Fikih PerempuanHajiHikmah

Menyoal Fikih Haji Perempuan

Oleh: Lailatis Syarifah*

Allah menciptakan manusia dari jenis laki-laki dan perempuan dengan ciri khasnya masing-masing. Kekhasan ini menyebabkan beberapa ketentuan fikih khusus bagi perempuan dalam hal ibadah, salah satunya adalah ibadah haji. Terdapat beberapa persoalan di sekitar Fiqh Haji Perempuan.

Persoalan mahram

Salah satu yang menjadi persoalan bagi perempuan dalam melaksanakan ibadah haji adalah bepergian tanpa mahram. Beberapa hadis menyebutkan larangan bagi perempuan melakukan perjalanan jauh tanpa mahram. Salah satunya adalah hadis berikut,

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لاَ يَحِلُّ لِامْرَأَةٍ تُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ أَنْ تُسَافِرَ مَسِيْرَةَ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ إِلاَّ مَعَ ذِىْ مَحْرَمٍ)  رواه مسلم)

Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra., Rasulullah saw bersabda: “Tidak halal bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir bepergian selama sehari semalam kecuali didampingi oleh mahramnya”. [H.r. Muslim].

Beberapa hadis lainnya menunjukkan larangan bepergian bagi perempuan tanpa mahram dengan jarak yang berbeda-beda, seperti dua hari, tiga hari, tiga mil, bahkan secara mutlak. Namun, hadis-hadis tersebut bertentangan dengan hadis lainnya yang menunjukkan bahwa Rasulullah tidak melarang ketika mendapati perempuan melakukan perjalanan tanpa mahram.

Rasulullah mengizinkan istrinya melaksanakan hajinya yang terakhir serta mengutus Utsman bin Affan dan Abdurrahman bin Auf ra. menemani mereka. Rasulullah juga bersabda kepada ‘Adi bin Hatim ra.: “Apabila engkau berumur panjang, maka engkau akan melihat seorang perempuan berpindah (safar) dari satu kampung sehingga ia berthawaf di Ka’bah dan dia tidak takut kepada seorang pun kecuali kepada Allah”. [H.r. Bukhari]

Dapat disimpulkan bahwa hadis-hadis di atas seakan-akan bertentangan. Oleh karena itu para ulama melakukan “al-jam`u wat taufîq” (penyatuan dan pemufakatan) jika mendapat hadis-hadis yang terlihat bertentangan. Dengan cara tersebut, dapat dipahami bahwa larangan bepergian bagi perempuan tanpa mahram adalah karena alasan keamanan, bukan keharaman karena melakukan perbuatan dosa.  Oleh karena itu, jika keamanan seorang perempuan terjamin saat melakukan perjalanan, maka bepergian tanpa mahram tidak menjadi persoalan. Apalagi jika kita lihat kondisi haji terkini yang dilaksanakan dengan prosedur yang ketat serta fasilitas yang benar-benar menjamin kenyamanan dan keamanan hujjâj.

Konsumsi Obat Penunda Haid

Seiring berkembangnya pengobatan, saat ini ditemukan obat yang dapat membantu perempuan agar haidnya tertunda, sehingga dapat melaksanakan ibadah haji terutama thawaf dengan nyaman tanpa diganggu oleh datangnya haid. Larangan melaksanakan thawaf bagi perempuan yang sedang haid terdapat dalam hadis berikut,

Dari Aisyah r.a. [diriwayatkan bahwa] ia berkata: Kami keluar [dari Madinah menuju Mekah] dengan niat berhaji saja sehingga ketika kami sampai di Sarif atau mendekatinya aku haid, lalu Nabi saw mendatangiku ketika aku sedang menangis, lalu beliau bertanya: Apakah engkau keluar darah? Maksud beliau haid. ‘Aisyah melanjutkan: Aku pun menjawab: Ya. Lalu beliau bersabda: Ini adalah ketentuan yang sudah ditetapkan kepada kaum perempuan. Lakukanlah apa yang dilakukan oleh jamaah haji lainnya. Hanya saja jangan melakukan tawaf, hingga engkau mandi [H.r. Muslim].

Berdasarkan hadis di atas dan hadis lainnya, para ulama sepakat bahwa yang diharamkan untuk dikerjakan saat perempuan haid hanyalah thawaf. Sedangkan bentuk ibadah yang lain, seperti sa’i, wukuf di Arafah, bermalam di Mina dan Muzdalifah tetap boleh dikerjakan.

Namun, memperhatikan waktu haji yang terbatas, para ulama berbeda pendapat mengenai perempuan haid yang tetap melakukan thawaf. Menurut Syafi`iyyah, seorang perempuan yang sedang haid boleh mengerjakan rangkaian ibadah haji kecuali thawaf, dan harus menunggu hingga kondisi suci baru melakukan thawaf. Hanafiyah berpendapat bahwa mengerjakan thawaf harus dalam keadaan suci. Maka, apabila seorang perempuan haid melakukan thawaf, maka thawafnya sah namun harus membayar dam atau denda. Pendapat lainnya menyatakan bahwa perempuan haid boleh mewakilkan thawafnya kepada orang yang telah melakukan thawaf.

Meminum obat penunda haid bagi perempuan merupakan salah satu solusi agar dia tidak haid saat melakukan thawaf, meskipun sebenarnya para ulama juga memiliki pandangan berbeda mengenai hukum perempuan haid melaksanakan thawaf. Oleh karena itu, meminum obat penunda haid hukumnya adalah boleh karena pada dasarnya segala sesuatu itu boleh selama tidak ada dalil yang mengharamkannya. Namun, tentu penggunaan obat ini harus dengan memperhatikan petunjuk dari ahli agar terjamin kesehatan dan keamanan penggunanya.

Persoalan Menutup Aurat

Persoalan lainnya adalah bagaimana perempuan haji menutup auratnya, terutama saat bersuci di tempat terbuka. Hal ini berdasarkan hadis berikut,

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا، أَنَّ أَسْمَاءَ بِنْتَ أَبِي بَكْرٍ، دَخَلَتْ عَلَى رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَعَلَيْهَا ثِيَابٌ رِقَاقٌ، فَأَعْرَضَ عَنْهَا رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَقَالَ: يَا أَسْمَاءُ، إِنَّ الْمَرْأَةَ إِذَا بَلَغَتِ الْمَحِيضَ لَمْ تَصْلُحْ أَنْ يُرَى مِنْهَا إِلَّا هَذَا وَهَذَا وَأَشَارَ إِلَى وَجْهِهِ وَكَفَّيْه [رواه أبو داوود].

Dari ‘Aisyah r.a. (diriwayatkan) bahwa Asma’ binti Abu Bakar masuk ke tempat Rasulullah saw dengan memakai baju yang tipis, kemudian Rasulullah saw berpaling daripadanya dan bersabda, hai Asma’, sesungguhnya apabila wanita itu sudah sampai masa haid, tidaklah boleh dilihat sebagian tubuhnya kecuali ini dan ini. Beliau menunjuk kepada muka dan kedua tapak tangannya [H.r. Abu Dawud dan dikatakan hadis ini mursal, tetapi al-Albani mengatakan hadis ini sahih].

Berdasarkan hadis ini, yang menjadi persoalan adalah ketika perempuan haji ingin berwudhu di tempat terbuka, meskipun sebenarnya saat ini fasilitas wudhu di tanah suci sangatlah memadai dan membantu untuk perempuan tetap menutup auratnya dengan baik. Sehingga berwudhu di tempat terbuka mestinya tidak akan terjadi kecuali karena keadaan darurat. Oleh karena itu berlaku hukum darurat yang membolehkan bagi perempuan untuk melakukan hal yang dilarang, seperti membuka sedikit auratnya (tangan, kaki, dan kepala) untuk keperluan berwudhu.

Adapun untuk menyapu kepala saat berwudhu, dapat dilakukan dengan menyapu kerudung/hijab/penutup kepala sebagaimana Rasulullah juga menyapu surbannya sebagai pengganti menyapu kepala. Demikian halnya kaki dan tangan dapat dibuka saat berwudhu dengan syarat hanya dibuka sekadar keperluan berwudhu atau tidak berlebih-lebihan. Namun, jika sudah bersuci sebelumnya, perempuan dapat melakukan al-mashu (mengusah tangan basah) pada penutup kaki/sepatu sebagai pengganti mencuci kaki.

Persoalan Memakai Wangi-wangian

Pelaksanaan ibadah haji dan umrah dimulai dengan ihram, ketika telah ber-ihram yang ditandai dengan memakai pakaian ihram, dan berangkat dari miqat, maka berlaku berbagai larangan. Larangan-larangan tersebut adalah: (1) mengenakan pakaian berjahit, (2) memakai tutup kepala bagi laki-laki, (3) menutup wajah bagi perempuan, (4) mengurai rambut, (5) mencukur atau mencabut rambut kepala maupun di badan, (6) memotong kuku, (7) mengenakan wangi-wangian, (8) membunuh binatang buruan, (9) melangsungkan akad nikah, dan (10) berhubungan badan.

Dari larangan tersebut yang biasanya menjadi persoalan bagi perempuan adalah menggunakan bahan-bahan beraroma, seperti minyak angin aroma terapi atau krim perawatan wajah dan lain-lain. Untuk menjawab ini, caranya adalah dengan melihat kepada fungsi bahan-bahan tersebut, karena yang dilarang adalah bahan yang berfungsi untuk minyak wangi. Maka, jika kita lihat fungsi minyak angin ataupun krim wajah adalah sebagai obat, bukan sebagai minyak wangi maka tentu hukumnya berbeda yaitu diperbolehkan. Wallahu A`lam.

*Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah dan MPK PP ‘Aisyiyah

 

Related posts
Haji

Menko PMK Apresiasi Sukses Haji Tahun Ini

Makkah-Suara ‘Aisyiyah. Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Muhadjir Effendy mengapresiasi kesuksesan penyelenggaraan ibadah haji 1445 H/2024 M. Menurutnya…
Haji

Pemerintah Arab Saudi: Jemaah Haji 2024 1,8 Juta Orang, Terbanyak Dari Asia

Makkah-Suara ‘Aisyiyah. Jumlah jemaah haji tahun 2024 mencapai 1,8 juta orang. Hal tersebut disampaikan oleh General Authority for Statistics Arab Saudi  Arab…
Haji

Jemaah KBIHU 'Aisyiyah City Tour Ke Thaif, Belajar Sejarah Nabi dan Kagumi Alam Thaif

Makkah-Suara ‘Aisyiyah. Usai melaksanakan puncak ibadah haji, sembari menanti jadwal pendorongan menuju Madinah, tidak jarang jemaah menggunakan waktunya untuk melakukan rihlah atau…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *