Liputan

Menjadi Inklusif melalui Ruang Perjumpaan Kelompok yang Berbeda

insklusif

“Menjadi Indonesia artinya bersepakat untuk menerima segala perbedaan yang ada. Menjadi Indonesia itu bukan menerima satu agama, etnis, atau golongan tertentu saja, tetapi menerima pluralitas atau keberagaman”. (Dwi Rubiyanti Kholifah)

***

Masyarakat Indonesia umumnya menyadari bahwa persatuan dan perdamaian merupakan situasi yang penting untuk diwujudkan di dalam kehidupan beragama dan berbangsa. Keinginan untuk dapat hidup berdampingan dan damai adalah situasi yang diinginkan oleh banyak orang, terutama oleh mereka yang pernah mengalami konflik. Pernyataan tersebut disampaikan Dwi Rubiyanti Kholifah dari AMAN (The Asian Muslim Action Network).

Meski begitu, tidak dapat dimungkiri bahwa ada sekelompok orang yang menerapkan gaya hidup eksklusif di masyarakat. Sikap eksklusif tersebut –yang tidak jarang disebabkan oleh pemahaman yang kaku dan keliru terhadap teks keagamaan—berpotensi memecah belah masyarakat. Menurut perempuan yang akrab disapa Ruby ini, fenomena eksklusifisme dalam beragama di Indonesia semakin menguat pasca peristiwa reformasi pada tahun 1998.

Dalam hal ini, masyarakat Indonesia, terutama yang tinggal di daerah perkotaan, menjadi kelompok masyarakat yang cukup rentan terbawa arus eksklusifisme beragama. Pasalnya, banyak di antara mereka yang berharap dapat menyelami pengalaman spiritual atau hidup secara Islami, tetapi pada waktu yang bersamaan mereka tidak mempunyai guru yang mempunyai sanad keilmuan yang jelas.

Ruby menyadari bahwa memang tidak setiap orang yang terjebak dalam eksklusifisme beragama sadar bahwa pemahaman dan sikap keagamaannya berpotensi menciptakan riak di masyarakat. Sebab menurutnya, “mereka hanya ingin hidup secara Islami dan mereka hanya melakukan apa yang diketahui”.

Minim Pemahaman dan Pengalaman

Bagi Ruby, menjadi orang Indonesia sudah merupakan identitas yang dapat menyatukan orang dari agama, suku, atau golongan yang berbeda. Identitas ke-Indonesia-an itulah yang menurutnya akan menghubungkan antara satu orang dengan orang lain.

Berbeda dengan identitas ke-Indonesia-an, dari pengalaman Ruby, identitas keagamaan lebih berpotensi melahirkan konflik horizontal di masyarakat. Hal ini mengingat di masing-masing agama terdapat ajaran yang berpotensi dipahami secara eksklusif oleh pemeluknya. Agama Islam, misalnya, secara substantif mengajarkan pemeluknya untuk menghormati dan menerima eksistensi, pandangan, dan sikap hidup orang lain. Akan tetapi, tidak semua umat Islam mempunyai sikap keagamaan demikian.

Baca Juga: Merekat Persatuan dengan Islam Wasathiyah

Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, sikap keagamaan yang eksklusif muncul karena pemahaman dan pengalaman keagamaan yang minim. Termasuk di dalamnya adalah minimnya pengalaman berinteraksi dengan paham dan kelompok yang berbeda. Dalam konteks itulah, jelas Ruby, maka usaha membangun kebersamaan dengan ‘orang lain’ dan memberikan pemahaman kepada masyarakat bahwa realitas kebangsaan dan keagamaan bersifat plural tidak cukup diajarkan hanya melalui lecturing, melainkan dengan cara memberikan pengalaman langsung di mana seseorang dapat mengklarifikasi pemahaman, prejudice, stereotyping yang ia miliki.

Membuat ruang perjumpaan itulah yang menjadi salah satu strategi AMAN untuk merekat persatuan. “Ruang perjumpaan dengan orang yang berbeda itu perlu dibangun dan perlu diadakan, karena penting bagi mereka untuk bertemu dan mengenal satu sama lainnya,” jelas Ruby.

Sementara itu, dalam konteks interaksi antar kelompok atau agama yang berbeda, Ruby menilai bahwa tantangan terbesar bagi organisasi Islam adalah keberadaan ruang perjumpaan dengan ‘pihak lain’. “Muhammadiyah-‘Aisyiyah tantangannya adalah bagaimana mereka mempunyai ruang-ruang perjumpaan bukan hanya dengan organisasi atau kelompok Muslim yang berbeda, tetapi juga dengan kelompok non-Muslim,” papar Ruby.

Pemahaman Ahistoris

Apabila ditarik ke lingkup yang lebih kecil, eksklusifisme beragama juga menghantui Muhammadiyah-‘Aisyiyah. Kader muda Muhammadiyah, Andar Nubowo menjelaskan bahwa eksistensi pimpinan, kader, atau anggota Muhammadiyah yang bersikap eksklusif dalam beragama adalah karena ketidakutuhan dalam membaca sejarah Muhammadiyah.

Menurut Andar, anggapan bahwa Muhammadiyah adalah gerakan puritan an sich jelas tidak tepat dan ahistoris. “Banyak orang Muhammadiyah yang menganggap purifikasi sebagai identitas asli Muhammadiyah karena gerakan anti TBC-nya. Padahal itu hanya salah satu unsur dalam sejarah panjang Muhammadiyah, dan ada konteks sejarah yang melatarbelakangi itu,” jelasnya.

Spirit yang melatarbelakangi berdirinya Muhammadiyah adalah spirit pembaharuan (tajdid), yakni dalam makna purifikasi dan dinamisasi. Kiai Ahmad Dahlan dan para sahabatnya berusaha menjadikan ajaran agama dapat memberikan manfaat bagi masyarakat luas. Alih-alih berkutat di persoalan yang sifatnya khilafiyah, Kiai Dahlan lebih memilih untuk membumikan pemikirannya dalam bentuk gerakan.

“Kiai Dahlan tidak terlalu fokus pada persoalan fikih atau kalam, tetapi beliau langsung terjun ke lapangan. Problem utama pada saat itu adalah bagaimana agama bisa bermanfaat bagi masyarakat dan menjadi ‘obat’ di tengah beragam problem yang dialami mayoritas masyarakat,” ujar Andar.

Baca Juga: Muhammadiyah dan Pembaruan Islam

Yang tidak kalah penting, Kiai Dahlan tidak membatasi jangkauan penerima manfaat dari gerakan-gerakan sosial, pendidikan, dan ekonomi Muhammadiyah hanya untuk umat Islam. Kiai Dahlan menasehati para muridnya agar membantu orang lain dengan tanpa melihat latar belakang agama, suku, atau golongan. Dalam konteks ke-Indonesia-an, menurut Andar, Kiai Dahlan adalah seorang nasionalis sejati. Sementara dalam konteks ke-Islam-an, Kiai Dahlan adalah seorang ulama yang progresif.

Opsi Solusi

Mengenai adanya perbedaan pandangan dan sikap di tubuh Muhammadiyah‘Aisyiyah, Andar menganggap bahwa hal tersebut lumrah, selama tidak mengarah pada polarisasi. “Tidak mungkin Muhammadiyah-‘Aisyiyah itu satu warna. Perbedaan pandangan itu hal biasa, tapi harus dikembalikan ke gagasan berkemajuan sebagaimana fondasi yang dibuat oleh Kiai Ahmad Dahlan,” jelasnya.

Dalam upaya mencegah atau membatasi polarisasi itu, Andar melihat bahwa langkah Muhammadiyah untuk men-sounding gagasan Islam Berkemajuan dan moderasi Islam sangat tepat. Konsep moderasi, menurutnya, merupakan formula yang tepat sebagai jalan tengah di antara arus dua ekstremisme (liberalisme dan konservatisme) dan di tengah kondisi kebangsaan yang mengalami banyak masalah, baik di sektor sosial, politik, maupun keagamaan.

Selanjutnya, Andar mengajak warga Muhammadiyah-‘Aisyiyah untuk membaca sejarah organisasinya secara lebih komprehensif agar tidak terjadi kesalahpahaman. “Ayo kembali ke kalimatun sawa’, kepada Islam yang berkemajuan. Islam yang berpijak pada ajaran yang dibawa Nabi Muhammad saw., dan menerjemahkan ajaran Islam sesuai dengan spirit Islam di tengah konteks yang terus berubah,” katanya. (sirajuddin)

Related posts
Lensa Organisasi

Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah

Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah (PHIWM) merupakan seperangkat nilai dan norma islami yang bersumber pada al-Quran dan as-Sunah yang dijadikan pola tingkah…
Hikmah

Ijtihad Kalender Islam Global Muhammadiyah

Oleh: Arwin Juli Rakhmadi Butar-Butar* Muhammadiyah adalah organisasi yang memiliki karakter progresif dan berkemajuan. Di antara karakter itu tampak dari apresiasinya terhadap…
BeritaHaji

Tokoh Muhammadiyah dan NU Sepakat Penyelenggaraan Haji Tahun Ini Lebih Baik

Jakarta, Suara ‘Aisyiyah –  Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU) sepakat bahwa pelaksanaan ibadah haji 1445 H/2024 M jauh lebih baik dibandingkan tahun-tahun…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *