Oleh: Muhammad Ridha Basri*
Judul : Indonesia, Ideologi, dan Martabat Pemimpin Bangsa
Penulis : Haedar Nashir
Penerbit : Suara Muhammadiyah dan Buku Republika
Cetakan : 1, Mei 2022
Tebal, ukuran : xii + 518 hlm, 15×23 cm
ISBN : 978-623-5343-01-3
Ada banyak dimensi yang timpa-menimpa sejak awal kelahiran, pertumbuhan, dan perkembangan sebuah bangsa. Buku ini merenungkan kembali Indonesia agar tidak terputus dari akar kesejarahan, perjuangan, dan identitas keindonesiaan yang meliputi jiwa, alam pikiran, dan orientasi tindakan berbangsa dan bernegara. Buku ini ingin menggugah para elite dan warga bangsa bahwa Indonesia yang bernyawa terdiri dari kelindan aspek fisik/tanah air dan aspek rohaniah.
Haedar Nashir menuliskan, “Indonesia dibangun di atas fondasi yang kokoh berupa nilai-nilai ideologis yang bertumbuh pada Pancasila dan pandangan hidup yang berlandaskan agama serta kepribadian berbasis kebudayaan nasional yang melekat dengan eksistensi bangsa, diperkuat jiwa dan daya perjuangan kebangsaan yang menyejarah dalam lintasan perjalanan bangsa ini,” (hlm 1). Dari sini, Indonesia terus bertahan dan bergerak secara dinamis dari fase ke fase.
Selain fisik, orientasi pembangunan perlu juga diarahkan pada aspek batin. Ranah batin ini berangkat dari rancangan seperangkat ideologi yang diyakini dan diamalkan bersama. Indonesia lahir dari dasar pikiran-pikiran besar untuk cita-cita kemaslahatan. Dalam pandangan Haedar Nashir, terdapat tiga sumber nilai kehidupan kebangsaan yang menyatu dalam denyut nadi Indonesia: Pancasila, agama, dan kebudayaan luhur bangsa. Tanpa fondasi nilai-nilai tersebut, Indonesia ibarat bangunan yang rapuh.
Pertama, Pancasila, merupakan titik temu dari kemajemukan Indonesia yang tidak terhingga. Pancasila merupakan konsensus dari berbagai komponen bangsa, yang dihasilkan oleh jiwa kenegarawanan para tokoh pendiri. Pancasila secara substansi mengandung ideologi tengahan, yang perlu dibumikan di dunia nyata. Pancasila merupakan ideologi moderat, “maka strategi membangun dan mengembangkan pemikiran keindonesiaan pun semestinya menempuh jalan moderat atau moderasi, bukan melalui pendekatan kontraradikal atau deradikalisasi yang ekstrem,” (hlm 15).
Baca Juga: Kampanye Monogami ala Kuntowijoyo
Kedua, agama, memiliki kedudukan penting dalam konstitusi. “Agama melekat dengan sejarah dan jati diri bangsa Indonesia. Jejak sejarah kehadiran agama-agama di Indonesia menyertai pembentukan dan pertumbuhan masyarakat di kepulauan ini,” (hlm 21). Agama-agama dan kepercayaan lokal di Indonesia punya tempat tersendiri dan saling memberi pengaruh, meskipun posisi dan perannya masing-masing tidak dapat disamaratakan dalam hal relasi keadilan distributif dan komutatif. Agama semestinya membangkitkan etos kemajuan dan pencerahan serta mendorong laku kebajikan yang serba utama.
Ketiga, kebudayaan. “Kebudayaan adalah sistem pengetahuan kolektif masyarakat yang menjadi acuan atau pedoman dalam bersikap dan bertindak, melekat dengan perkembangan alam pikiran manusia dan lingkungannya, sesuai dengan konteks zaman yang dilaluinya,” (hlm 30). Kebudayaan Indonesia tersusun dari endapan pengalaman laku budaya dan aneka lapisan budaya hasil asimilasi dan akulturasi beragam pertautan lokal dan global.
Dalam perkembangannya, kata Haedar Nashir, kebudayaan Indonesia mesti disikapi secara logis dan kritis, tidak perlu diglorifikasi sebagai sesuatu yang serba ideal dan final. Tidak perlu anti pada kritikan objektif seperti dilakukan oleh Mochtar Lubis tentang “sifat manusia Indonesia” atau oleh WS Rendra tentang “budaya kasur tua.”
Pada akhirnya, fondasi ideologi perlu diimbangi dengan sikap kenegarawanan para elite yang bermartabat. Bangsa ini membutuhkan kehadiran “pemimpin yang benar-benar menghayati dan memahami keindonesiaan luar-dalam.” Pemimpin yang memahami dan mendengarkan keluh kesah rakyat dengan penuh empati. Bukan pemimpin yang bebal dan merasa digdaya, tetapi yang menempatkan nurani dan visi kenegarawanannya di relung terdalam dari kepemimpinannya. Mata hatinya tidak pernah mengingkari rintihan dan derita rakyat.
Amanah berupa tahta, harta, dan bahkan ilmu, dapat menjadikan manusia pongah diri. Berulang kali, Haedar Nashir mengingatkan pentingnya kepemimpinan yang mengedepankan nurani, sembari meluruhkan ego perkasa yang merasa diri paling segala. “Kepongahan sebenarnya tidak menunjukkan kedigdayaan manusia, tetapi menggambarkan belum akil balignya sang subjek selaku insan dewasa,” (hlm 220). Sebab itu, mendambakan kemajuan Indonesia lahir dan batin membutuhkan pengkhidmatan para negarawan sejati.
*Penulis adalah Mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta