Oleh: Yunita
‘Aisyiyah merupakan organisasi otonom Muhammadiyah yang bergerak pada pemberdayaan perempuan. Berdiri pada 19 Mei 1917, ‘Aisyiyah telah lebih dari satu abad berdakwah dan menebar kebermanfaatan untuk perempuan Indonesia. Bagian yang saya rasakan secara pribadi adalah melalui salah satu amal usahanya, yakni di bidang pendidikan.
Ada ribuan taman kanak-kanak, sekolah dasar, dan perguruan tinggi yang dikelola ‘Aisyiyah di seluruh penjuru Indoensia. Di amal usahanya ini, ribuan lapangan pekerjaan untuk perempuan terbuka lebar. Bekerja di lingkungan yang setara dan mendukung pergerakan perempuan untuk berkarya.
Pun, melalui bidang pendidikan inilah, ‘Aisyiyah mengajak kaum perempuan untuk tidak lagi berdiam diri di rumah. Perempuan harus bergerak tanpa batas. Menempuh pendidikan, meraih impian, berdaya, dan bebas bekerja. Entah sebelum ia menikah atau sesudah menikah ia boleh menentukan pilihan hidupnya tanpa tekanan dari siapapun. Apalagi tekanan dan dominasi dari laki-laki. Prinsip kesetaraan ini membuat saya mengagumi ‘Aisyiyah sebagai lembaga pemberdayaan perempuan yang berlandaskan pada ajaran-ajaran Islam.
Sudah kewajiban setiap manusia, laki-laki dan perempuan untuk beramal saleh sebanyak-banyaknya. Tidak dibedakan jerih amal usaha yang dilakukan antara laki-laki dan perempuan. Karena bagi Allah swt., di dalam diri mereka hanya ada satu pembeda saja, yaitu ketakwaan. Hal ini sesuai yang disinggung oleh-Nya melalui Q.S. al-Hujurat ayat 13 (yang artinya), “sesungguhnya yang paling mulia dihadapan Allah diantara kalian adalah yang paling bertakwa”.
Melalui bidang pendidikan, perempuan bisa bekerja di dalamnya dan mencari banyak pahala dari segala dedikasinya di sekolah ‘Aisyiyah. Belajar, mengajar, dan menebar kebermanfaatan.
Menjadi Perempuan Berdaya
Dua tahun belakangan ini, saya menjadi bagian dari keluarga ‘Aisyiyah yang bergerak di bidang pendidikan. Sekolah Dasar Unggulan ‘Aisyiyah Taman Harapan Curup yang ada di Provinsi Bengkulu menjadi tempat saya belajar untuk menjadi perempuan mandiri dan berdaya.
Saya mulai tertarik dan jatuh hati pada ‘Aisyiyah di setiap momen yang menyentuh perasan saya. Mengamati setiap guru perempuan yang selalu semangat datang ke sekolah pagi hari, antusias mereka bertemu keluarga saat selesai mengajar dan pulang di sore hari, serta dua amal dengan pahala berlipat ganda di hadapan mata mereka menanti. Pahala mendidik ratusan siswa juga mendidik penuh cinta buah hati di rumah.
Dahulu, melalui konstruksi sosial masyarakat, perempuan tidak dianjurkan untuk menempuh pendidikan yang lebih tinggi. Juga tidak dianjurkan bekerja dan memiliki penghasilan sendiri. Bagi masyarakat, perempuan bisa baca tulis itu saja sudah cukup. Tidak perlu sekolah tinggi-tinggi yang memakan banyak biaya. Lebih baik biaya pendidikan itu dialokasikan kepada saudara laki-laki. Dengan dalih bahwa seorang laki-laki membutuhkan pendidikan lebih tinggi agar kelak ia bisa memperoleh pekerjaan terbaik untuk menghidupi keluarganya.
Baca Juga: ‘Aisyiyah: Spirit Perempuan Berkemajuan
Perempuan hanya perlu mengembangkan kemampuannya dalam perkara urusan rumah tangga saja. Dapur, sumur, dan kasur. Lebih dari itu, semuanya adalah tanggung jawab dan pekerjaan laki-laki.
Inilah tantangan yang dihadapi hampir semua perempuan di Indonesia yang mayoritasnya masih menggunakan cara pandang patriarki. Tapi, seiring berjalannya waktu, dengan akses pendidikan yang lebih mudah dan informasi kesetaraan yang masif, tantangan ini mulai pudar. Perempuan mulai memunculkan diri di ruang-ruang publik dengan sederet riwayat pendidikan yang cukup mendukung mereka untuk terus berkarya.
Seperti yang saya amati di sekolah ‘Aisyiyah, tempat saya sehari-hari menghabiskan waktu dari Senin hingga Jumat. Dengan mayoritas perempuan yang bekerja di sekolah menjadi seorang guru, saya akui, mereka perempuan hebat dan berdaya. Meskipun begitu, mereka masih dibebani dengan peran ganda. Menjadi perempuan pekerja sekaligus menjadi ibu rumah tangga. Kesibukan mengurus anak-anak dan rutinitas di sekolah membuat saya berpikir, “bagaimana bisa mereka menikmati ini semua?”.
Jawabannya adalah komunikasi dan kesepakatan. Tidak ada yang bisa menghalangi perempuan yang sudah berumah tangga untuk berhenti bekerja. Kecuali, jika itu adalah pilihannya sendiri dan kesepakatan dengan pasangan hidupnya. Bebas memilih itulah hak setiap manusia tanpa mengenal jenis kelamin, laki-laki atau perempuan. Semuanya bebas memilih dan menentukan jalan hidupnya.
Sekolah ‘Aisyiyah tempat saya bekerja memberi dukungan sepenuhnya untuk perempuan yang sudah berumah tangga. Seperti jam menyusui jika ada salah satu gurunya yang memiliki balita. Juga disediakan tempat penitipan anak di salah satu area sekolah. Agar apapun peran yang dilakukan oleh perempuan ‘Aisyiyah tidak menutup akses mereka dalam bekerja dan meningkatkan potensi diri. Cuti melahirkan, cuti menikah, dan berbagai keringanan lainnya, meyakini bahwa sekolah ‘Aisyiyah adalah sekolah ramah perempuan.
Sederet program pemerintah baru-baru ini dalam meningkatkan kualitas pendidikan Indonesia, seperti pelatihan Sekolah Penggerak dan Pendidikan Profesi Guru (PPG), bebas diakses bagi semua guru perempuan di sekolah ‘Aisyiyah tempat saya bekerja. Sekolah mendukung penuh dan memberikan waktu untuk mereka bisa meningkatkan kualitas diri. Konsep pemberdayaan perempuan dengan Islam berkemajuan yang dimiliki ‘Aisyiyah membuat saya terus semangat memacu diri; bebas bermimpi dan meraih harapan setinggi mungkin.
Harapan
Bekerja atau tidak lagi-lagi adalah pilihan hidup seorang perempuan. Terpenting, ia melakukan itu dengan kesadaran penuh tanpa tekanan. Sebagian perempuan tidak bisa hanya berdiam di rumah, mengurus rumah tangga, dan kesibukan stagnan lainnya.
Seperti yang dikisahkan oleh Cho Nam-Joo, penulis kisah Kim Ji-Yeong lahir tahun 1982, betapa Kim Ji-Yeong merindukan dirinya di masa lalu. Bekerja dan berkarya. Meski penghasilannya tidak sebanyak suaminya, tapi ia merasa sangat bahagia dengan tetes keringatnya sendiri.
“Alasan aku bekerja karena aku suka bekerja. Aku menyukai pekerjaanku dan uang yang kudapatkan,” ujar Kim Ji-Yeong. Tapi, semua mendadak berubah saat ia memutuskan untuk resign dari pekerjaannya. Pilihan yang berat saat ia memilih harus bekerja atau di rumah mengurus anak perempuannya. Ia mulai bertingkah aneh dan mengalami depresi.
Baca Juga: Siti Munjiyah dan Kampanye Pemberantasan Perdagangan Perempuan dan Anak
Kim Ji-Yeong bukan seorang perempuan yang bisa bahagia dengan pilihannya untuk di rumah saja. Dia perlu ruang untuk mengekspresikan diri. Ruang tersebut ia temukan manakala ia bisa bekerja di luar seperti sebelum ia menikah. Novel sensasional berlatar Korea Selatan ini memberitahu kita bahwa praktik misoginis masih relevan bagi kita semua, serta menjadi PR besar kita untuk terus berdakwah dan mengkampanyekan kesetaraan melalui pemberdayaan perempuan. Inilah yang dilakukan ‘Aisyiyah melalui amal usahanya. Baik di bidang kesehatan, ekonomi, atau khususnya di bidang pendidikan.
Perempuan yang berdaya memiliki peran yang penting dalam membangun karakter anak-anak di sekolah, karena dari perannya menjadi seorang guru lahirlah seorang pemimpin yang kelak menjalankan berbagai kebijakan-kebijakan. Diharapkan kebijakannya mendukung penuh misi ‘Aisyiyah dalam pemberdayaan perempuan sebagai khalifatul ardh yang berdasarkan pada Islam rahmatal lil’alamin.
*Salah satu pengajar di Sekolah Dasar Unggulan ‘Aisyiyah Taman Harapan Curup, Provinsi Bengkulu