Yogyakarta, Suara ‘Aisyiyah – Program Studi Hubungan Internasional Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) bekerja sama dengan Amanat Institute mengadakan webinar bertajuk “Moderasi Indonesia untuk Dunia: Peran Strategis Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah dalam Mendukung Kepemimpinan Indonesia di Tingkat Global”. Kegiatan yang diselenggarakan pada Senin (15/11) ini menghadirkan banyak tokoh dan akademisi.
Rektor UMY Gunawan Budiyanto dalam sambutannya menyampaikan, moderasi Indonesia untuk dunia adalah bingkai dan sumbangan bangsa Indonesia terhadap persoalan-persoalan dunia. Saat ini, hampir seluruh negara dunia mempunyai masalah yang sama, misalnya soal kesehatan, lingkungan, kesetaraan pangan, dan paket Sustainable Development Goals (SDGs) yang memuat isu-isu kesetaraan humanistik, pendidikan, termasuk isu hak asasi manusia.
Sementara itu, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Indonesia Airlangga Hartanto menjelaskan sedikit banyak tentang Presidensi Group of 20 (G20) tahun 2022 yang dimandatkan kepada Indonesia. Mandat ini membuat Indonesia mempunyai tanggung jawab penuh atas penyelenggaraan forum kerja sama ekonomi internasional tersebut.
Dengan berbagai kontribusi dan sumbangsih Muhammadiyah-‘Aisyiyah kepada bangsa Indonesia, ia berharap organisasi sosial-keagamaan ini dapat turut berkontribusi dalam mengawal Presidensi G20 Indonesia tahun 2022. “Saya berharap Muhammadiyah–‘Aisyiyah akan terus berkiprah, berkarya, dan mampu memberikan kontribusi terbaik bagi bangsa dan negara, termasuk kontribusi dalam mengawal Presidensi G20 Indonesia di tahun 2022,” ujarnya.
Baca Juga: Diplomasi Profetik dalam Relasi Aktor Internasional
Bertindak selaku pembicara kunci, Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir menyampaikan selamat kepada Indonesia yang memperoleh mandat memimpin Presidensi G20 tahun 2022. Pencapaian ini merupakan hal yang positif dan konstruktif bagi usaha pemulihan dan optimisme setalah seluruh warga dunia dihantam pandemi Covid-19.
Dengan mandat ini, Indonesia perlu membangun optimisme dengan memainkan peran di kancah global sekaligus melakukan penguatan dan mobilisasi kekuatan domestik di dalam negeri. “Indonesia perlu melakukan akselerasi dan mencari peran-peran baru yang lebih signifikan, baik di ranah regional maupun global,” katanya.
Haedar menjelaskan, banyak ahli memprediksi bahwa tahun 2030 Indonesia akan menjadi negara dengan kategori ukuran ekonomi terbesar, beriringan dengan Tiongkok, Amerika Serikat, India, dan Jerman. Prediksi itu tentu perlu diwujudkan. Dalam rangka itu, Indonesia perlu melakukan konsolidasi dengan beragam isu besar di lingkup global, misalnya isu demokrasi, globalisasi, revolusi saintifik, SDGs, dan isu perubahan iklim.
Pada waktu yang bersamaan, Indonesia juga perlu melakukan konsolidasi kemampuan dan ketahanan ekonomi ke dalam, mengingat Indonesia punya masalah-masalah internal, seperti kemiskinan dan kesenjangan.
Selanjutnya, dalam konteks peran Indonesia, Haedar menyebut setidaknya ada 3 (tiga) hal yang perlu diakselerasi, yakni: penguatan peran yang lebih progresid di lingkup Asean; penguatan peran dan relasi di Asia Timur, dan; membangun relasi dengan negara-negara Pasifik dan Timur Tengah.
Muhammadiyah juga akan terus memainkan peran-peran penting, baik di lingkup regional maupun global. Di lingkup global, peran itu dimanifestasikan dalam bentuk: (a) internasionalisasi Muhammadiyah dengan penguatan lembaga-lembaga Muhammadiyah di luar negeri; (b) kosmopolitanisme Islam Berkemajuan, dan; (c) membangun amal usaha di luar negeri.
Adapun di lingkup regional, Muhammadiyah dengan kekuatan civil society-nya akan terus memperkuat basis ekonomi, politik, dan budaya melalui penguatan SDM, pendidikan, dan ekonomi. Tidak hanya itu, Haedar menuturkan, Muhammadiyah juga akan terus memperkuat basis identitas kebangsaan yang berdasar pada agama, Pancasila, dan kebudayaan luhur bangsa, “sehingga Indonesia ini tidak copy paste dalam membangun karakternya dari luar”.
Tentang moderasi Indonesia untuk dunia, menurut Haedar, kuncinya tidak terletak pada retorika dan klaim, tetapi dimulai dari kejujuran bahwa Indonesia memang bangsa yang moderat. Moderat dalam makna yang sebenarnya dan jelas nilai basisnya, bukan moderat layaknya bunglon.
Akhirnya, Haedar mengajak kepada tokoh agama, termasuk yang berada di pemerintahan untuk berada dalam posisi moderat yang betul-betul moderat, bukan yang liberal-sekuler atau ekstrem. (sb)