Oleh: Hendro Muhaimin
Hari Ulang Tahun Republik Indonesia (HUT RI) menjadi momen yang sangat tepat bagi Indonesia untuk menguatkan kembali semangat nasionalisme di tengah melesatnya teknologi digital. Kedaulatan bangsa harus tetap dijaga, baik di dunia nyata maupun di dunia maya. Tanpa peneguhan ini, era digital bisa menjadikan masa depan Indonesia sebagai ‘negara jajahan’ yang kehilangan kedaulatan bisa saja terwujud.
Fakta itu sekaligus mengisyaratkan dua hal, tantangan dan peluang. Sebagai tantangan, umat Islam harus memiliki komitmen dan integritas tinggi di tengah keterpurukan dan carut marutnya keadaan yang ada. Medan di depan mata bukan lagi palagan adu kekuatan, tetapi bagaimana berebut partisipasi mengisi kemerdekaan. Itulah yang sering diistilahkan merekonstruksi spirit nasionalisme dalam era digital.
Perjalanan membentuk bangsa yang sudah tujuh dekade ini, mestinya sudah final. Berdirinya persyarikatan Muhammadiyah pada tahun 1912 mempunyai terjemahan tersendiri terhadap kolonial Belanda waktu itu, yakni penegasan bahwa pendidikan itu penting untuk mencerdaskan bangsa.
Meskipun dikesankan mengekor pada cara dan kurikulum yang diajarkan Belanda pada masa itu yang kemudian dikembangkan di pesantrennya. Namun, pada akhirnya memberikan interpretasi bagaimana cara menguatkan nasionalisme dan kesadaran kebangsaan guna membangun bangsa ini agar lebih mulia.
Baca Juga: HUT Ke-76 RI, Haedar Nashir: Tidak Ada Bangsa yang Maju di Atas Puing Perpecahan
Dalam The Nation and Its Fragments, Parthe Chatterjee mengajukan pendapat bahwa nasionalisme anti kolonial menciptakan wilayah kedaulatannya sendiri di dalam masyarakat kolonial, jauh sebelum ia memulai pertempuran politiknya dengan kekuasaan penjajah. Ini mengimplikasikan bahwa selain wilayah materi dari nasionalisme politik, terdapat juga wilayah spiritual di dalamnya, tempat identitas budaya otonom dipelihara.
Inilah yang mendasari pernyataan di awal bahwa identitas kebangsaan Muhammadiyah adalah nasionalisme keagamaan (religio-nasionalism). Sehingga peran persyarikatan Muhammadiyah sebagai organisasi besar yang ada di Indonesia mempunyai tanggung jawab penuh untuk tetap menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Tidak lupa, sejarah adalah salah satu cara untuk mempertahankan semangat nasionalisme. Apa yang telah dilakukan oleh pergerakan sosial-keagamaan Muhammadiyah di masa lalu setidaknya memberikan pelajaran penting bagi bangsa.
Diketahui bahwa kenyataannya nilai-nilai kepemimpinan merupakan solusi untuk meningkatkan rasa nasionalisme, terlebih untuk melayani masyarakat, karena harus ada seorang pemimpin yang memulai gerakan agar terjadi perubahan. Apalagi di saat-saat seperti ini, di mana bangsa kita sedang dihadapkan dengan berbagai masalah, utamanya penyimpangan moral dan kekuasaan.
Korupsi masih terus merajalela. Inilah yang kemudian menjadikan masyarakat tidak mendapatkan keteladanan yang baik dari para pemimpin. Namun, pada akhirnya kita cukup berkesimpulan bahwa integritas pemimpin haruslah menjadi ukuran dan ikhtiar bersama demi membangun peradaban Indonesia.
Selain itu, seorang pemimpin juga harus punya semangat dan memiliki jiwa nasionalisme yang tinggi yang mampu membela kepentingan Nasional dan kepentingan rakyatnya serta membawa kemajuan peradaban, perekonomian, dan kesejahteraan bangsa Indonesia.
Baca Juga: Islam dan Cinta Tanah Air
Mungkin kita bisa belajar dari spirit dan nilai-nilai sejarah pergerakan sosial-keagamaan Muhammadiyah. Studi sejarah pergerakan Islam di kawasan Asia Tenggara telah mencatat bahwa gerakan sosial keagamaan Muhammadiyah memberikan andil penting bagi penyemaian sekaligus tumbuhnya benih-benih gerakan nasionalisme dalam proses dekolonialisasi bangsa Indonesia.
Kemunculan gerakan sosial-keagamaan ini di tengah arus kolonialisasi setidaknya memiliki dua arti penting, yaitu menandai titik balik kesadaran masyarakat muslim Indonesia dalam strategi meruntuhkan tembok kolonialisasi yang mengunjam dunia Islam pada saat itu, dan meletakan landasan kebudayaan (cultural) sebagai basis fundamental bagi perjuangan pergerakan kebangsaan.
Nasionalisme di Era Digital
Lalu, bagaimana merekonstruksi nasionalisme dalam menghadapi era digital dengan perubahan-perubahan yang begitu cepat?
Kini, ketika globalisasi dan berkembangnya teknologi informasi telah mengakibatkan kaburnya batas-batas antar negara (baik secara politik, ekonomi, maupun sosial), masalah nasionalisme tidak lagi dapat dilihat sebagai masalah sederhana yang dapat dilihat dari satu perspektif saja.
Pertanyaan tentang apakah negara-bangsa tetap eksis pada era digital pada 100 tahun ke depan, sebenarnya juga dialami semua bangsa. Hampir semua negara mengalami seperti kita. Tergantung kepada kita apakah bisa membangun stimulus kepada warga Negara bahwa sebenarnya ada nilai-nilai positif yang bisa dikembangkan melalui media digital.
Di era sistem digital, yang ditandai hadirnya transformasi produk media, seperti e-book, internet, koran digital, e-library, e-shop telah membawa dampak tersendiri akan kemajuan teknologi digital. Belum lagi dengan tumbuh kembangnya sosial media yang beragam dan terus berganti hingga pasar terkecil dari media pun diambil.
Meski manfaatnya amat besar, namun di sisi lain telah memunculkan persoalan yang tidak bisa dilepaskan dari pengaruh negatif kemajuan teknologi ini. Harus disadari bahwa kini revolusi digital, yang dimulai 1990-an di Tanah Air, aliran informasi melalui media massa, komunikasi antarmanusia makin jelas, akurat, dan cepat. Untuk itu, penting adanya kesadaran di setiap insan untuk tetap mengedepankan dan membangun akhlak mulia.
Baca Juga: Islam Berkemajuan sebagai Strategi ‘Aisyiyah Menjawab Tantangan Zaman
Mewujudkan manusia Indonesia yang berakhlak mulia dan menghindari akhlak tercela dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam kehidupan individu maupun kehidupan sosial sebagai manifestasi dari ajaran dan nilai-nilai akidah Islam.
Terkait pendidikan, nilai-nilai akidah Islam memiliki kontribusi dalam memberikan motivasi kepada umat Islam untuk mempelajari dan mempraktikkan akidahnya dalam bentuk pembiasaan untuk melakukan akhlak terpuji dan menginternalisasikan nilai-nilai luhur seperti nilai-nilai keutamaan, nilai kerja keras, nilai cinta tanah air, nilai demokrasi, nilai kesatuan, menghidupi nilai-nilai moral, dan nilai-nilai kemanusiaan dalam kehidupan sehari-hari.
Akhlaqul karimah ini sangat penting dipraktikkan dan dibiasakan oleh umat Islam dalam kehidupan individu, bermasyarakat dan berbangsa, terutama dalam rangka mengantisipasi dampak negatif dari era globalisasi dan krisis multidimensional yang melanda bangsa dan Negara Indonesia.
Indonesia merupakan Negara yang memiliki kekayaan sumber daya alam dan ragam budaya yang sudah semestinya dijaga dan dilestarikan. Hal ini karena, di tangan pemimpin yang mengedepankan akhlak mulia, yang cinta pada bangsanya, sumber daya alam di negeri ini sudah barang tentu menjadi aset yang begitu berharga untuk mencapai kemakmuran bangsa dan tanah air Indonesia.
Dengan memberikan teladan sikap dan perilaku, tidaklah susah bagi seorang pemimpin untuk mengarahkan kemudi kepemimpinannya mencapai cita-cita bangsa Indonesia. Membangun Indonesia adil dan makmur merupakan amanah konstitusi dan dasar negara Pancasila.