Yogyakara, Suara ‘Aisyiyah – GEDSI tidak lahir dari struktur masyarakat Indonesia, tetapi inti yang ingin diwujudkan dengan social inclusion adalah sama dengan ajaran Islam dan gerakan yang sudah dilakukan oleh Muhammadiyah-‘Aisyiyah. Pernyataan tersebut disampaikan Dina Afriyanty dalam Seminar Nasional yang diselenggarakan oleh PP ‘Aisyiyah.
Dalam kesempatan tersebut, Dina menyampaikan topik “Perspektif GEDSI untuk Mewujudkan Keadilan dan Kesetaraan Akses”. Dina menjelaskan, GEDSI merupakan sebuah perspektif atau pendekatan untuk mewujudkan keadilan dan kesetaraan bagi semua tanpa diskriminasi.
“GEDSI sebenarnya adalah sebuah pendekatan atau sebuah proses cara bekerja kita, cara kita menganalisis persoalan, cara kita mengidentifikasi bagaimana kita bisa mencari jawaban atas persoalan tersebut dan juga bagaimana kita bisa merumuskan solusi yang bisa betul-betul mencapai tujuannya, sehingga permasalahan yang kita lihat di sekitar itu bisa bersama-sama kita carikan jalan keluarnya,” terangnya.
Dina menyampaikan 4 (empat) konsep inti dalam GEDSI. Pertama, pemenuhan hak dasar bagi seluruh individu tak terkecuali, baik kepada individu yang berbeda gender, difabilitas, umur, agama, latas belakang etnis/suku, warna kulit, dan sebagainya. Kedua, mendorong penguatan pemberian kesempatan dan kemanfaatan secara setara berdasarkan prinsip-prinsip demokrasi dan hak asasi manusia.
Ketiga, menghapus dan memberantas kemiskinan, keterpinggiran, diskriminasi, rasa tidak aman dan nyaman, ketakutan, dan pembedaan perlakuan. Keempat, perwujudan kesetaraan gender dan inklusi difabilitas sebagai konsep yang berkaitan, tidak berdiri sendiri, sehingga intervensi dan strategi untuk mengatasi ketidakadilan haruslah terintegrasi untuk mewujudkan inklusi sosial.
Baca Juga: Aisyiyah Akan Perkuat Strategi Dakwah dengan Perspektif GEDSI
Muhammadiyah–‘Aisyiyah, kata Dina, sudah memberi contoh nyata pendekatan GEDSI ketika ada anak Papua beragama Kristen yang sekolah di lembaga pendidikan Muhammadiyah dan lulus dengan tetap menjadi seorang Kristen. “Itu sebenarnya apa yang menjadi social inclusion, bahwa setiap orang bisa mendapatkan akses, dan Muhammadiyah sudah menyiapkan itu dan sudah memberikan kesempatan itu secara sama, walaupun bukan warga Muhammadiyah, walaupun bukan orang muslim, tetapi mendapatkan akses pendidikan yang negara belum bisa memenuhinya,” kata dia.
Dina menyebutkan, ada beberapa prinsip utama yang harus ada dalam perspektif GEDSI, yakni tidak ada marginalisasi, memastikan partisipasi, memastikan kesetaraan (equality), memberikan akses kesetaraan kesempatan (equity), memberikan kesejahteraan, memberikan hak yang sama, dan mengadopsi nilai-nilai etika. Sementara dalam konteks strategi, ada beberapa prinsip yang perlu diperhatikan, seperti do no harm, analisis kekuasaan, partisipasi dan keterwakilan, inklusif, interseksionalitas, pendekatan penguatan organisasi, dan aksesibilitas.
Dina lantas menyampaikan panduan menggunakan GEDSI sebagai sebuah cara pandang. Pertama, analisis masalah, misalnya dengan (a) menganalisis mengapa masalah tersebut muncul, (b) mengidentifikasi akar marginalisasi dan pengucilan, (c) mengidentifikas hambatan layanan dan kunci-kunci sumber kekuasaan sosial, dan (d) mengintegrasikan dalam rencana program.
Kedua, implementasi, yakni dengan (a) memanfaatkan sumber daya dan menerapkan perubahan yang adaptif sesuai kebutuhan, (b) peninjauan ulang secara rutin, dan (c) melakukan advokasi, riset, pemberdayaan, lokakarya, pelatihan, dan sebagainya.
Ketiga, GEDSI monitoring dan evaluasi, yakni dengan (a) menilai apakah program sudah sesuai/konsisten dengan tujuan, dan (b) mengevaluasi indikator dan target secara terpilah. (sb)