PendidikanWawasan

Menjadi Mahasiswa Pascasarjana di Al-Azhar Kairo

Oleh: Ni’mah Zaidah

Sudah banyak kisah mengenai perkuliahan S-1 di Al-Azhar Kairo, Mesir, yang dibagikan oleh mereka yang menjalaninya. Mereka menyampaikan pengalaman itu di berbagai kesempatan, seperti forum-forum kemahasiswaan, seminar motivasi, pertemuan alumni, rubrik media massa, dan tentu saja laman media sosial di dunia maya. Bagaimana dengan kuliah pascasarjananya?

Berikut ini adalah salah satu gambaran tentang hal itu, bersumber dari pengalaman seorang perempuan yang menempuh studi jenjang master di salah satu universitas terkemuka di Timur Tengah, dan juga dikenal secara internasional, yaitu Universitas Al-Azhar Asy-Syarif. Hal yang menarik, mahasiswi tersebut juga menjadi penerjemah dan penyiar di Radio Cairo Seksi Bahasa Indonesia (RCSI) selama menjalani perkuliahan. Untuk diketahui RCSI merupakan salah satu program siaran radio luar negeri Mesir yang menggunakan bahasa Indonesia.

Menurut mereka yang pernah mengalaminya, kuliah S-2 di Al-Azhar adalah hal yang berat, bahkan sangat berat. Begitu sulitnya kuliah itu sehingga konon kuliah S-2 di Al-Azhar tidak dibayar dengan uang, tetapi dengan umur dan kesabaran. Oleh karena itu, mahasiswa pascasarjana Al-Azhar adalah makhluk yang jarang ditemukan. Dua Pilihan untuk Mahasiswa Asing Bagi mahasiswa asing tersedia dua pilihan perkuliahan. Mereka bisa memilih kuliah S1 – S3 Al-Azhar di Fakultas Ilmu-ilmu Islam yang dikhususkan untuk mahasiswa asing, atau di Fakultas Studi Islam (untuk mahasiswi) dan Fakultas Syari’ah dan lain-lain (untuk mahasiswa) yang digabung dengan mahasiswa Mesir. Ada perbedaan di antara kedua pilihan itu. Dalam jenjang pascasarjana, perbedaan itu antara lain terletak pada masa tamhidi-nya, yaitu kelas persiapan menulis tesis yang ditempuh selama dua tahun atau sampai lulus semua SKS.

Masa tamhidi di Fakultas Ilmu-Ilmu Islam (S-2 Ulum) adalah satu tahun, sedangkan masa tamhidi di Dirasat Ulya (S-2 Ulya) adalah dua tahun. Seluruh mahasiswa S-2 Al-Azhar dapat menulis tesis jika berhasil melewati ujian tamhidi. Mahasiswa S-2 Ulum menghadapi ujian dua kali dalam setahun, sedangkan mahasiswa S-2 Ulya hanya menghadapi satu kali ujian setiap tahunnya, yaitu ujian tamhidi tingkat satu dan tamhidi tingkat dua. Ketika ujian tamhidi tingkat satu maupun dua belum lulus, maka akan diulang lagi dan hanya diberikan kesempatan sebanyak dua kali.

Baca Juga: MTK PWA Lampung Selenggarakan Pelatihan Konselor BIKKSA

Di Dirasat Ulya terdapat jurusan yang penting, yakni jurusan bahasa Arab dengan konsentrasi Balaghah wa Naqd (Retorika dan Kritik Sastra Arab). Ilmu-ilmu di jurusan ini dapat dikatakan sebagai “ilmu alat” yang sangat diperlukan untuk dapat menyibak makna tersurat maupun tersirat dari teks Al-Qur’an dan Hadis. Dengan demikian, mereka yang ingin mendalami keilmuan Islam niscaya memerlukan ilmu-ilmu tersebut. Dalam hal ini, penguasaan bahasa Arab adalah kunci.

 

Masa Studi Cukup Lama

Berbeda dengan S-2 di Indonesia yang bisa ditempuh selama dua tahun atau mungkin kurang, S-2 di Al-Azhar ditempuh dalam kurun waktu yang cukup lama. Jika peraturan belum berubah, masa studi itu biasa maksimal selama delapan tahun, termasuk dua tahun kelas tamhidi. Setelah berhasil melewati masa tamhidi yang cukup sulit, selanjutnya mahasiswa akan memasuki tahap pengajuan judul tesis.

Pengajuan tesis merupakan tahap yang menantang. Tidak sedikit mahasiswa yang terpaksa gugur di sini. Bagaimana tidak, mahasiswa harus mampu menghadirkan judul baru yang pastinya mengusung ide gagasan yang menarik agar bisa diterima oleh sejumlah profesor di bidangnya. Kemudian dilanjutkan dengan proses bara’at, yaitu proses pengecekan judul di seluruh Universitas Al-Azhar yang ada di Mesir dan beberapa perpustakaan untuk memastikan bahwa judul tesis yang akan diajukan belum pernah dibahas sebelumnya.

Tidak berhenti sampai di situ, setelah semua proses di atas berjalan lancar dan dosen pembimbing tesis juga sudah didapat, mahasiswa harus menunggu persetujuan judul dari sejumlah dewan: Dewan Jurusan, Dewan Fakultas, dan Dewan Universitas. Proses persetujuan judul ini juga cukup memakan waktu. Ada yang menunggu setengah tahun lamanya. Jika judul tersebut ditolak oleh salah satu dewan, maka mahasiswa harus mengulangi proses pengajuan judul dari awal. Ini cukup memberatkan bagi sebagian orang.

 

Kuliah Sambil Bekerja di Stasiun Radio

Di Kairo ada sebuah radio bernama Radio Cairo Seksi Bahasa Indonesia (RCSI). Radio ini berada di bawah naungan Kementerian Penerangan Mesir yang terletak di pinggir Sungai Nil, yakni di Gedung Maspero, Qarneisy Nil, Kairo. Tujuan dari penyelenggaraan radio ini adalah mempererat hubungan diplomasi antara Mesir dan Indonesia. RCSI setiap harinya mengudara di gelombang pendek 19 M, Frekuensi 15710 KHz, selama satu setengah jam dimulai dari pukul 14.30-16.00 waktu
Kairo atau 19.30-21.00 WIB.

Terdapat para mahasiswa Indonesia yang bekerja di radio itu. Tugas mereka setiap harinya adalah menerjemahkan sejumlah teks berita berbahasa Arab ke dalam bahasa Indonesia. Ada berita keagamaan, sosial, politik, ekonomi, olahraga, sejarah, dan lain sebagainya. Hasil terjemahan itulah yang kemudian dijadikan bahan siaran. Tugas-tugas itu secara tidak langsung menuntut para mahasiswa yang bekerja di sana untuk selalu mengikuti perkembangan dunia, guna memudahkan tugas mereka sebagai penerjemah. Selain itu, mereka dituntut untuk dapat mengatur waktu dengan cermat agar seluruh berita dapat dibacakan sesuai durasi yang telah
ditentukan.

Sebagian mahasiswa yang bekerja di radio itu mengaku pada awalnya merasa cukup berat untuk melaksanakan tugas-tugas tersebut. Namun, akhirnya mereka sangat mencintai pekerjaannya, hingga membuat mereka sangat sedih ketika saatnya harus pamit. Pekerjaan itu rupanya telah memberikan pengalaman istimewa bagi yang menjalaninya. Melalui pekerjaan itu, kosa kata dan kemampuan berbahasa Arab mereka secara otomatis meningkat. Begitu pun dengan soft skill dan kemampuan
teknis mereka, seperti kemampuan bekerja sama, berkomunikasi, dan kemampuan ke-radio-an.

 

Pelajaran dari Al-Azhar

Belajar di Al-Azhar dan hidup di Negara Mesir itu berat. Namun, pengalaman di sana banyak memberikan kesan dan pelajaran penting. Pertama, di sana kita bisa membuktikan kebenaran bahwa Mesir dengan Al-Azharnya adalah pusat keilmuan Islam yang memiliki perhatian besar terhadap kitab turats. Tradisi intelektual hidup kuat di sana. Orang-orang aktif belajar tidak hanya di ruang kelas kampus, tetapi juga di Masjid Al-Azhar, dan sejumlah pusat pembelajaran.

Baca Juga: Dukung Mobilitas Jemaah, Bus Shalawat Inklusif Siap Dioperasikan

Sistem pembelajaran seperti itu dikenal sebagai talaqqi. Dalam sistem talaqqi ini seorang syekh, dengan dikelilingi banyak murid, membacakan dan menjelaskan satu kitab tertentu hingga selesai. Misalnya dalam satu hari di Masjid Al-Azhar diselenggarakan sejumlah talaqqi dengan literatur dalam berbagai bidang keilmuan, seperti bahasa, teologi, fikih, dan tafsir. Meskipun tidak berlangsung di dalam ruang kelas kampus, bobot dan kualitas talaqqi tersebut tidak diragukan lagi karena diampu langsung oleh ulama yang menjadi bagian dari Dewan Senior Ulama Al-Azhar, Rektor Universitas AlAzhar, Penasihat Grand Syekh Al-Azhar, serta sejumlah profesor dan pakar di bidangnya.

Kedua, dengan banyaknya ilmu dannilai yang diajarkan Al-Azhar, para mahasiswa atau muridnya dididik agar menjadi orang yang mampu memahami keberagaman dan perbedaan pendapat. Misalnya, Al-Azhar mengizinkan muridnya untuk memilih satu mazhab dari berbagai mazhab fikih yang diakui untuk mereka pelajari dan tekuni. Hal ini mengantarkan santri Al-Azhar menjadi pribadi yang tidak menutup diri dari pendapat lain serta tidak mudah menyalahkan perbedaan.

Ketiga, perhatian besar Al-Azhar kepada pelajar asing. Hal ini terlihat dari banyaknya kemudahan yang diberikan Al-Azhar kepada pelajar asing. Ini, misalnya, tampak baik dari beasiswa pendidikan maupun living cost yang diberikan secara cuma-cuma. Lalu, ada pembukaan kelas khusus pelajar asing atau yang dikenal dengan Fakultas Ilmu-Ilmu Islam untuk pelajar asing, dan lain sebagainya.

Semua kemudahan yang diberikan Al-Azhar itu diharapkan dapat membantu para pelajar asing dari seluruh penjuru dunia untuk hanya fokus menimba ilmu dari Al-Azhar, tanpa memikirkan hal-hal lain yang dapat menghambat proses belajar. Dengan demikian, sepulangnya ke negara masing-masing, para pelajar asing itu diharapkan mampu menjadi Duta Al-Azhar yang mengajarkan risalah AlAzhar: nilai moderasi, fleksibilitas, dan toleransi.

*Penulis adalah Alumni Al Azhar, Mesir

1 Comment

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *