HikmahPerempuan

Minum Pil Penunda Haid Saat Ramadan, Bolehkah?

Ilustrasi: Liputan6.com
  • #TarbiahRamadan, sebuah kolom khusus yang mengulas berbagai artikel tentang Ramadan yang inspiratif
Ilustrasi: Liputan6.com

Ilustrasi: Liputan6.com

Keinginan untuk menjalankan puasa secara penuh di bulan Ramadan adalah sesuatu yang wajar bagi setiap Muslim, termasuk perempuan.

Namun, perempuan memiliki kondisi biologis berupa menstruasi yang menjadi salah satu ketentuan syariat, di mana saat haid mereka tidak diperbolehkan berpuasa dan diwajibkan menggantinya di hari lain.

Dalam upaya agar dapat berpuasa penuh selama Ramadan, sebagian perempuan memilih untuk mengonsumsi pil penunda haid. Lalu, bagaimana hukum Islam memandang hal ini?

Penggunaan pil pencegah haid agar seorang wanita dapat berpuasa penuh selama bulan Ramadan merupakan fenomena baru yang tidak ditemukan pada masa Nabi Muhammad SAW maupun para sahabatnya.

Meskipun demikian, syariat Islam memiliki prinsip yang dapat digunakan untuk menyelesaikan berbagai persoalan di masyarakat serta memberikan solusi yang terbaik.

Dalam Islam, segala sesuatu terkait muamalah dan selain ibadah mahdah pada dasarnya diperbolehkan kecuali jika terdapat dalil yang mengharamkannya (al-ashlu fil asy-yaa-i alibaahah illaa maa dalla ad-daliil ‘alaa tahrimihi).

Prinsip ini didasarkan pada berbagai ayat al-Quran, seperti dalam Q.s al-Baqarah ayat 29 yang menyatakan bahwa Allah telah menciptakan segala yang ada di bumi untuk manusia.

Baca Juga: Manfaat Puasa untuk Detoksifikasi

Dalam Q.s al-Jasiyah ayat 13 juga dijelaskan bahwa Allah menundukkan segala yang ada di langit dan bumi untuk manusia sebagai bentuk rahmat-Nya, sementara dalam Q.s Luqman ayat 20, ditegaskan bahwa Allah telah menyempurnakan nikmat-Nya, baik yang tampak maupun tersembunyi, bagi manusia.

Hadis yang diriwayatkan oleh at-Tirmidzi juga mendukung prinsip ini. Dalam hadis tersebut, Salman meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW pernah ditanya tentang mentega, keju, dan al-fara, sejenis pakaian dari kulit.

Beliau menjawab bahwa halal adalah sesuatu yang telah Allah halalkan dalam kitab-Nya, haram adalah sesuatu yang telah Allah haramkan dalam kitab-Nya, sedangkan sesuatu yang tidak disebutkan oleh Allah merupakan hal yang dimaafkan.

Berdasarkan prinsip ini, penggunaan pil pencegah haid agar seorang wanita dapat menjalankan puasa Ramadan penuh hukumnya diperbolehkan, selama tidak membahayakan kesehatan dan sesuai dengan anjuran dokter.

Namun, jika berdasarkan pemeriksaan medis pil tersebut terbukti berbahaya, baik dalam jangka pendek maupun panjang, atau kondisi tubuh sedang tidak memungkinkan untuk mengonsumsinya, maka hukumnya menjadi haram.

Hal ini sejalan dengan kaidah fikih yang menegaskan bahwa tidak boleh ada tindakan yang membahayakan diri sendiri maupun orang lain. Selain itu, menjaga kesehatan tubuh merupakan bagian dari ajaran Islam yang harus diperhatikan.

Dengan demikian, sebelum memutuskan untuk mengonsumsi pil anti-haid demi menyempurnakan puasa Ramadan, seorang perempuan perlu berkonsultasi dengan tenaga medis yang kompeten agar memastikan bahwa langkah tersebut tidak menimbulkan dampak buruk bagi kesehatannya. (sa)

Sumber: Majalah MATAN Edisi 119 Juni 2016

Related posts
Perempuan

Perempuan dan Dapur: Kodrat atau Konstruksi Sosial?

Oleh: Hana Mufidatul Roidah* Di banyak ruang kehidupan masyarakat Indonesia, ungkapan seperti “perempuan tempatnya di dapur” masih sering terdengar. Ia menjadi bagian…
KalamPerempuan

Islam Memuliakan Perempuan (2)

Oleh: Suko Wahyudi* Tulisan ini adalah lanjutan dari artikel berjudul Islam Memuliakan Perempuan. Perempuan sebagai Istri Di antara hikmah besar dalam penciptaan…
Berita

Taawun Sosial: Penutup Rangkaian Kegiatan Ramadan Aisyiyah Kaltim

Samarinda, Suara ‘Aisyiyah – Pimpinan Wilayah ‘Aisyiyah Kalimantan Timur (PWA Kaltim) akhirnya menutup seluruh rangkaian kegiatannya selama bulan suci Ramadan 1446 H…

1 Comment

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *