Oleh: Susilaningsih Kuntowijoyo
“…..Dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebaikan dan takwa, dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan. Bertakwalah kepada Allah, sungguh, Allah sangat berat siksanya (Q.S. al-Maidah: 2).
Sifat ta’awun adalah sifat tolong menolong atau sifat suka menolong antar sesama manusia. Dalam ayat yang tertulis di atas, Allah subhanahu wata’ala memerintahkan kepada manusia untuk saling tolong menolong dalam kebaikan dan takwa. Untuk menjadi pribadi yang suka menolong, ta’awun perlu menjadi sifat bagi setiap manusia karena pada dasarnya manusia itu cenderung bersifat egois, suka mementingkan diri sendiri.
Secara khusus, sifat ta’awun tentu harus dimiliki oleh setiap warga Muhammadiyah–‘Aisyiyah dan disosialisasikan dalam keluarga masing-masing karena salah satu landasan gerakan kemasyarakatannya adalah teologi al-Ma’un. Sifat ta’awun juga harus disosialisasikan pada masyarakat luas agar sifat tolong menolong dalam hal kebaikan menjadi bagian dari dinamika kehidupan sosial kemasyarakatan.
Sifat ta’awun dapat berkembang karena adanya daya sensitivitas sosial (kecerdasan sosial), yaitu kemampuan manusia untuk memahami kondisi lingkungan sosial masyarakat, serta berkehendak untuk terlibat dalam aktivitas kesejahteraan masyarakat (Hadi Suyono, Social Intelligence, 2007). Daya sensitivitas sosial itu perlu dibentuk dan dikembangkan semenjak usia dini.
Pembiasaan untuk menyayangi dan membantu orang lain, termasuk untuk ibu, ayah, saudara, anggota keluarga lain, serta teman-temannya, merupakan sarana pengembangan sensitivitas sosial tersebut. Pembiasaan menyayangi binatang peliharaan dan mengurus tanaman juga termasuk di antaranya. Daya sensitivitas sosial perlu terus dikembangkan dan dipelihara pada usia anak, remaja, dan dewasa.
Baca Juga: Komitmen Keluarga Sakinah Aktivis ‘Aisyiyah
Dalam pandangan Islam, kemampuan manusia untuk memiliki sensitivitas sosial sangat diperlukan karena sesungguhnya manusia diciptakan Allah sebagai pengelola bumi dan seisinya (khalifatullah fil ard), sebagaimana disebutkan dalam al-Quran surat al-Baqarah ayat 30. Oleh karena itu, manusia harus memiliki kesadaran dan kemampuan melaksanakan tugas tersebut. Salah satu modal yang penting untuk mampu melaksanakan tugas tersebut adalah memiliki modal sensitivitas sosial (kecerdasan sosial), di samping sensitivitas kelestarian alam sekitarnya (kecerdasan lingkungan).
Ekspresi dari sensitivitas sosial itu adalah dengan dimilikinya semangat ta’awun atau tolong menolong dalam kebaikan yang kemudian menjadi sebuah aksi atau kegiatan, baik secara individual maupun kelompok. Gerakan ta’awun merupakan salah satu kegiatan sosial Muhammadiyah-’Aisyiyah untuk melaksanakan misinya dalam membantu tercapainya kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu, semangat ta’awun harus menjadi sifat dari setiap warga Muhammadiyah-’Aisyiyah.
Pengembangan Daya Sensitivitas Sosial
Hubungan sosial merupakan salah satu kebutuhan dalam kehidupan manusia semenjak dalam kandungan sampai akhir hayatnya. Oleh karena itulah manusia disebut sebagai makhluk sosial di samping sebagai makhluk individual. Dalam proses kehidupan manusia, hubungan sosial itu memiliki dua manfaat yang bersifat timbal balik.
Pertama, manfaat bagi diri individu manusia sebagai sarana untuk memenuhi kebutuhan kehidupan pribadinya. Berikutnya, manfaat untuk kecenderungan ingin terlibat dalam kehidupan sosial kemasyarakatan. Keberadaan dua manfaat itu harus seimbang agar manusia memiliki kehidupan pribadi yang sehat secara kejiwaan dan hubungan sosial yang harmonis, bahkan hubungan yang bersifat memberdayakan.
Namun sifat mementingkan diri sendiri (egois) yang muncul sering kali lebih menguasai manusia sehingga ia justru memanfaatkan kehidupan sosialnya sebagai sarana memuaskan kepentingan kehidupan pribadi. Oleh karena itu, diperlukan adanya usaha pengembangan dan penguatan sensitivitas sosial sebagaimana telah diutarakan di muka. Sensitivitas sosial itu bukanlah bersifat bawaan, tetapi merupakan hasil dari proses pembentukan semenjak usia dini sampai dewasa, bahkan sepanjang hidup.
Pengembangan daya sensitivitas sosial perlu didukung oleh dua kondisi kejiwaan manusia, yaitu kemampuan untuk memahami kondisi orang lain serta adanya perasaan menyayangi dan dorongan untuk menolong orang lain tersebut. Kemampuan memahami kondisi orang lain dapat menumbuhkan perasaan mau menerima keberadaan orang lain, sikap maklum, hormat, dan mampu menerima kondisi orang tersebut apa adanya. Sedangkan perasaan menyayangi menimbulkan perasaan empati atau perasaan ikut merasakan apa yang dirasakan orang lain serta kecenderungan untuk menolong.
Pemilikan sensitivitas sosial pada diri individu merupakan produk pembentukan semenjak usia dini. Pengembangan sensitivitas sosial pada usia anak memerlukan dua kondisi kejiwaan yang perlu dikembangkan secara bersama semenjak awal usia, yaitu perasaan dicintai dan juga perasaan mencintai. Dua kondisi kejiwaan yang bersifat timbal balik itu, menimbulkan perasaan diterima dan mampu menerima. Keduanya harus dikembangkan secara bersamaan.
Perasaan dicintai menimbulkan perasaan diterima oleh lingkungannya, terutama oleh kedua orang tua dan keluarga dekatnya. Pada kondisi ini, anak merasa kepentingan pribadinya terpenuhi. Sementara itu, anak juga perlu dilatih untuk mencintai dan memenuhi kepentingan orang lain, terutama ibu, bapak, atau orang-orang yang dekat secara fisik dengan dirinya, seperti kakek, nenek, atau pengasuh.
Dengan adanya proses pengembangan perasaan dicintai dan mencintai secara bersamaan, rasa cinta dan penerimaan terhadap diri sendiri dan orang lain dapat berkembang bersama. Hal itu merupakan modal tumbuh kembangnya daya sensitifitas sosial yang positif. Kondisi tersebut akan menjadi modal dalam pengembangan ketrampilan sosial pada usia-usia selanjutnya, yaitu kemampuan bergaul, berkomunikasi secara afektif dan efektif, serta bersimpati dan empati terhadap keadaan orang lain.
Baca Juga: Menguatkan Kehidupan Sosial Budaya Bangsa
Modal pemilikan sensitivitas sosial pada usia anak, menjadi modal kesehatan jiwa serta modal dalam pengembangan keterampilan sosial pada usia-usia selanjutnya (Hurlock, 1978). Kegagalan pengembangan kondisi tersebut dapat menjadi bibit terjadinya penyakit jiwa pada usia-usia berikutnya yang terekspesikan dalam sikap dan perilaku dalam kehidupan sosial.
Di antara contoh penyakit jiwa itu tampak pada kecenderungan untuk suka menimbulkan pertengkaran, tidak suka terhadap keberhasilan orang lain, tidak suka berbagi dengan orang lain, dan suka terhadap kegagalan orang lain.
Untuk pengembangan sensitivitas sosial pada usia remaja dan dewasa, lebih ditekankan pada adanya keberlanjutan dari pengembangan sensitivitas sosial pada usia anak dalam bentuk tindakan atau aksi. Kegiatan aksi sosial seperti kepanduan, Palang Merah Indonesia (PMI), pengabdian masyarakat, dan kegiatan sosial di lingkungan masyarakatnya akan menjadi sarana pengembangan lanjut dari sensitivitas sosial yang telah dimiliki semenjak usia kanak-kanak. Namun hal itu masih perlu dikuatkan dengan pembentukan kesadaran tentang tujuan hidup kemanusiaan, yaitu kesadaran tentang dan untuk apa manusia diciptakan dan hidup di dunia.
Hal di atas seringkali tidak disadari oleh pihak orang tua dan guru atau sekolah sebagai pendidik. Indikasinya tampak pada harapan mereka terhadap keberhasilan para anak didik, yaitu tercapainya keberhasilan karir dan finansial semata. Para pendidik, baik dalam keluarga, sekolah, maupun masyarakat, sering lebih mengedepankan dan mendorong anak didik untuk mencapai keberhasilan materi atau finansial melalui karirnya kelak. Sebagian di antaranya lupa mendorong agar anak didik juga memperoleh keberhasilan hidup secara spiritual, yaitu sebagai hamba Allah yang ikut bertanggung jawab terhadap kesejahteraan hidup di dunia dan akhirat (Q.S. al-Baqarah: 200-201)
Agar sensitivitas sosial mampu melekat dalam pribadi setiap individu, diperlukan adanya kesadaran dan usaha untuk sering terlibat dalam kegiatan sosial, terutama yang bersifat pemberian bantuan, baik secara umum maupun yang bersifat pemberdayaan. Dalam Islam, kepemilikan sifat pemurah pada setiap diri individu manusia menjadi bagian penting dalam kehidupan bermasyarakat.
Perintah dan anjuran untuk berbagi tercantum dalam banyak ayat al-Quran maupun Hadis Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Dalam al-Quran pun, perintah salat dan membayar zakat selalu berdampingan dengan banyak ayat yang mengisyaratkan bahwa hubungan dengan Allah dan peduli terhadap kesejahteraan kemanusian menjadi bagian penting keberislaman seseorang.
Oleh karena itu, agar daya sensitivitas sosial seseorang selalu terjaga dan lekat menjadi bagian dari kepribadiannya, perlulah dirinya selalu terlibat dalam aktivitas sosial yang bersifat memberi, apapun bentuknya dan sebesar atau sekecil apapun kadarnya. “Memberi” harus menjadi bagian dari semangat hidup. “Memberi” harus menjadi bagian dari karakter.
Asah Sensitivitas Sosial
‘Aisyiyah sebagai bagian dari Muhammadiyah adalah gerakan sosial keagamaan berdasar pada teologi al-Ma’un yang diterapkan dalam bentuk gerakan amal. Hal ini berlaku semenjak awal berdirinya, yang dimotori oleh Kiai Dahlan dan juga Nyai Walidah pada tahun 1912 bagi Muhammadiyah dan tahun 1917 pada ‘Aisyiyah. Sudah satu abad lebih gerakan amal itu diterapkan dalam bentuk berbagai macam gerakan amal, gerakan ta’awun, yaitu gerakan pemberian santunan pada masyarakat yang membutuhkan, dan berbagai bentuk amal usaha lain.
Panti asuhan, sekolah dari tingkat PAUD dan Taman Kanak-Kanak sampai perguruan tinggi, maupun rumah sakit di seluruh pelosok negeri diperuntukkan bagi semua kalangan masyarakat, baik yang muslim ataupun beragama selain Islam. Karakter berkesadaran sosial yang tinggi telah menjadi bagian dari kepribadian para aktivis atau penggerak, serta para simpatisan ‘Aisyiyah dan Muhammadiyah, sehingga menjadikan ‘Aisyiyah-Muhammadiyah sebagai gerakan sosial yang terpercaya.
Bagaimana para aktivis itu mampu memiliki pribadi yang berkarakter, suka menolong secara sukarela (filantropis-volunteris), atau disebut juga sebagai bersemangat ta’awun? Pasti itu merupakan produk dari proses pembentukan kepribadian panjang, yang melibatkan peran keluarga pada masa anak dan masa mudanya, peran sekolah dan lingkungan masyarakatnya, serta lingkungan keluarga setelah rumah tangga yang kemungkinan besar mendukung perkembangan kepribadian para aktivis itu.
Tantangan pengembangan kepribadian yang memiliki karakter sensitifitas sosial yang tinggi dan bahkan bisa menjadi pribadi yang filantropis-volunteris semakin berat ketika dunia media sosial telah menguasai kehidupan masyarakat. Anak-anak serta para remaja dan pemuda lebih dekat dengan peralatan untuk bermedia sosial dari pada kehidupan sosial nyata.
Situasi ini, terutama di masa pandemi yang belum dapat ditentukan selesainya, menjadi kendala yang serius bagi pengembangan kesadaran sosial khususnya bagi anak dan remaja yang diharap akan menjadi penerima estafet gerakan filantropis-volunteris ‘Aisyiyah-Muhammadiyah. Kalau biasanya proses pengembangan kesadaran sosial dapat dilakukan melalui pergaulan dalam keluarga, sekolah, dan masyarakat, pada situasi sekarang ini keluarga menjadi andalannya.
Meskipun tidak mudah, sekolah-sekolah, khususnya milik ‘Aisyiyah-Muhammadiyah, perlu tetap memikirkan pengembangan daya sensitivitas sosial para siswa agar tetap dapat berkembang melalui kerjasama dengan pihak orang tua siswa. Walaupun sekolah mulai dari tingkat Taman Kanak-Kanak hingga Sekolah Menengah masih menggunakan proses pembelajaran daring, pemahaman dan praktik-praktik tentang kesadaran sosial mesti tetap dilaksanakan dengan menggunakan pendekatan spiritualitas Islam.
Contoh pengembangan sensitivitas sosial adalah dengan memberi para siswa pemahaman tentang pentingnya gerakan sosial yang dilandaskan pada nilai-nilai Islam yang dilakukan oleh ‘Aisyiyah-Muhammadiyah. Perlu ada pengembangan kurikulum yang terkait dengan pengembangan kesadaran sosial pada siswa yang didasarkan pada nilai-nilai Islam.
Hal itu menjadi penting agar para siswa di lingkup lembaga pendidikan yang dikelola oleh ‘Aisyiyah-Muhammadiyah memiliki pemahaman tentang dasar-dasar dan macam gerakan sosial ‘Aisyiyah-Muhammadiyah. Selanjutnya, hal itu akan menjadi modal pembentukan kesadaran sosial keagamaan para siswa, yang akan mendampingi perkembangan kecerdasan intelektual pada para siswa tersebut di usia-usia selanjutnya. Dengan demikian, di masa depannya, mereka akan menjadi calon kader/aktivis ‘Aisyiyah-Muhammadiyah.
Kesadaran (sensitivitas) sosial merupakan salah satu bagian dari kepribadian manusia yang akan selalu berdampingan dengan sifat egois, mementingkan keperluan diri sendiri. Oleh karena itu, sikap sadar akan pentingnya rasa memahami, serta simpati dan empati pada kebutuhan orang lain perlu terus dibina oleh masing-masing individu agar tetap memiliki daya sensitivitas sosial yang tinggi. Terlibat dalam gerakan ta’awun merupakan sarana untuk memelihara daya sensitivitas sosial agar tetap terjaga.
3 Comments