Oleh: Abdul Mu’ti
Saat ini, ada sebuah image atau penggambaran terhadap Islam yang secara substansial tidak sesuai dengan apa yang diajarkan oleh Islam. Dalam bahasa yang lain, ada kontradiksi antara Islam yang diamati dan Islam yang sebenarnya. Adanya penggambaran tersebut kadang menyesakkan dada dan menyulitkan umat Islam.
Pada tahun 2010, Graham E. Fuller menulis sebuah buku provokatif yang berjudul A World Without Islam (Sebuah Dunia Tanpa Islam). Di dalam buku itu, Fuller menggambarkan betapa dunia begitu ketakutan terhadap Islam dan Muslim. Pandangan itu dikuatkan dengan berbagai penelitian yang menunjukkan meningkatnya Islamophobia atau ketakutan kepada Islam di berbagai negara.
Pada sisi yang lain, Fuller juga mengkritik masyarakat Barat yang senantiasa melihat berbagai tindakan kekerasan yang ditujukan kepada masyarakat Barat sebagai sebuah permusuhan dari Islam. Menurutnya, apa yang dilakukan orang-orang Islam terhadap Barat merupakan konsekuensi dari apa yang dilakukan Barat terhadap Muslim.
Fuller mengingatkan kepada masyarakat Barat untuk tidak perlu terlalu khawatir terhadap Islam, sebab menurutnya wajah Islam tidaklah tunggal. Bahkan ia menyebut tentang adanya pertentangan tajam yang muncul di internal umat Islam karena beberapa hal.
Counter Narasi Citra Negatif Islam
Citra Islam dan Muslim sebagai kelompok yang berkait erat dengan berbagai tindak kekerasan dan citra Islam sebagai agama yang melegitimasi berbagai tindak kekerasan memang tidak sepenuhnya dapat kita mungkiri. Ketika ada praktik kekerasan, kita dengan mudah mengatakan bahwa agama tidak mengajarkan kekerasan, tetapi mereka melakukan kekerasan itu dengan
mengatasnamakan agama.
Terhadap fenomena tersebut, penting bagi kita untuk menampilkan another face of Islam (wajah Islam yang lain) sebagai counter narasi atas imajinasi dan pencitraan Islam di ruang publik yang memang tidak membahagiakan. Kita perlu mengupayakan untuk menampilkan Islam yang otentik; Islam yang dibangun dengan dasar ajaran yang dipahami secara komprehensif; Islam yang menjadi inspirasi untuk menghadirkan kehidupan yang damai dan meningkatkan kesejahteraan hidup manusia, baik duniawi maupun ukhrawi, material maupun spiritual.
Baca Juga: Islam Rahmatan Lil ‘Alamin: Konsepsi dan Manifestasi
Di Muhammadiyah-‘Aisyiyah, ikhtiar itu coba terus diangkat dan ditampilkan di berbagai bidang dan program. Islam Wasathiyyah memang menjadi salah satu diskursus yang tidak hanya menguat dalam kaitannya dengan persoalan-persoalan keagamaan di internal organisasi, tetapi juga persoalan-persoalan keagamaan yang berhubungan dengan kehidupan di ruang publik atau dalam dunia global.
Pada saat menjadi utusan khusus Presiden untuk Dialog Antar Agama dan Peradaban, Prof. Din Syamsuddin sukses menyelenggarakan sebuah forum penting yang menghadirkan para ulama dari berbagai negara. Forum itu melahirkan sebuah dokumen yang disebut dengan Bogor Message.
Dalam dunia diplomasi internasional, Bogor Message merupakan dokumen penting yang berkaitan dengan upaya menciptakan kerukunan intern dan antar umat beragama serta menciptakan tata dunia yang lebih damai. Bogor Message merupakan sumbangan Indonesia dalam membangun tata dunia yang damai berdasarkan pemahaman agama yang komprehensif atau pemahaman agama yang sangat luas.
Sebelumnya, diplomasi Indonesia di luar negeri banyak mengedepankan Islam rahmatan lil ‘ālamin. Dalam beberapa kurun waktu terakhir, umat Islam di Indonesia mengenalkan Wasathiyyah al-Islām atau Islam Wasathiyyah.
Konsep Dasar Islam Wasathiyyah
Bagaimana sebenarnya konstruksi Islam Wasathiyyah itu? Saya ingin memberikan perspektif tentang bagaimana kita mengaktualisasikan konsep dasar Islam Wasathiyyah itu berdasarkan firman Allah swt. di dalam Q. S. al-Baqarah [2]: 143. Allah berfirman,
وَكَذَٰلِكَ جَعَلْنَٰكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِّتَكُونُوا۟ شُهَدَآءَ عَلَى ٱلنَّاسِ وَيَكُونَ ٱلرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيدًا
Artinya, “Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam) umat pertengahan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) kamu…” (Q. S. al-Baqarah [2]: 143).
Dalam beberapa kitab tafsir, kata wasatha –yang di dalam ayat tersebut merupakan sifat dari ummatan wasathan atau umat pertengahan— paling tidak mempunyai lima pengertian. Pertama, di dalam tafsir Al-Jāmi’ li Ahkām Al-Qurān karya Al-Qurthubi, misalnya, kata wasatha diartikan sebagai sesuatu yang sangat baik, sesuatu yang sangat indah, paling tidak secara fisik. Wasatha di sini artinya adalah khair atau sesuatu yang baik, dan secara fisik teramati bahwa dia memang terlihat indah, good looking.
Al-Qurthubi kemudian mengilustrasikannya dengan oase di tengah suasana panas gurun. Di sana ada mata air dengan pepohonan rindang yang di bawahnya orang bisa mendapatkan ketenangan yang luar biasa. Oleh karena itu, ummatan wasathan adalah umat yang tampilan fisiknya menyenangkan; tidak kumuh, tidak kumal. Umat yang dari segi penampilannya akan menyenangkan semua orang (dan itu teramati). Pada level ini, ummatan wasathan dapat menggambarkan bagaimana tingkat kemakmuran dan keadaban dari seseorang atau komunitas.
Kedua, wasatha diartikan sebagai terbaik. Dalam Q. S. Ali-Imran [3]: 110 disebutkan bahwa umat Islam adalah umat terbaik. Definisi terbaik ini juga dikaitkan dengan substansi dari ajaran agama Islam. Islam itu adalah agama yang terbaik, agama yang sempurna, dan agama yang di dalamnya berisi ajaran-ajaran yang seimbang; memberikan tuntunan kepada manusia untuk meraih kebahagiaan dan kehidupan yang seimbang.
Wasatha dalam pengertian ini berkaitan dengan bagaimana Islam itu menjadi tuntunan yang mengantarkan manusia menjadi komunitas yang terbaik dan memiliki keunggulan. Khaira ummah di sini punya pengertian superlatif: umat Islam menjadi umat yang terbaik karena Allah swt. memberikan kepadanya ajaran Islam yang sempurna, rasul akhir zaman yang sempurna, dan memberikan kepada umat manusia tuntunan hidup yang juga sempurna. Dalam konteks itu, maka Islam yang wasathiyyah adalah Islam yang ajaran-ajarannya mengandung kemuliaan dan mengandung keuntungan untuk manusia meraih kemuliaan dalam kehidupan.
Ketiga, wasatha diartikan dengan ummatun ‘ādilun (umat yang adil). Adil di sini mempunyai dua pengertian, yakni ‘ādilun fil ilmi dan ‘ādilun fil hukmi. ‘Ādilun fil ilmi artinya orang adil dan mempunyai ilmu yang tinggi. Ketika dihadapkan pada suatu persoalan, ia melihat persoalan tersebut dari banyak sudut pandang, tidak tendensius, dan tidak mengambil keputusan tanpa dasar-dasar yang dapat dipertanggungjawabkan.
Sementara itu, ‘ādilun fil hukmi adalah orang yang menegakkan hukum sebagaimana mestinya, netral, dan tidak pandang bulu. Dalam beberapa ayat, adil juga dikaitkan dengan takwa. Misalnya dalam Q. S. al-Maidah [5]: 8, “…wa lā yajrimannakum syana`ānu qaumin ‘alā allā ta’dilū, i’dilū huwa aqrabu li at-taqwā…”. Ayat tersebut secara tegas menjelaskan agar kita tidak memutuskan sesuatu (hukum) secara subjektif, apalagi subjektivitas itu didasarkan atas dasar suka atau tidak suka, sebaliknya memerintahkan untuk memutuskannya secara adil, imparsial, tidak memihak, selurus-lurusnya, dan seadil-adilnya.
Keempat, adil dalam pandangan dan sikap. Di dalam dokumen Bogor Message, pandangan dan sikap itu dikaitkan dengan tujuh hal yang menggambarkan posisi Islam Wasathiyah. Tujuh hal itu disebut sebagai nilai-nilai wasathiyyah al-Islām, yang jika diamalkan insyāAllāh akan menjadi bagian dari cara kita mewujudkan tata dunia yang damai dan rukun di antara dan kepada sesama.
Baca Juga: Abdul Mu’ti Wakili Umat Islam Indonesia Ceramah di Vatikan
Tujuh nilai wasathiyyah al-Islām yang dimaksud adalah sebagai berikut:
I’tidal, yaitu menetapkan sesuatu secara adil, proporsional, dan tepat. Adil di sini seringkali merupakan lawan dari dzalim yang merupakan perbuatan yang dilakukan dengan pertimbangan-pertimbangan dan keputusan-keputusan yang tidak tepat.
Tawazun, atau seimbang (balance). Islam adalah agama yang mengajarkan kita untuk bersikap seimbang antara kehidupan duniawi dan ukhrawi, antara material dan spiritual, antara individual dan komunal. Dalam hal ini, kita harus punya keseimbangan dalam hidup, tidak ekstrem. Di sini, tawazun seringkali dilawankan dengan ghuluw, ekstrem, atau ithraf.
Tasamuh, yakni toleransi. Karena kita hidup dalam masyarakat yang berbeda-beda, maka diperlukan sikap toleransi. Sikap ketika kita menerima perbedaan dan bertoleransi atas perbedaan tanpa meninggalkan prinsip-prinsip dasar yang berkaitan dengan keyakinan agama Islam. Toleransi menjadi bagian dari prasyarat untuk kita hidup saling memberi dan saling menerima di antara berbagai perbedaan yang ada di sekitar.
Syura, yakni berusaha menyelesaikan persoalan dengan cara bermusyawarah. Dalam Q. S. asy-Syura [42]: 38 dijelaskan, wa amruhum syūrā bainahum. Di dalam musyawarah itu ada proses sharing dan dialog: ada kalanya ide kita diterima, dan ada kalanya ditolak; ada kalanya kita harus mendengar dan menerima pendapat orang lain, dan ada kalanya kita harus setuju dalam ketidaksetujuan (agree in disagreement). Artinya, di dalam proses itu ada bagian-bagian. Kita mengambil pandangan dan sikap yang berbeda, tetapi menghormati antara satu dengan lainnya.
Ishlah, yang dalam hal ini mengandung dua pengertian, yakni (a) mendamaikan ketika ada persoalan, dan (b) melakukan pembaharuan atau memperbaiki berbagai permasalahan yang timbul dalam konteks pergaulan kita dengan masyarakat. Dalam beberapa ayat, kata ishlah dikaitkan dengan praktik mendamaikan antara dua kelompok beriman yang berperang (misalnya Q. S. al-Hujurat [49]: 9) dan pada ayat lain berkaitan dengan upaya melakukan perbaikan (misalnya Q. S. asy-Syura [42]: 40).
Qudwah, yaitu upaya kita untuk memprakarsai perbuatan-perbuatan baik. Kalau uswah adalah kebaikan yang melekat pada diri seseorang, maka qudwah bersifat aktif atau dapat diungkapkan dengan “mempelopori inisiatif-inisiatif mulia”.
Muwaththonah, yaitu nilai yang berkaitan dengan kehidupan berbangsa dan bernegara. Jika kita ber-Islam secara wasathiyyah, artinya kita ber-Islam yang di dalam keber-Islam-an itu senantiasa bersikap tengahan dan berupaya memberi kontribusi di mana pun kita berada. Hal inilah yang menjadi pembeda antara kelompok muslim yang wasathiyyah dengan yang tidak wasathiyyah.
Kelima, adil ketika mengambil keputusan dengan senantiasa mempertimbangkan sikap moderat. Khair al-umūri awsathuhā. Pengambilan keputusan terbaik adalah yang berada di jalan tengah, moderat, tidak ekstrem sehingga solusi yang dihasilkan adalah yang menimbulkan kemenangan bagi semua: win-win-solution, bukan lose-win-solution. Bukan solusi yang menang-menangan, tetapi solusi yang diusahakan semaksimal mungkin supaya mendatangkan kebahagiaan bagi semuanya, dan solusi yang tidak mempermalukan pihak lain.
Kalau dikaitkan antara konsep dasar Islam Wasathiyah dengan kondisi kehidupan berbangsa dan bernegara saat ini, maka kehadiran dan usaha kita menghadirkan Islam yang wasathiyyah menjadi sesuatu yang niscaya, bahkan mendesak untuk dilakukan.
Memang ada pencitraan terhadap Islam yang begitu merugikan dan tidak membahagiakan kita. Akan tetapi, cara kita menjawab citra negatif tersebut bukanlah dengan sekadar kata-kata belaka, melainkan dengan tindakan yang nyata dengan pembuktian yang empiris. Itu adalah cara yang selama ini menjadi bagian dari strategi dan gerakan yang dilakukan oleh Muhammadiyah–‘Aisyiyah.