Oleh: Niki Alma Febriana Fauzi
Tampaknya sudah menjadi ijmak di kalangan para sarjana kontemporer, baik di Timur maupun Barat, bahwa Muhammad ‘Abduh adalah seorang pionir pembaharu Islam (Ridha, 1931; Kerr, 1966; Nasution, 1968; Haddad, 1994; Wain, 2016; El Shamsy, 2020). Ia sering dipotret oleh para pengkaji sebagai intelektual rasionalis yang mampu mengawinkan ajaran Islam dengan modernitas. Karena itu pula, ‘Abduh selain sering dikenal sebagai ulama yang menyerukan secara lantang dibukanya ijtihad, juga diasumsikan sebagai anti-tradisi (turats) dan penentang keras taklid (El Shamsy, 2020).
Anggapan semacam ini barangkali wajar bagi sebagian kalangan. Asumsi ini sangat mungkin lahir dari konstruksi berpikir yang selalu menghadapkan secara vis a vis tradisi (tradition) dengan modernitas (modernity). Kalangan yang terinsipirasi dari gagasan reformasi ‘Abduh akan dengan mudah kita jumpai menyokong banyak hal yang dibawa oleh modernitas.
Tidak perlu jauh-jauh; Muhammadiyah contohnya. Topik modernitas yang erat kaitannya dengan “kemajuan”, oleh Muhammadiyah yang memiliki slogan “Islam Berkemajuan”, mendapat perhatian yang sangat luar biasa, baik di tataran diskursus akademik maupun populer.
Baca Juga: Muhammadiyah Tidak Anti Budaya
Sebagian besar intelektual Muhammadiyah kontemporer berlomba-lomba mengadvokasi dan mengampanyekan capaian-capaian modernitas, namun acap kali (dengan bahasa yang diperhalus) abai terhadap tradisi Islam, khususnya tradisi intelektual Islam (turats). Apakah memang ‘Abduh adalah sosok ulama yang anti-tradisi (turats), sehingga orang atau kalangan yang terinspirasi dari gagasan-gagasannya (termasuk dalam hal ini Muhammadiyah) harus ikut juga anti-tradisi?
Muhammad ‘Abduh: Perawat Tradisi Intelektual Islam
Anggapan bahwa ‘Abduh adalah seorang yang anti-tradisi (turats) tampaknya perlu ditinjau ulang. Ahmed El Shamsy dalam bukunya Rediscovering the Islamic Classics (2020) yang mengajukan tesis baru bahwa ‘Abduh sesungguhnya adalah pembaharu yang sangat konsen dalam merawat tradisi intelektual Islam (turats).
El Shamsy dalam bukunya tersebut menunjukkan betapa beberapa pembaharu Islam, termasuk ‘Abduh, bukanlah orang yang menolak apa yang diwariskan dari masa lalu. Mereka justru yang membangkitkan kembali khazanah turats Islam dengan mengedit dan mempublikasikan karya-karya ulama klasik (karya yang muncul dan berkembang pada abad ke-9 hingga 15) melalui teknologi cetak agar masyarakat pada waktu itu tidak terjebak dalam apa yang disebut El Shamsy sebagai skolastisisme (scholasticism) dan esoterisisme (esotericism) (El Shamsy, 2020).
Skolastisisme dicirikan sebagai tradisi keilmuan yang rigid, dengan corak khasnya yang dominan pada matan, syarah, hashiyah, dan taqarir (ini semua merupakan karya yang berkembang dalam kurun abad ke-16 hingga 19, yang disebut oleh El Shamsy sebagai karya paca-klasik); budaya murid yang tidak dianjurkan membaca teks secara mandiri dan kritis; penekanannya yang berlebih pada sanad keilmuan; dan pertentangannya pada ijtihad.
Sementara esoterisisme dicirikan sebagai tradisi keilmuan yang berbasis pada pencerahan langsung dari Tuhan dan dianggap sama otoritasnya, bahkan melebihi, ilmu rasional (El Shamsy, 2020; French, 2020). Dua kecenderungan inilah yang menurut El Shamsy paling bertanggung jawab atas nyaris punahnya kekayaan intelektual Islam klasik.
Baca Juga: Profil Kiai Ahmad Dahlan: Pikiran dan Gerakan yang Melampaui Zaman
Konsen ‘Abduh pada turats dapat terbaca dari beberapa aktivismenya, antara lain: pertama, merevitalisasi bahasa Arab. Karena bahasa Arab adalah bahasa utama turats, maka ‘Abduh menganggap penting akan hal ini. ‘Abduh berpendapat bahwa tugas seorang intelektual tidak hanya mengajak untuk memperbaiki kondisi masyarakat yang sakit, akan tetapi juga harus memiliki kemampuan mengolah bahasa agar terus relevan dan cocok dengan diskursus publik (El Shamsy, 2020).
Keterbelakangan masyarakat Arab pada waktu itu, menurut ‘Abduh, disebabkan karena keterbelakangan bahasa mereka. Pada level dasar, masyarakat Arab tidak mampu melahirkan kosa kata baru yang dapat digunakan untuk menerjemahkan istilah, gagasan, atau temuan baru yang berkembang.
Pada level lanjut, masyarakat Arab memiliki kecenderungan skolastik yang memperlakukan tradisi intelektual pasca-klasik sebagai otoritatif, sehingga mengakibatkan matinya daya kritis dan kemunduran kualitas bahasa. Kualitas bahasa masyarakat Arab, menurut ‘Abduh, tidak akan mengalami kemunduran apabila mereka mau mengkaji turats, karena bahasa dalam turats mengandung kekayaan makna yang mampu mengolah daya kritis (El Shamsy, 2020).
Upaya ‘Abduh dalam merevitalisasi bahasa Arab semakin mendapatkan momentum ketika ia dipercaya menjadi mufti Mesir pada tahun 1899. Dengan posisi strategis semacam itu, agendanya untuk melakukan reformasi pendidikan relatif menjadi lebih mudah. Terbukti, selain menjadi aktor kunci dalam pengembangan perpustakaan universitas al-Azhar, ‘Abduh juga merupakan tokoh di balik masuknya mata kuliah sastra Arab ke dalam kurikulum al-Azhar.
Tidak berhenti di situ, ‘Abduh juga sampai mendatangkan dua guru besar sastra Arab ke al-Azhar untuk mengajar di sana. Mereka adalah Sayyid bin ‘Ali al-Marshafi dan Muhammad Mahmud al-Shinqithi. Sebelum reformasi pendidikan yang digaungkan ‘Abduh, sastra Arab di anggap tidak penting dan karenanya tidak masuk dalam lembaga-lembaga pendidikan Islam kala itu (El Shamsy, 2020).
Kedua, mengajarkan turats pada murid-muridnya. Hal ini ia praktikkan sejak awal kariernya mengajar di al-Azhar tahun 1877. Karena di al-Azhar masih dilarang mengajarkan mata kuliah di luar kurikulum yang ditetapkan, ‘Abduh berinisiatif membuka kelas tambahan di rumahnya di mana salah satu kitab rujukannya, selain kitab modern, juga adalah kitab turats berjudul Tahdzib al-Akhlak karya Misykawaih (421 H/1030 M), seorang filsuf dan sejarawan abad ke-10.
Baca Juga: Siti Hayinah: Ikon Gerakan Keilmuan ‘Aisyiyah
Selanjutnya, di tahun 1878, ‘Abduh diminta untuk mengajar sastra Arab dan sejarah di Madrasat al-Alsun dan Dar al-Ulum College. Di dua tempat ini, ia mendapatkan keleluasaan untuk menentukan kitab yang dijadikan diktat. Salah satu diktat yang digunakan oleh ‘Abduh adalah kitab Muqaddimah, sebuah karya intelektual fenomenal dari Ibnu Khaldun (808 H/1406 M) (El Shamsy, 2020).
Pada saat pindah ke Beirut, ‘Abduh mengunjungi Tripoli. Di sanalah, ia pertama kali bertemu Rasyid Ridha; pertemuan yang pada gilirannya menghasilkan ikatan persahabatan yang langgeng hingga ‘Abduh wafat. Dua ulama yang sama-sama pengajar ini memiliki keresahan yang sama, yaitu absennya turats dari kurikulum lembaga pendidikan Islam.
Ketika Ridha ditanya oleh ‘Abduh kitab tafsir apa yang ia ajarkan di Tripoli, Ridha lantas menjawab dengan setengah mengeluh. Ia mengatakan bahwa lembaga pendidikannya hanya menyediakan satu kitab tafsir abad 18 yang menurutnya penuh dengan cerita-cerita aneh dan takhayul. Sebagai senior, ‘Abduh memberikan arahan pada Ridha agar memakai tafsir al-Kasyaf yang muncul abad ke-12 karya al-Zamakhsyari (538 H/1144 M), yang terkenal dengan kekuatan analisis bahasa (El Shamsy, 2020).
Ketiga, mengedit dan menerbitkan kitab-kitab turats. Perpindahan ‘Abduh ke Beirut, membuka peluang baginya untuk mengajar di Madrasah Sulthaniyyah dari tahun 1885-1888. Selama di sinilah ia menemukan beberapa manuskrip turats, yang kemudian dia salin, ajarkan di kelas, lalu edit, dan terbitkan.
Manuskrip pertama yang ia edit dan terbitkan adalah karya di bidang sastra linguistik abad ke-10 oleh Badi’ al-Zaman al-Hamadhani (358 H/1008 M) berjudul Maqamat. Menurut El Shamsy, dari berbagai versi kitab Maqamat yang terbit dan beredar hingga hari ini, versi editan ‘Abduh-lah yang terbaik. Ini karena ‘Abduh, menurut El Shamsy, mendasarkannya pada beberapa manuskrip dan juga menambahkan penjelasan bagi istilah-istilah yang sulit dipahami.
Manuskrip kedua yang diedit ‘Abduh adalah Nahj al-Balaghah, sebuah kitab hasil kompilasi dari ceramah-ceramah yang dinisbatkan pada ‘Ali bin Abi Thalib. Kitab ini disusun oleh al-Syarif al-Radhi (406 H/1016 M).
Baca Juga: Etika dalam Mengembangkan Ilmu Pengetahuan
Setelah dari Beirut dan kembali ke Mesir, ‘Abduh mendapatkan kesempatan lebih besar dalam merealisasikan impiannya untuk menerbitkan karya-karya intelektual klasik. Terlebih ketika ia menjadi mufti. Al-Shinqithi, salah satu guru besar yang ia datangkan untuk mengajar sastra Arab di al-Azhar, menjadi partner dalam proyek penerbitan itu.
Di bawah naungan organisasi yang ‘Abduh dirikan, yakni Jam’iyyat Ihya al-‘Ulum al-‘Arabiyyah, al-Shinqithi memainkan peran penting. Organisasi ini didirikan ‘Abduh pada tahun 1899 dengan dua program utama, yaitu: mengedit dan membiayai penerbitan karya-karya klasik (El Shamsy, 2020).
Al-Shinqithi, dengan dukungan dan supervisi dari ‘Abduh, berhasil mengedit dan menerbitkan beberapa kitab turats langka, di antaranya: al-Mukhashshash, Asrar al-Balaghah, Dala’il al-I’jaz, dan al-Mudawwanah. Manuskrip kitab-kitab ini tidak didapatkan ‘Abduh dengan mudah. Ada yang didapat dari Baghdad, Madinah, Istanbul, dan Tripoli. Bahkan khusus manuskrip al-Mudawwanah, yang kala itu sebagian fragmennya tersimpan di Masjid Qarawiyyin di kota Fez Maroko, ‘Abduh sampai menulis pesan khusus kepada raja Maroko Mulay ‘Abd al-‘Aziz.
Intinya, ‘Abduh memohon izin agar ia diperbolehkan mendapatkan kopian dari fragmen manuskrip tersebut, sehingga kitab utuh al-Mudawwanah dapat diterbitkan. Sayang, sebelum proses editing selesai, ‘Abduh wafat dan karenanya tidak dapat menjumpai kitab ini terbit (El Shamsy, 2020).
Namun demikian, keberanian, keuletan, dengan disertai kesabaran, mengantarkan ‘Abduh menggapai cita-citanya. Dengan keterbatasan transportasi dan akomodasi zaman itu, jika bukan oleh orang yang memiliki kesadaran tinggi akan pentingnya tradisi intelektual Islam, niscaya akan mustahil terealisasi.
Apa yang Dapat Diteladani?
Sebagai organisasi yang terilhami dari gagasan pembaharuan ‘Abduh, sudah selayaknya Muhammadiyah mengambil ide-ide ‘Abduh tersebut secara utuh. Tidak hanya mengadopsi aspek rasionalitas dan persoalan modernitas. Dalam persoalan tradisi, terutama tradisi intelektual Islam, Muhammadiyah juga harus mulai merenunginya.
Meskipun ‘Abduh menerima modernitas, bukan berarti ia kemudian mengimitasi dan mengadopsi segala hal yang bersumber dari budaya Barat. Reformasi yang dilakukan oleh ‘Abduh sepenuhnya mengambil spirit dari dalam Islam itu sendiri (Wain, 2016). Salah satu caraya ialah dengan merawat tradisi intelektual Islam (turats).