Perlu diketahui bahwa saat ini kita sedang hidup di era informasi yang sangat cepat. Dalam hitungan detik, manusia mampu dibanjiri oleh berbagai informasi tanpa mengenal waktu dan tempat. Sasaran informasi juga beragam mulai dari kalangan usia remaja hingga dewasa. Salah satu resiko dari penyebaran informasi yakni adanya gangguan mental bagi orang yang berlebihan mengonsumsi media sosial.
Sebagaimana istilah FOMO (Fear of Missing Out) yang sudah beredar yaitu kondisi di mana seseorang merasa takut tertinggal informasi terkini. Lebih luasnya, FOMO yaitu kecemasan dan ketakutan yang dialami oleh individu ketika orang lain mengalami pengalaman atau kejadian menarik yang terjadi di tempat lain, sementara individu tersebut tidak mengikuti suatu kejadian tersebut. Kecemasan ini distimulasi oleh hal-hal yang tertulis di dalam media sosial seseorang yang menyebabkan individu selalu berusaha untuk tetap terhubung dan mengetahui apa yang orang lain lakukan. Mengungkap beberapa penelitian yang ada, faktanya orang yang mengidap FOMO menimbulkan reaksi depresi, stress, kehilangan dan kelelahan. Hal ini sangat perlu dicarikan solusi karena mampu mengganggu produktifitas kehidupan.
Agama Islam yang sempurna sudah memberikan solusi untuk menyikapi penyakit mental seseorang. Pondasi dasarnya yakni dengan iman meyakini segala masalah pasti ada jalan keluarnya. Mengembalikan permasalahan kehidupan ini kepada firman Allah SWT yang menjadi pedoman hidup manusia, dalam ayatnya :
“Kitab (Al Quran) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa,” (Q.S. Al-Baqarah :
Tuntunan mulia sudah diajarkan oleh baginda Nabi Muhammad SAW, dalam salah satu sabdanya :
“Tinggalkanlah apa apa yang meragukanmu pada apa yang tidak meragukanmu. Sesungguhnya kejujuran lebih menenangkan jiwa sedangkan dusta akan menggelisahkan jiwa.” (HR. Tirmidzi)
Dalam riwayat lain dari Ibnu Hibban, disebutkan :
“Karena sesungguhnya kebaikan adalah ketentraman dan keburukan adalah keraguan.”
Seorang ulama yakni Syaikh Muhammad bin Shalih al Utsaimin beliau menerangkan bahwa hadits tersebut termasuk golongan jawami’ul kalim (hadits yang singkat namun maknanya luas). Artinya hadits ini akan sangat bermanfaat apabila diamalkan, di dalamya kita dianjurkan untuk memiliki sikap wara’ (meninggalkan sesuatu yang haram dan syubhat atau meragukan).
Dalam konteks saat ini, gempuran informasi banyak yang tidak sarat akan makna. HOAX acap kali bertebaran di media sosial. Kabar bohong ini terkadang sengaja diproduksi oleh orang-orang yang tidak bertanggungjawab demi memenuhi kepentingan tertentu. Sayangnya, lagi-lagi banyak masyarakat yang tidak memahami dan tidak melek literasi, maka pemahaman atas informasi tersebut hanya sebatas hembusan angin yang ditelan dengan mentah-mentah. Oleh karenanya, kita sudah harus belajar membentengi diri dari dampak negatif informasi itu sendiri. Beberapa hal yang dapat kita ikhtiarkan yaitu :
- Meninggalkan segala informasi yang tidak jelas kebenarannya dan tidak penting
Sebuah sabda Rasul SAW mengingatkan : “Di antara kebaikan Islam seseorang adalah meninggalkan hal yang tidak bermanfaat.” (HR. Tirmidzi)
Beragamnya informasi atau berita yang kita terima tanpa dipilah akan mempengaruhi kadar keimanan dan keilmuan kita. Oleh karenanya hal yang tidak bermanfaat baik dari segi perkataan dan perbuatan seharusnya sudah ditinggalkan. Anak muda saat ini bisa menghabiskan durasi yang cukup lama hanya untuk scrolling media sosial. Performa konten hiburan lebih tinggi antusiasnya dibandingkan dengan konten edukasi. Akibatnya otak dan alam bawah sadar hanya akan terisi dengan sesuatu yang sia-sia. Padahal sebaik-baiknya kebutuhan hidup ada di dalam otak yang mana fungsinya untuk menerima wawasan yang akan menjadi bekal kehidupan.
- Segera meninggalkan hal hal yang meragukan dan beralih pada hal hal yang menenangkan dan meyakinkan
Media sosial mampu dengan mudah memperbudak penggunanya apabila tidak memiliki pondasi iman dan ilmu yang kuat. Aktifitas bermedia sosial akan membuahkan pahala jariyah apabila untuk sesuatu yang bermanfaat. Namun, juga dapat membuahkan dosa jariyah apabila kita menerima dan ikut menyebarkan sesuatu yang negatif ke ranah publik, contohnya adalah berita HOAX. Dijelaskan dalam riwayat Abu Hurairah, bahwa Rasulullah SAW bersabda : “Siapa yang mengajak kepada kesesatan, dia mendapatkan dosa, seperti dosa orang yang mengikutinya, seperti dosa orang yang mengikutinya, tidak dikurangi sedikitpun.” (HR. Ahmad)
Informasi HOAX akan mudah tersebar dan diterima apabila kita sebagai pembacanya hanya mengikuti begitu saja. Bermedia sosial akan lebih bijak jika ada batas. Artinya, kita hanya akan membaca dan memahami sebaik mungkin segala jenis informasi yang kredibel sumbernya. Seorang penuntut Ilmu juga perlu melakukan hal yang demikian yakni belajar mengolah informasi dengan baik dan benar. Tidak layak dan akan menimbulkan mudhorot apabila seorang penuntut ilmu belajar dari sumber yang terindikasi banyak keraguan.
Baca Juga: Pendidikan Kesetaraan dalam Keluarga
- Membiasakan berlaku jujur dan menghindari kebohongan
Tidak dapat dipungkiri bahwa media sosial telah menjadi bagian integral dari kehidupan sehari-hari dengan menawarkan platform bagi individu untuk berkomunikasi, berbagi, dan mengonsumsi informasi. Namun, dengan kebebasan ini datang tanggung jawab yang besar. Adab bermedia sosial salah satunya yaitu kejujuran akan suatu kebenaran sehingga akan membantu pengguna untuk berinteraksi dengan penuh tanggung jawab bagi kehormatan dirinya sendiri, keluarga, agama, bangsa dan negara. Dalam suatu hadis disebutkan : “Hendaklah kalian selalu berlaku jujur karena kejujuran membawa kebaikan dan kebaikan mengantarkan seseorang ke surga.” (HR. Bukhari)
Membiasakan berlaku jujur akan memberikan dampak untuk diri sendiri dan orang lain. Jujur tidak sebatas perkataan saja, namun lebih luas lagi pada niat, tekad, perbuatan dan pertanggung jawaban. Orang yang tidak jujur akan dikelilingi dengan keresahan. Dalam konteks pengguna media sosial, masih banyak dari kita yang gelisah untuk mengungkap kebenaran yang ada. Akibatnya informasi palsu yang tersebar luas dan lebih banyak dipercaya daripada fakta yang sebenarnya. Akhir zaman yang kelam dimulai dari dukungan kebohongan yang berkepanjangan.
- Memperbanyak membaca informasi positif dan menghindari membaca informasi negatif
Manusia sudah dianugerahi otak untuk berpikir jernih membedakan yang benar dan salah atau baik dan buruk. Saat kita sudah mengetahui adanya ruang digital dan dunia maya yang menjadi tempat berkomunikasi tanpa diketahui latar belakang seseorang. Namun, perbedaan latar belakang ini justru menimbulkan interpretasi informasi yang berbeda-beda dan mengakibatkan masalah. Dampak negatifnya, ketika masalah tersebut berubah menjadi ujaran kebencian, hoaks, dan isu negatif. Ketiganya adalah informasi buruk yang perlu dihentikan bukan dibesar-besarkan.
Dalam firman Allah SWT yakni “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.” (QS. Al Hujurat ayat 6) mengingatkan kita bahwa sebagai pengguna media sosial, apabila tidak mampu menghentikan beredarnya informasi buruk tersebut, setidaknya kita berperan untuk mengabaikannya demi kesahatan mental kita sendiri. Masih banyak informasi baik dan benar yang perlu kita ketahui. Sebegitu berpengaruhnya informasi yang kita terima untuk bekal berkehidupan. Sebaliknya, jika informasi yang kita terima justru sia-sia dan melenakan sementara akan menimbulkan berbagai penyakit seperti strees, susah tidur dan overthingking.
Akhirnya, dapat kita simpulkan bahwa penggunaan media sosial harus disikapi dengan cara-cara yang baik dan benar. Memulai dengan membekali diri dari sumber sumber kredibel sarat akan keimanan dan keilmuan. Yakni sebaik-baik sumber informasi adalah Al Qur’an sebagai firman Allah SWT yang kemudian diperlengkap dengan Hadits Rasulullah SAW. Islam senantiasa mengajarkan umatnya untuk berpegang teguh pada kebenaran, menjauhi kebathilan dan menghindari keragu-raguan.
Wallahu a’lam bi as-shawab
Tentang Penulis
Tsaaniya Nuur Royana atau biasa dipanggil dengan Tsania adalah seorang guru swasta di tingkat sekolah dasar. Selain menjadi guru, Tsania bagian dari PDNA Kota Semarang juga ikut terlibat aktif di Aisyiyah tingkat ranting, cabang maupun daerah.