Oleh: David Efendi
Beberapa tahun lalu, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) mengenalkan beberapa format gerakan literasi, yakni literasi keluarga, literasi sekolah, dan literasi masyarakat. Ada satu jenis lagi yang bisa menjadi alternatif, yakni literasi komunitas. Literasi komunitas bisa melintasi ragam gerakan literasi karena sifatnya yang cair dan informal. Informalitas gerakan literasi berbasis komunitas ini menjadi kekuatan yang sangat bermakna dalam mengupayakan kegiatan pendidikan dan pemberdayaan pengetahuan bagi masyarakat luas.
Literasi tidak bisa dimaknai hanya sebagai urusan baca tulis, melek aksara. Pasca reformasi, makna literasi meluas sebagai praktik sosial, sebagai seni mengelola kehidupan. Organisasi Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO) kemudian mendefinisikan luas makna itu. Kini, jamak dipahami bahwa literasi bukan hanya soal buku-buku atau besarnya bangunan perpusatakaan. Literasi adalah perkara menghadapi realitas dan mencari cara hidup yang berfaedah.
Warisan gerakan literasi di Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah di awal periode adalah model gerakan literasi yang inklusif—bisa dilihat aktivitas di taman bangunan yang diberi nama Biblioteka Muhammadiyah pada tahun 1920-an. Di Muhammadiyah sendiri, ideologi literasinya sangat kritis dan progresif: merebut pengetahuan di zaman kolonial. Di zaman gelap itu, Muhammadiyah menyalakan obor literasinya untuk membuat perubahan.
Terbaru, Serikat Taman Pustaka yang didirikan pada tahun 2017 di Universitas Muhammadiyah Solo (UMS) menjadi forum untuk merawat ragam komunitas yang ada di lingkungan Muhammadiyah, organisasi otonom, dan amal usaha Muhammadiyah. Ada ratusan komunitas yang terlibat dalam forum ini. Berbagai aktivitas berjalan cukup menggembirakan, terutama kegiatan sharing buku dan beragam penguatan komunitas literasi: sekolah literasi, bedah buku, literasi camp, literasi digital, penerbitan buku berjamaah, dan sebagainya.
Baca Juga
Spirit Literasi ‘Aisyiyah: Sebuah Analisis Sejarah
Komunitas yang bernaung di bawah Majelis Pustaka dan Informasi (MPI) PP Muhammadiyah ini juga dipercaya beragam lembaga untuk mendistribusikan buku, seperti dari perpustakaan nasional, room to read, taman baca, pustaka bergerak, dan wakaf buku personal. Terhitung sejak 2017, forum literasi Muhammadiyah ini telah mendistribusikan lebih dari 30 ribu buku ke jejaring komunitas literasi dari Aceh sampai Papua. Selain itu, beberapa kali juga berkolaborasi dengan ‘Aisyiyah men-training penggerak taman pustaka ‘Aisyiyah.
Rukun Gerakan Komunitas
Agar komunitas literasi mampu bertahan dan memberikan kekuatan transformatif bagi bekerjanya ditribusi pengetahuan (demokratisasi ilmu) di masyarakat, diperlukan beberapa hal yang disebut rukun pergerakan literasi komunitas.
Pertama, ideologi gerakan. Sebuah gerakan literasi ada baiknya didasari pada kekuatan ideologis, seperti ayat-ayat Iqro’ atau perintah membaca sebagai energi terbarukan. Dengan landasan itu, maka komunitas akan memiliki energi juang yang berlimpah.
Kedua, penggerak inti. Untuk memulai sebuah terobosan di gerakan literasi aktual berbasis kebutuhan maka diperlukan penggerak yang ulet, militan, dan sudah merasakan manfaat literasi. Orang-orang ini biasanya disebut creative minority. Sebuah komunitas akan berjaya jika dipegang oleh orang-orang kreatif yang bisa mendayagunakan sumber daya.
Ketiga, kondisi industri perbukuan. Jika kondisi industri perbukuan cukup ramah pada kegiatan komunitas, maka buku-buku akan lebih mudah diakses publik. Selama ini, akibat kebijakan bahan baku dan apresiasi kerja perbukuan yang rendah menjadi salah satu faktor mengapa harga buku terasa mahal. Sesekali, penerbit perlu turun gunung menyapa pembacanya, menggerakkan buku secara aktif dengan bergandengan tangan bersama pegiat literasi.
Keempat, filantropi atau kedermawanan dalam mendukung jumlah bacaan, kualitas buku, dan infrastruktur kebudayaan literasi. Ada banyak kisah bercerita tentang pegiat Nasyiah dan pemuda Muhammadiyah merelakan rumahnya menjadi pusat kegiatan literasi, ruang tamu dan garasinya dibuka untuk masyarakat luas, penghasilannya dijadikan penopang kegiatan literasi.
Salah satunya adalah Dauzan Farook dengan mabulirnya (Majalah dan Buku Bergilir). Ia mengantarkan buku ke pembaca secara gratis, mudah, dan tanpa birokrasi. Atau contoh lain adalah dua pasangan kader Nasyiatul ‘Aisyiyah dan Pemuda Muhammadiyah di Griya Baca Komunitas Metro (Lampung), Rumah Baca Cahaya di Lamongan, Rumah Baca Kauman Banjarnegara, dan masih banyak lagi.