Dunia berubah. Pandemi Covid-19 telah mengubah banyak sektor kehidupan, dari yang berskala mikro sampai makro. Di sektor ekonomi, misalnya, Sosiolog Universitas Gajah Mada Ari Sujito menyatakan bahwa ekonomi dunia tengah mengalami kegoncangan, baik di negara maju maupun berkembang. Kondisi tersebut selain mempengaruhi perekonomian nasional yang terus merosot, juga mempengaruhi kondisi sosiologis masyarakat.
Dalam cuitannya di Twitter, Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Abdul Mu’ti (@Abe_Mukti) membenarkan terjadinya krisis ekonomi tersebut. Banyak masyarakat yang pendapatannya berkurang, bahkan kehilangan pekerjaan. Mereka mengalami kesulitan dalam hal perekonomian. Atas kondisi tersebut, Abdul Mu’ti mengajak segenap pihak untuk meningkatkan ibadah sosial melalui solidaritas sosial.
Solidaritas sosial merupakan kunci untuk bangkit dari kondisi yang memprihatinkan ini. Ari Sujito menyebut, diterapkannya PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) di beberapa daerah telah menjadikan orang mudah untuk saling curiga. Kecurigaan tersebut berwujud eksklusifitas daerah bahkan terjadi penolakan jenazah pasien Covid-19. Perubahan sikap masyarakat yang menjadi ekslusif merupakan salah satu dampak negatif dari pandemi Covid-19.
Meski menyayangkan, Ari mengungkapkan bahwa hal tersebut bukanlah sikap mayori-tas masyarakat. Ia tidak menyangkal adanya dampak positif yang ditimbulkan dari pandemi. Jika sebelumnya sebagian masyarakat cenderung hanya peduli pada diri sendiri, maka ketika terjadi pandemi, menurutnya, rasa solidaritas masyarakat kembali menguat. Masyarakat saling bahu membahu. Menjaga diri dan menjaga sesama.
Sikap peduli kepada sesama itulah yang juga disuarakan oleh Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Haedar Nashir. Ia mengajak umat Muslim secara umum dan warga Muhammadiyah secara khusus untuk menjadikan bulan Ramadan sebagai momentum melakukan “mi’raj ruhani”, terlebih di tengah pandemi Covid-19. “Saatnya puasa Ramadan menghidupkan hati untuk menyelamatkan jiwa bersama. Hati yang menyuburkan ruang empati, welas asih, peduli, dan berbagi bagi sesama. Itulah jantung hati beragama yang menyebarluaskan rahmat bagi semesta,” cuitnya di akun @HaedarNs.
Keberpihakan pada Kelompok Rentan
Dihubungi Suara ‘Aisyiyah, Direktur Perkumpulan IDEA Wasingatu Zakiyah menyampaikan adanya eskalasi kesenjangan gender yang meningkat dibandingkan sebelum terjadinya pandemi. Hal ini mengingat anjuran untuk #StayatHome memperbesar potensi terjadinya kekerasan di dalam rumah, sebab ruang gerak perempuan menjadi semakin terbatas. Berkaitan dengan kondisi tersebut, ia menyayangkan masih minim dan kurang memadainya SOP (standard operational procedure) atau protokol layanan ketika terjadi kekerasan.
Dampak negatif yang dirasakan oleh perempuan bukan hanya itu. Zakiyah mengurai berbagai dampak yang dirasakan. Misalnya soal isu kerawanan pangan, kepemimpinan perempuan, padat karya yang ditujukan kepada perempuan, dan mainstreaming gender dalam penanggulangan bencana. Beberapa hal tersebut merupakan sektor yang membutuhkan partisipasi perempuan.
Menurut Zakiyah, Covid-19 adalah alarm bagi umat manusia untuk kembali memperhatikan hal-hal sederhana tapi sifatnya fundamental, seperti pentingnya kerja-kerja kolaboratif, inovatif, dan membangun kesadaran untuk hidup bersama, tak terkecuali dengan kelompok rentan. Menurutnya, sejauh ini, kepemimpinan perempuan sangat dibutuhkan oleh anak-anak dan difabel. Sehingga, dalam rangka membangun iklim kehidupan yang lebih baik pasca pandemi, peran perempuan sangat vital. Ia menegaskan, “jangan ada maskulinitas!”
Selain itu, menurutnya, kesadaran untuk memulai sesuatu dari bawah dan memperhatikan nasib masyarakat sipil perlu menjadi perhatian bagi setiap elemen masyarakat. Kerawanan pangan yang terjadi selama pandemi seharusnya menyadarkan bahwa kedaulatan pangan yakni berupa produksi bahan pangan secara mandiri dan menjaga keragaman pangan harus mendapat perhatian lebih.
Di beberapa daerah, Zakiyah menyebutkan, masyarakat mulai memproduksi bahan pangannya sendiri. Usaha tersebut menurutnya sangat penting mengingat bantuan-bantuan yang diberikan cenderung bersifat menyamaratakan, sehingga berimbas pada kurang terpenuhinya kebutuhan anak-anak, lansia, dan ibu hamil. “Misalnya, orang tua lebih menikmati umbi-umbian. Ketika bantuannya disamaratakan, artinya ada kebutuhan orang tua yang tidak terpenuhi,” jelasnya.
Peluang Perempuan Atasi Problem Sosial
Pandemi Covid-19, menurut Ari, telah mendorong para perempuan untuk bangkit. Menurutnya, dengan segala keterbatasan akses yang dimiliki, perempuan menjadi semakin kreatif. Dengan kecerdasan dan kreatifitasnya, perempuan berpeluang untuk meningkatkan kapasitasnya agar dapat bersaing baik di kancah domestik maupun publik. “Kalau mau memanfaatkan peluang, ini akan menjadi kekuatan sumber daya yang sangat penting,” ujarnya (4/5).
Hal senada diungkapkan Zakiyah. Meski dapat dikatakan bahwa apa yang terjadi saat ini merupakan kerja-kerja spontanitas, ia meyakini dampak sosial telah membangkitkan solidaritas sosial yang akan terus terbangun dan berta-han. Saat ini, banyak perempuan tengah mengembangkan social enterpreneurship. Menurutnya, aktifitas tersebut adalah suatu “inisiasi yang tidak dapat dimatikan”.
Keterlibatan perempuan dalam menyelesaikan problem sosial menunjukan bahwa perempuan layak untuk dilibatkan dalam setiap perumusan kebijakan. Perempuan bukanlah makhluk kelas dua yang keberadaannya dianggap angin lalu. Oleh karenanya, “stay at home dapat menjadi pijakan awal untuk kerja bersama,” jelas Zakiyah. Momentum ini juga menjadi sarana untuk mengarahkan persepsi masyarakat tentang perempuan ke arah yang lebih baik.
Baca selengkapnya di Rubrik Liputan Utama, Majalah Suara ‘Aisyiyah Edisi 6, Juni 2020