Kesehatan

Mengurai Tabu, Meneguhkan Martabat: Refleksi Hari Kesehatan Seksual Sedunia

Oleh: Hana Mufidatul Roidah*

Setiap 4 September, dunia memperingati Hari Kesehatan Seksual Sedunia (World Sexual Health Day) yang pertama kali digagas oleh World Association for Sexual Health (WAS) pada 2010.

Tahun 2025, tema yang diangkat adalah “Sexual Justice: What Can We Do?”, sebuah seruan global untuk menegakkan keadilan seksual dengan memastikan akses yang setara terhadap informasi, layanan kesehatan, serta perlindungan dari diskriminasi.

Di Indonesia, isu kesehatan seksual masih sering dianggap tabu. Padahal, data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) menunjukkan bahwa sepanjang 2023 terdapat lebih dari 27 ribu kasus kekerasan yang dilaporkan melalui SIMFONI PPA, mayoritas menimpa perempuan dan anak.

Kasus-kasus tersebut mencakup kekerasan seksual, fisik, maupun psikis. Fakta ini menegaskan bahwa hak seksual dan reproduksi masih rentan dilanggar, sementara akses pada edukasi dan perlindungan sering kali terbatas.

Selain itu, maraknya konten digital yang tidak terkontrol menghadirkan tantangan baru. Remaja bisa dengan mudah mengakses informasi yang keliru atau berbahaya. Karena topik ini dianggap tabu di keluarga dan sekolah, mereka kerap mencari jawaban dari sumber yang tidak kredibel.

Akibatnya, risiko terjerumus pada perilaku berisiko semakin tinggi. Oleh karena itu, pembicaraan tentang kesehatan seksual justru menjadi kebutuhan mendesak yang harus dikelola dengan bijak, santun, dan sesuai nilai-nilai agama serta budaya bangsa.

Perspektif Islam: Seksualitas sebagai Ibadah dan Tanggung Jawab

Islam memandang isu seksual bukan sekadar persoalan biologis, melainkan bagian dari ibadah, etika, dan tanggung jawab sosial. Al-Quran menekankan pentingnya menjaga kehormatan diri (hifz al-‘irdh) serta melarang segala bentuk eksploitasi tubuh maupun perbuatan yang merugikan orang lain. Rasulullah saw. memberikan panduan praktis yang relevan hingga kini.

Dalam hadis riwayat Bukhari dan Muslim, beliau bersabda: “Wahai para pemuda, barangsiapa di antara kalian mampu menikah, maka menikahlah. Sesungguhnya menikah itu lebih menundukkan pandangan dan lebih menjaga kemaluan. Dan barangsiapa yang belum mampu, maka hendaklah ia berpuasa, karena puasa dapat menjadi pengendali baginya.”

Baca Juga: Pendidikan Seksual Bukan Hal Tabu

Hadis ini mengajarkan bahwa kesehatan seksual tidak hanya tentang menahan diri, tetapi juga mengelola dorongan dengan cara yang sehat dan sesuai syariat. Pendidikan yang benar baik mengenai adab maupun kesehatan reproduksi menjadi benteng penting agar generasi muda tidak terjebak dalam perilaku berisiko.

Dengan perspektif Islam, isu kesehatan seksual bisa dipahami bukan sebagai hal vulgar, tetapi sebagai bagian dari menjaga kehormatan, martabat, dan keberlanjutan kehidupan manusia.

Peran ‘Aisyiyah: Merawat Martabat dan Keadilan Kesehatan

Sebagai organisasi perempuan yang telah berdiri lebih dari satu abad, ‘Aisyiyah memainkan peran strategis dalam membangun kesadaran kesehatan di masyarakat. Melalui jaringan sekolah, klinik, rumah sakit, dan komunitas akar rumput, ‘Aisyiyah menjadikan dakwah kesehatan sebagai wujud nyata komitmen Islam Berkemajuan.

Program-program ‘Aisyiyah, seperti penyuluhan keluarga sakinah, pendidikan kesehatan reproduksi remaja, hingga advokasi perlindungan perempuan dan anak, menjadi contoh bagaimana isu yang kerap dianggap tabu bisa diangkat secara santun dan sesuai dengan nilai Islam.

Dalam Konsolidasi Nasional Majelis Kesehatan Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah pada Agustus 2025 lalu, ditegaskan pentingnya memperkuat kepemimpinan tangguh untuk mempercepat dakwah kesehatan yang inklusif. Hal ini mencakup isu-isu sensitif seperti stunting, kesehatan ibu-anak, serta perlindungan dari kekerasan seksual.

Pendekatan komunitas yang digunakan ‘Aisyiyah membuat pesan dakwah lebih mudah diterima. Isu kesehatan seksual, misalnya, dibicarakan dalam bingkai keluarga dan masyarakat, bukan sekadar dalam ruang medis. Dengan cara ini, ;Aisyiyah tidak hanya menjaga kesehatan fisik, tetapi juga merawat martabat, keadilan, dan keberlanjutan generasi.

Hari Kesehatan Seksual Sedunia seharusnya tidak dipandang sebagai agenda Barat semata, melainkan momentum refleksi universal tentang pentingnya menjaga tubuh, martabat, dan hak manusia. Bagi umat Islam di Indonesia, isu ini bisa dibicarakan secara sehat dan bertanggung jawab dengan berpijak pada nilai agama dan budaya luhur bangsa.

‘Aisyiyah telah membuktikan bahwa dakwah bisa hadir dalam bentuk pelayanan kesehatan, pendidikan reproduksi, hingga advokasi sosial. Dengan pendidikan yang benar, layanan yang adil, dan dukungan komunitas, generasi mendatang akan tumbuh lebih terlindungi.

Pada akhirnya, menjaga kesehatan seksual bukan hanya urusan medis, melainkan juga perjuangan sosial, budaya, dan spiritual demi keadilan yang hakiki.

*Mahasiswa Ilkom UNISA Yogyakarta dan Jurnalis Magang Suara ‘Aisyiyah

Related posts
KesehatanPendidikan

Pendidikan Seksual Bukan Hal Tabu

Di Indonesia, pendidikan seksual masih dianggap sebagai hal yang tabu. Ketika diwawancarai Suara ‘Aisyiyah, Masroer dari Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) menjelaskan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *