruh prasangka buruk dan kebencian. Ada yang membatasi ruang gerak dakwah Pak AR, bahkan ada yang hendak membunuh Pak AR dengan menaburkan racun di makanannya.
Baca Juga: Profil Kiai Ahmad Dahlan: Pikiran dan Gerakan yang Melampaui Zaman
Kejadian-kejadian buruk yang menimpa dirinya tidak lantas membuat Pak AR menjadi pendendam. Ia dengan tulus memaafkan orang yang berbuat salah padanya. Pengabdiannya kepada masyarakat tulus tanpa tedeng aling-aling.
Pengabdiannya yang tulus itulah yag membuat Pak AR dipercaya untuk memimpin Muhammadiyah selama 22 tahun. Selama menjabat, Pak AR menghindari menggunakan fasilitas persyarikatan untuk kepentingan pribadi. Tidak jarang ia harus naik turun bus dengan uang pribadi untuk menghadiri undangan di berbagai daerah.
Sikap Pak AR yang tidak mau ‘mengambil untung’ ini pernah ditanyakan Fauzi, anaknya. Haidar menceritakan, suatu hari Pak AR membawa uang dengan jumlah yang besar. Ia lantas meminta Sukriyanto dan Fauzi untuk memasukkan uang ke amplop yang sudah diberi nama. Ketika uang habis tidak bersisa, Fauzi bertanya kepada bapaknya berapa bagian yang didapat. Mendapat pertanyaan itu, Pak AR menjawab bahwa ia tidak mendapat bagian sepeserpun. Mendengar itu, Fauzi lantas bergumam, “huh, talang kok ora teles!” Dan dengan santai Pak AR menjawab, “ya ben, wong talang plastik, kok!” (hlm. 378-379).
Ke-zuhud-an Pak AR memang tidak perlu diragukan lagi. Ia tidak tergila-gila dengan kemewahan dunia. Ia bahkan tidak meninggalkan harta warisan kepada anak-anaknya. Alih-alih meninggalkan warisan harta, Pak AR lebih memilih mewarisi ilmu dan pekerti yang santun. Baginya, ilmu lebih utama daripada harta.
Baca Juga: Kesalehan Jenderal Sudirman
Banyak cerita Pak AR yang jarang didengar publik yang ditulis Haidar dalam buku ini. Haidar mengumpulkan fragmen-fragmen kehidupan Pak AR yang selama ini tercecer. Total ada 54 bagian cerita yang ditulis secara kronologis, mulai dari keluarga, pendidikan, rekam jejak keulamaan, serta pengabdiannya untuk persyarikatan, umat, dan bangsa. Haidar menulisnya dengan bahasa yang ringan. Pembaca tidak harus mengerutkan dahi untuk dapat memahami dan mengambil pelajaran dari jejak-jejak bijak Pak AR.
Informasi dalam buku ini selain digali dari berbagai buku juga didapat melalui wawancara tokoh dan keluarga dekat. Keseriusan dan kejelian Haidar dalam menggali informasi seputar Pak AR itulah yang menempatkan buku ini sebagai karya biografi Pak AR terlengkap. Buku yang berisi laku dan petuah bijak Pak AR ini layak dibaca di tengah situasi sosial-politik-keagamaan yang kaku, tegang, kalut, dan gersang.