Wawasan

Mensikapi Childfree secara Bijak

(foto: freepik)

Oleh: Alimatul Qibtiyah

Perempuan itu secara kodrati dapat melahirkan. Meskipun demikian, pengambilan keputusan untuk mau melahirkan atau tidak, mau punya anak berapa, dan mau kapan punya anak, seringkali melibatkan campur tangan budaya, keyakinan agama, dan juga musyawarah bersama pasangan atau keluarga. Belakangan ada isu viral terkait dengan istilah childfree yang menjadi kontroversi. Apakah childfree itu, mengapa isu ini menimbukan kontroversi, dan bagaimana cara menyikapinya?

Childfree, menurut definisi dari kamus Cambridge, berarti seseorang yang memilih untuk tidak mempunyai anak, atau situasi dan kondisi tanpa anak (people who choose not to have children, or a place or situation without children). Namun ada juga yang membedakan antara childfree dan childless.

Childfree biasanya merujuk pada seseorang, biasanya sudah menikah, yang tidak menginginkan anak dengan berbagai motivasi yang melatarbelakangi pilihannya. Adapun childless adalah orang tua yang tidak mempunyai anak, atau hidup sendiri tanpa anak, yang disebabkan oleh banyak hal juga. Sebenarnya, pada posisi childless ini, seseorang menginginkan anak, tetapi karena berbagai alasan dan kondisi, keinginan itu tidak terpenuhi. Itulah yang menyebabkan istilah childless ini biasanya tidak mengundang kontroversi. Oleh karena itu, tulisan ini akan fokus pada pilihan hidup untuk memilih posisi childfree.

Di Indonesia, ada komunitas childfree yang menggunakan media sosial tertentu secara tertutup. Saat ini, media sosial tersebut memiliki sekitar 300 anggota. Victoria Tunggono menerbitkan buku tahun 2021 yang berjudul, Childfree and Happy. Buku ini hasil dari penelitian dengan subjek yang berasal dari seseorang atau pasangan keluarga yang memilih childfree. Penelitian ini mengungkapkan bahwa ada beberapa alasan seseorang memilih childfree, yaitu masalah ekonomi, masalah mental-psikologis, kemampuan fisik, alasan filosofis, dan alasan perusakan lingkungan. Di antara responden yang diwawancara, ada yang mengemukakan alasannya karena tidak ingin punya anak saja.

Mengapa Childfree Menjadi Kontroversi?

Beberapa kata yang sering muncul saat mengidentifikasi kontroversi ini antara lain, keragaman pengalaman perempuan, anak adalah bagian dari konsekuensi sebuah pernikahan, otonomi tubuh perempuan, ukuran kesempurnaan perempuan, dan sebagainya. Berikut penulis tulis beberapa pendapat yang pro dan kontra terhadap isu pilihan menjadi childfree.

Kelompok yang setuju dengan childfree didasarkan pada argumentasi bahwa kesuksesan perempuan tidak lagi diukur pada ranah domestik, melainkan juga publik, seperti capaian karir, prestasi, dan lain-lain. Oleh karena itu, memilih untuk menjadi childfree sah-sah saja dilakukan karena hal itu adalah sebuah kebebasan bersifat personal dan mungkin juga keputusan bersama dalam sebuah keluarga. Argumen lain misalnya, keputusan memilih childfree merupakan privasi. Dengan demikian, orang lain atau publik tidak berhak mengintervensi privasi orang lain. Keputusan punya anak atau tidak punya anak tidak menghilangkan kemanusiaan seseorang.

Kelompok yang tidak setuju dengan pilihan menjadi childfree berdasar pada pendapat bahwa fitrahnya orang bernyawa adalah menghendaki atau menginginkan adanya keturunan. Alasan takut menyakiti anak karena merasa tidak mampu bertanggung jawab, tidak dapat dibenarkan. Pasalnya, manusia perlu berurusan dengan manusia lainnya untuk saling memberi kebermanfaatan. Dengan demikian, mereka yang childfree, tidak selaras dengan fitrahnya, karena itu perlu didoakan agar diberi kesembuhan.

Baca Juga: Peran Anak dalam Mewujudkan Keluarga Sakinah

Alasan lainnya juga menyebutkan bahwa pasangan yang memilih untuk childfree ibarat memiliki pernikahan yang sah, namun syaratnya batal. Hal ini merujuk pada salah satu inti dari pernikahan adalah untuk memiliki keturunan. Sebagaimana pesan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam yang memerintahkan menikahi perempuan yang subur, manusia diperintahkan untuk memiliki harapan akan keturunan di dalam pernikahan.

Berdasarkan realitas fenomena childfree beserta kontroversi yang menyertainya, dibutuhkan kecerdasan dalam bersikap. Motivasi memilih childfree yang beragam tentu menjadikan kita menjadi kurang bijaksana jika melihat persoalan ini dengan kaca mata salah-benar atau hitamputih secara absolut.

Beberapa hal yang menjadi perhatian adalah kesadaran bahwa seseorang, terutama perempuan, mempunyai keragaman pengalaman untuk mengatur tubuhnya dan juga keragaman pengalaman untuk mencapai kebahagiaannya. Keragaman pengalaman tersebut sangat dipengaruhi oleh budaya, penafsiran keyakinan agama, juga pengalaman hidupnya.

Budaya dan juga penafsiran mayoritas di Indonesia sangat mengharapkan keturunan dalam sebuah pernikahan, bahkan ada yang menjadikannya sebagai ukuran kesempurnaan sebuah keluarga. Karena keyakinan ini, banyak keluarga yang belum mempunyai anak akan berusaha dengan berbagai cara, baik dari segi kesehatan, psikologi, maupun spiritual agar mendapatkan keturunan.

Iringi Keputusan dengan Kesadaran

Sebuah pilihan harus dibarengi dengan kesadaran akan konsekuensinya. Dalam kasus childfree di Indonesia, relasi dan tanggung jawab orang tua kepada anak, dan juga sebaliknya, tanggung jawab anak kepada orang tua saat sudah pensiun yang sudah tidak punya penghasilan yang memadai lagi, chidfree menjadi pilihan yang berat.

Beberapa data juga menunjukkan bahwa menjadi bagian dari kelompok senior (elderly) tanpa anak di lingkungan yang individualis, seseorang akan mengalami kerentanan. Walaupun hal ini juga terjadi pada keluarga yang nonchildfree juga di beberapa kasus. Oleh karena itu, diperlukan rekayasa sosial, seperti mengambil anak asuh yang sudah besar, punya komunitas, dan atau menyiapkan modal sosial yang siap berbagi saat renta.

Sementara itu, mereka yang memilih punya anak, juga harus disertai dengan rasa tanggung jawab untuk mendidik dan menumbuhkan sang anak agar membawa kemaslahatan bagi umat. Tidak hanya punya anak sebanyakbanyaknya, namun tidak disiapkan kualitasnya.

Anak dalam al-Quran dapat digolongkan dalam dua kategori. Pertama, anak dalam kategorinya sebagai sosok yang selalu menyenangkan, nikmat (ni’mah), perhiasan (zīnah), penenang hati (qurratu ‘ain), harapan orang tua ketika berusia senja, dan penolong (walī). Namun, dalam kategori kedua, anak juga sebagai amanat (amānah), ujian (fitnah), bahkan bisa juga menjadi musuh (‘aduww).

Memilih memiliki atau tidak memiliki anak adalah bentuk pertanggungjawaban atas dirinya untuk menemukan kebahagiaan yang dikehendaki. Sejatinya, Allah menyerukan untuk senantiasa menjaga keseimbangan untuk bahagia pada urusan akhirat dan dunia.

“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan kebahagiaan dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesung guhnya Allah tidak menyukai orangorang yang berbuat kerusakan” (Q.S. al-Qashash: 77).

Dalam dokumen-dokumen resmi Muhammadiyah‘Aisyiyah, keluarga memiliki fungsi kaderisasi. Dalam hal ini, kita perlu menyiapkan anak-anak dan anggota keluarga lainnya agar tumbuh menjadi generasi muslim yang dapat menjadi pelopor, pelangsung, dan penyempurna gerakan dakwah di kemudian hari. Oleh karena itu, punya anak atau tidak, sebenarnya tidak pernah menjadi sebuah diskusi dalam dokumen-dokumen resmi Muhammadiyah dan ’Aisyiyah. Walaupun punya anak bagian dari kelangsungan kaderisasi persyarikatan, namun ketika ada kader yang tidak atau belum menikah, maupun sudah menikah tetapi belum atau tidak punya anak, tidak menjadi hambatan untuk membawa kemaslahatan dalam persyarikatan.

Nafkah Suami, Bentuk Perimbangan Fungsi Reproduksi Istri

Pada saat membicarakan keberadaan anak, tidak lepas dari konsep nafkah keluarga sebagai bentuk tanggung jawab orang tua untuk mempersiapkan generasi berkualitas. Muhammadiyah dan ’Aisyiyah meyakini bahwa nafkah suami terhadap istri dan juga anak-anaknya salah satunya sebagai perimbangan terhadap fungsi reproduksi istri sejak haid, hamil, melahirkan, hingga memberikan ASI untuk melanjutkan generasi yang berkualitas. Dalam melaksanakan fungsi reproduksi, istri memerlukan perhatian yang besar, terutama dalam hal kesehatan. Oleh karena itu, istri perlu mendapatkan hak-hak reproduksi. Hal ini ditegaskan antara lain dalam surah al-Baqarah: 233.

Ketika suami-istri secara bersama-sama bekerja untuk memenuhi kebutuhan nafkah keluarga, kewajiban mencari nafkah tetap pada suami. Dengan demikian, nafkah yang diusahakan istri merupakan kontribusi terhadap pemenuhan nafkah keluarga. Dalam proses pelaksanaan tanggung jawab suami dan istri dalam keluarga, rumah tangga dikelola bersama. Suami-istri mempunyai tanggung jawab atas terlaksananya tugas-tugas untuk tegaknya keluarga menuju Keluarga Sakinah sesuai dengan kesepakatan bersama.

Baca Juga: Gerakan Perempuan, Ruang Digital, dan Mantra Kesetaraan

Dalam situasi tertentu, suami-istri bersama-sama mencari nafkah, saling mendukung pengembangan potensi diri, serta melaksanakan tugas-tugas pendidikan anak dan tugas-tugas kerumahtanggaan. Karena pernikahan adalah sebuah perjanjian yang kokoh dan sakral, pengelolaannya harus dilakukan dengan sungguh-sungguh di atas pilar keseimbangan, keadilan, kesetaraan dengan rasa kesalingan, termasuk saling ridha dalam kebaikan, dan asas permusyawaratan untuk mengatasi semua permasalahan keluarga.

Akhirnya, setiap orang mempunyai hak untuk menentukan kebahagiannya, termasuk dalam hal punya atau tidak punya anak. Pilihan-pilihan itu perlu dihormati. Semua pilihan ada konsekuensinya. Oleh karena itu, ketika pilihan itu jatuh pada pilihan untuk mempunyai anak, baik karena didorong oleh perintah agama ataupun karena kepentingan lainnya, sudah seharusnya pilihan perempuan untuk menjalankan fungsi kodratinya itu diringankan oleh anggota keluarga lain, terutama oleh pasangannya. Selain itu pilihan punya anak juga akan berdampak pada tanggung jawab untuk mendidiknya agar menjadi generasi berkualitas yang akan membawa kemaslahatan.

Adapun sebagai muslim, perlu diingat bahwa setiap aktivitas dan keputusan-keputusan kita hendaknya harus berorientasi pada tujuan untuk beribadah kepada Allah. Belum atau tidak menikah, sudah menikah lalu punya anak atau tidak, hendaknya juga didasarkan pada keikhlasan untuk menempa diri sebagai bagian dari hamba Allah dan wakil-Nya dalam memakmurkan bumi. Iringi setiap keputusan dengan tuntunan-tuntunan dari syariat. Ikuti keputusan dengan bersungguh-sungguh mengerjakan amal-amal pendukung keputusan tersebut. Lalu, pasrahkan hasilnya pada Zat yang menciptakan kita serta seluruh jagad raya, Allah subhanahu wata’ala.

Related posts
Konsultasi Keluarga

Strategi Mengelola Hubungan dengan Anak Tiri

Pertanyaan: Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh Kak ‘Aisy yang saya hormati. Saya seorang perempuan lajang berusia di atas 30 tahun. Saya berencana menikah dengan…
Politik dan Hukum

Peran Keluarga dalam Pendidikan Politik

Oleh: Susilaningsih Kuntowijoyo Tahun 2024 merupakan tahun politik karena pada tanggal 14 Februari 2024 akan diadakan pemilihan presiden dan wakil presiden (Pilpres)…
Keluarga Sakinah

Pengasuhan dan Generasi Anti Perundungan

Oleh: Elli Nur Hayati* Belakangan kita banyak mendengar dan melihat, baik secara langsung maupun tidak langsung, perundungan yang dilakukan terhadap seseorang yang…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *