Oleh: Aris Rakhmadi*
Setiap bulan Agustus, rakyat Indonesia memperingati Hari Ulang Tahun Kemerdekaan dengan semarak. Dari upacara bendera hingga lomba-lomba rakyat. Suasana penuh semangat terasa di berbagai penjuru negeri. Namun di balik semua perayaan itu, kita diajak untuk merenungi: apa makna kemerdekaan yang sejati, terutama bagi umat Islam?
Bagi seorang muslim, kemerdekaan bukan sekadar peristiwa sejarah politik. Ia adalah bagian dari misi kemanusiaan yang diamanahkan oleh agama, yakni membebaskan manusia dari berbagai bentuk penindasan—baik fisik, ekonomi, sosial, maupun spiritual. Islam memandang kemerdekaan sebagai prasyarat dasar bagi manusia untuk dapat hidup bermartabat dan menunaikan peran kekhalifahan di muka bumi.
Hal ini selaras dengan pesan Al-Qur’an dalam surah An-Nisa ayat 75, yang dengan sangat jelas menyuarakan pembelaan terhadap kaum yang tertindas. Dalam ayat ini, Allah mengecam sikap diam dan pasif terhadap ketidakadilan, serta memerintahkan umat Islam untuk bangkit memperjuangkan hak-hak mereka yang dilemahkan oleh sistem dan kekuasaan yang zalim:
وَمَا لَكُمْ لَا تُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَالْمُسْتَضْعَفِينَ مِنَ الرِّجَالِ وَالنِّسَاءِ وَالْوِلْدَانِ ۖ الَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَا أَخْرِجْنَا مِنْ هَذِهِ الْقَرْيَةِ الظَّالِمِ أَهْلُهَا وَاجْعَل لَّنَا مِن لَّدُنكَ وَلِيًّا وَاجْعَل لَّنَا مِن لَّدُنكَ نَصِيرًا
“Mengapa kamu tidak mau berperang di jalan Allah dan (membela) orang-orang yang tertindas, baik laki-laki, perempuan maupun anak-anak, yang berdoa: ‘Ya Tuhan kami, keluarkanlah kami dari negeri ini yang penduduknya zalim, dan berilah kami pelindung dari sisi-Mu, dan berilah kami penolong dari sisi-Mu.'” (QS. An-Nisa: 75)
Membela kaum lemah merupakan bagian dari misi keimanan. Sebagaimana ditegaskan dalam ayat ini. Dalam konteks bangsa Indonesia, perjuangan merebut dan menjaga kemerdekaan adalah wujud nyata dari pembelaan terhadap yang tertindas. Maka, memperingati kemerdekaan bukan hanya mengingat masa lalu, melainkan menegaskan komitmen umat beriman untuk terus menegakkan keadilan dan melawan segala bentuk kezaliman hingga hari ini.
Islam dan Kemerdekaan; Membebaskan Bukan Menindas
Sejak awal kedatangannya, Islam telah membawa misi pembebasan—bukan hanya secara spiritual, tetapi juga sosial dan kemanusiaan. Nabi Muhammad SAW diutus untuk mengangkat derajat manusia, menghapus perbudakan, menegakkan keadilan, dan menghapus sistem yang menindas yang lemah. Maka, kemerdekaan dalam pandangan Islam bukanlah sekadar lepas dari penjajahan, tetapi juga lepas dari segala bentuk ketertindasan yang menghilangkan martabat manusia.
Ayat QS. An-Nisa: 75 yang sebelumnya telah dikutip tidak hanya relevan dalam konteks sejarah perjuangan umat Islam, tetapi juga sangat kontekstual dalam merefleksikan perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia. Ayat ini menyebut laki-laki, perempuan, dan anak-anak—semua disebut sebagai al-mustadh’afin (kaum yang dilemahkan). Dalam konteks keindonesiaan, mereka bisa saja berarti rakyat kecil, kaum miskin, kaum perempuan, anak-anak yang terpinggirkan, dan siapa pun yang tidak memiliki akses terhadap keadilan dan kesejahteraan.
Baca Juga: Meneladani Patriotisme Mohammad Hatta dalam Perjuangan Kemerdekaan Indonesia
Kemerdekaan sejati, dalam cahaya Islam, adalah ketika setiap orang bisa hidup dengan aman, bebas dari rasa takut, lapar, dan terasing, serta memiliki hak untuk belajar, bekerja, dan beribadah. Kemerdekaan bukan akhir dari perjuangan, tetapi awal dari tanggung jawab untuk mewujudkan masyarakat yang adil, damai, dan beradab.
Refleksi atas sejarah perjuangan bangsa Indonesia memperlihatkan bahwa kemerdekaan diraih tidak hanya dengan senjata. Tetapi juga dengan keyakinan, keberanian, dan solidaritas sosial. Banyak tokoh kemerdekaan Indonesia yang terinspirasi oleh nilai-nilai Islam, dan mereka percaya bahwa menegakkan keadilan adalah bagian dari ibadah. Oleh karena itu, memperingati kemerdekaan dalam cahaya Islam artinya menghidupkan semangat membela yang lemah, melindungi yang tertindas, dan membangun kehidupan yang lebih manusiawi bagi semua.
Merah Putih di Hati, Iman di Jiwa; Iman Sebagai Pendorong Amal Sosial
Kemerdekaan sejati tidak dapat dipisahkan dari nilai-nilai keimanan yang hidup dalam hati para pejuang dan rakyat. Dalam sejarah bangsa, kita mengenal banyak tokoh yang berjuang bukan hanya karena nasionalisme, tetapi juga karena dorongan iman kepada Allah. Iman menjadi energi moral yang membangkitkan keberanian, kesabaran, dan pengorbanan. Tanpa keimanan yang kuat, perjuangan akan kehilangan arah dan makna.
Al-Qur’an menegaskan bahwa iman bukanlah sebatas pengakuan dalam hati atau lisan, tetapi harus diwujudkan dalam bentuk amal sosial dan pengabdian terhadap kemanusiaan. Hal ini ditegaskan dalam QS. Al-Baqarah ayat 177, sebuah ayat yang menjadi landasan penting bagi etika sosial dalam Islam. Ayat ini menyebutkan bahwa kebaikan (al-birr) bukan hanya pada simbol-simbol ibadah, melainkan pada keimanan yang melahirkan tindakan nyata: memberi kepada yang membutuhkan, memerdekakan budak, menunaikan salat dan zakat, menepati janji, serta bersabar dalam penderitaan.
لَّيْسَ ٱلْبِرَّ أَن تُوَلُّوا۟ وُجُوهَكُمْ قِبَلَ ٱلْمَشْرِقِ وَٱلْمَغْرِبِ وَلَـٰكِنَّ ٱلْبِرَّ مَنْ ءَامَنَ بِٱللَّهِ وَٱلْيَوْمِ ٱلْـَٔاخِرِ وَٱلْمَلَـٰٓئِكَةِ وَٱلْكِتَـٰبِ وَٱلنَّبِيِّـۧنَ ۖ وَءَاتَى ٱلْمَالَ عَلَىٰ حُبِّهِۦ ذَوِى ٱلْقُرْبَىٰ وَٱلْيَتَـٰمَىٰ وَٱلْمَسَـٰكِينَ وَٱبْنَ ٱلسَّبِيلِ وَٱلسَّآئِلِينَ وَفِى ٱلرِّقَابِ ۖ وَأَقَامَ ٱلصَّلَوٰةَ وَءَاتَى ٱلزَّكَوٰةَ ۗ وَٱلْمُوفُونَ بِعَهْدِهِمْ إِذَا عَـٰهَدُوا۟ ۖ وَٱلصَّـٰبِرِينَ فِى ٱلْبَأْسَآءِ وَٱلضَّرَّآءِ وَحِينَ ٱلْبَأْسِ ۗ أُو۟لَـٰٓئِكَ ٱلَّذِينَ صَدَقُوا۟ ۖ وَأُو۟لَـٰٓئِكَ هُمُ ٱلْمُتَّقُونَ
“Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, dan nabi-nabi; serta memberikan harta yang dicintainya kepada kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir, dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya; mendirikan salat, menunaikan zakat; menepati janji apabila berjanji; serta orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan, dan pada masa peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (iman dan amalnya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al-Baqarah: 177)
Keimananan untuk Memerdekakan Manusia
Nilai-nilai dalam ayat tersebut menegaskan bahwa keimanan yang hakiki tak berhenti pada keyakinan atau arah kiblat, melainkan diwujudkan dalam tindakan nyata yang berorientasi pada kemanusiaan. Seorang mukmin dituntut untuk peduli terhadap yatim dan miskin, rela berbagi harta, menepati janji, serta menegakkan keadilan. Di dalamnya termasuk usaha memerdekakan manusia—sebuah prinsip pembebasan sosial yang menjadi inti ajaran Islam sekaligus ruh dari perjuangan kemerdekaan bangsa.
Kemerdekaan Indonesia bukan hanya hasil dari diplomasi dan pertempuran, tetapi juga karena nilai-nilai iman yang menghidupkan semangat berkorban. Para pahlawan menanggung derita dan risiko kehilangan nyawa demi generasi yang lebih merdeka. Dalam semangat ini, setiap insan beriman hari ini diajak untuk tidak berhenti pada mengenang kemerdekaan, tetapi juga menghidupkannya kembali dalam amal sosial, kejujuran, dan kepedulian yang berkelanjutan.\
Perempuan dan Nilai Iman: Peran Muslimah dalam Kemerdekaan
Sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia tidak hanya ditulis oleh kaum laki-laki, tetapi juga oleh perempuan-perempuan tangguh yang menjadikan iman dan cinta tanah air sebagai bahan bakar perjuangan mereka. Di antara mereka, para tokoh perempuan Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah seperti Nyai Ahmad Dahlan (Siti Walidah), Siti Bariyah, dan Siti Munjiyah menjadi pelopor dalam memperjuangkan hak pendidikan, penguatan peran sosial perempuan, dan kepedulian kemanusiaan dalam semangat Islam.
Melalui gerakan ‘Aisyiyah, mereka menghadirkan wajah kemerdekaan yang berakar pada nilai-nilai tauhid, keadilan, dan keberdayaan umat. Mereka adalah simbol bahwa perempuan muslimah, dengan bekal iman, telah ikut menyalakan obor kemerdekaan bangsa—baik melalui pendidikan, dakwah sosial, maupun pelayanan kemanusiaan. Dalam konteks QS. An-Nisa: 75, Allah secara eksplisit menyebut perempuan sebagai bagian dari kelompok mustadh’afin (yang dilemahkan), yang patut diperjuangkan dan dibela dari segala bentuk penindasan.
Seruan dalam ayat tersebut tidak terbatas pada pembelaan secara fisik, tetapi mencakup dorongan kuat untuk menegakkan keadilan sosial dan memulihkan martabat perempuan—kelompok yang dalam sejarah kerap mengalami marginalisasi. Lebih dari itu, nama surat yang memuat ayat ini, An-Nisa’ atau “perempuan-perempuan”, mengandung makna simbolik yang menegaskan bahwa Islam memberikan tempat mulia dan peran penting bagi perempuan dalam tatanan sosial dan etika kemasyarakatan.
Kini, setelah terbebas dari belenggu penjajahan fisik, perempuan Indonesia—terutama para muslimah—mengemban peran baru sebagai motor penggerak perubahan di berbagai lini kehidupan, mulai dari pendidikan, dakwah, kesehatan, hingga ekonomi dan pengambilan kebijakan publik. Mereka tidak lagi diposisikan sebagai pihak yang pasif atau terpinggirkan, melainkan tampil sebagai tokoh sentral yang aktif membentuk arah dan masa depan bangsa.
Perjuangan muslimah masa kini adalah perjuangan untuk terus menghidupkan nilai-nilai iman dalam kehidupan sosial, menegakkan keadilan bagi sesama perempuan, anak-anak, dan kelompok yang lemah. Dalam semangat kemerdekaan, mereka adalah penerus nilai-nilai QS. An-Nisa: 75, yang bukan hanya memperjuangkan ruang gerak yang bebas, tetapi juga menjaga nilai-nilai ilahiyah dan kemanusiaan dalam masyarakat.
Mengisi Kemerdekaan dengan Kebajikan dan Kepedulian
Kemerdekaan bukanlah garis akhir dari perjuangan, melainkan titik awal dari sebuah amanah besar. Ia bukan hanya warisan sejarah, tetapi juga tanggung jawab generasi hari ini dan masa depan. Kemerdekaan sejati tidak cukup hanya dirayakan, melainkan harus diisi dan dijaga dengan iman, integritas, dan kepedulian sosial. Dalam kerangka itulah, seorang muslim—khususnya muslimah—perlu menempatkan dirinya sebagai bagian dari solusi umat dan bangsa.
Dalam QS. Al-Baqarah: 177, Allah menggambarkan ciri orang-orang yang benar-benar beriman: mereka adalah yang menunaikan janji, bersabar dalam penderitaan, menolong yang membutuhkan, dan membebaskan sesama dari keterjajahan hidup. Nilai-nilai ini sejalan dengan semangat kemerdekaan yang bukan hanya bebas dari penjajahan fisik, tetapi juga dari belenggu kemiskinan, kebodohan, kezaliman, dan kesenjangan sosial.
Karena itu, semangat kemerdekaan dalam cahaya Islam harus diwujudkan melalui keberanian moral untuk membela yang lemah, kejujuran dalam bekerja, dan ketulusan dalam melayani. Baik laki-laki maupun perempuan, setiap insan beriman dipanggil untuk terus menegakkan keadilan, memperluas kebaikan, dan menjaga martabat bangsa ini dengan akhlak yang mulia.
Di zaman sekarang, penjajahan tidak lagi berbentuk senjata dan kolonialisme, tetapi hadir dalam wujud yang lebih halus namun mematikan—seperti korupsi yang merusak, intoleransi yang memecah belah, ketimpangan yang menindas, dan hilangnya arah spiritual dalam kehidupan. Karena itu, semangat kemerdekaan harus terus dinyalakan. Kita dipanggil untuk memperjuangkan kemerdekaan yang utuh: secara batiniah, moral, dan sosial. Iman harus menjadi cahaya yang menuntun langkah kita dalam membela yang lemah dan memperkuat yang lemah.
Mari kita isi kemerdekaan ini bukan hanya dengan perayaan, tetapi dengan keteladanan. Bukan hanya dengan simbol, tetapi dengan nilai. Karena sesungguhnya, Merah Putih di Hati, Iman di Jiwa adalah ikrar kemerdekaan yang tak berhenti di masa lalu, tetapi terus hidup dalam setiap amal kebaikan hari ini dan esok.
*) Dosen Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS), S3 Studi Informatika Universitas Ahmad Dahlan (UAD)


1 Comment